Theater Of Love (18+)

444 23 0
                                    

Oh, aku suka bioskop.

Dingin. Hampir gelap. Suasana yang begitu cocok untuk sebuah malam minggu, meski belum bisa mengalahkan sensasi kencan makan kentang dan burger di mobil. Well, paling tidak kencan kali ini terkesan lebih 'serius'. Kadang aku bosan juga berpacaran seperti anak SMP yang baru punya SIM palsu.

Lalu apa bedanya dengan ke bioskop? Entahlah. Justru ini terkesan lebih klise, apalagi dengan bangku yang didesain berpasang-pasangan begini. Tapi Krist sudah terlanjur merengek. Apalagi kalau bukan karna iri mendengar cerita teman-temannya?

Apa boleh buat?

"Kak Sing mau popcorn?" tanya Krist dengan mata bundarnya, menyodorkan sekotak berondong jagung.

Aku mengangguk dan mengambil beberapa ke tanganku. "Udah juga lama ya kita gak nonton?"

"Hmm... Mungkin sekitar dua tahun lalu? Waktu first date?" Krist terkekeh. "Lucu banget waktu itu masih malu-malu."

Namanya juga masih linglung. Kala itu aku yang mengajaknya ke bioskop dengan alasan tak punya teman. Dan memang berakhir tak ada pertemanan di sana; kami sudah melampaui itu sejak awal.

Tapi setelah itu tak ada cerita kami kembali ke bioskop. Entah terlalu menguras kantong, tidak ada film yang seru, atau keduanya secara bersamaan. Intinya, kami belum menemukan sesuatu yang keren dari membayar mahal untuk sekadar menonton film.

"Jadi kita bakal nonton apa?" tanyaku. Aku membiarkan Krist yang memilih sendiri film kesukaannya.

"Aladdin."

Oh yang benar saja? Aku memercayakan seluruh uang jajanku ke padanya hanya untuk sebuah film anak-anak? Bahkan aku sudah afal betul ceritanya. Dia menggosokkan lampu ajaib lalu poof! ada Putri Jasmin dan mereka berciuman. Tamat.

"Keren," komentarku. Krist pasti tak akan senang jika ia tahu isi kepalaku.

Paling tidak aku tak akan membuat uang yang sebenarnya bisa kubelikan dua buah burger secara sia-sia. Aku sudah bawa selimut. Dan kotak kecil penuh privasi antar pasangan ini akan jadi hotel sementaraku selama dua jam.

Aku mengantuk? Jelas.

"Kak, filmnya udah mau mulai!" seru Krist kemudian meringkuk di bahuku, "Eh? Kakak bawa selimut?"

"Iya. Dingin tahu," bisikku.

Krist tersenyum sambil membiarkan jemarinya menyentuh tiap inci dari permukaan selimut. Lalu ia mendesah pelan, terlalu nyaman. Mungkin akan terasa lucu kalau kami betulan tertidur sepanjang film hanya karena sehelai selimut.

Tapi jika boleh jujur, filmnya memang membosankan. Aneh saja Krist bisa tahan dia menatap layar sampai tiga puluh menit. Padahal kami sudah berada di posisi ternyaman; di bawah selimut dan tubuh yang melekat seperti magnet. Kami sudah terasa seperti di ruang TV saat seisi rumah kosong.

Ruang TV yang juga jadi tempat favoritku untuk mengendus harum tubuhnya. Membuat apapun yang kami tonton seakan tak lagi jadi perhatian.

Aku mengarahkan hidungku ke lekukan lehernya. Menghembuskan nafas yang membuat Krist tegelitik. Ia tertawa pelan, meski perhatiannya masih tak tertuju padaku.

Oh sial, aku cemburu.

"Kak Sing..." keluh Krist masih sambil cekikikan, "Geli ih!"

"Aku tuh kangen banget sama Kit!" bisikku, masih belum mau kalah, "Masa gak boleh? Boleh ya?"

"Ya tapi masa mau di sini?" Kit mengingatkanku akan eksistensi banyak orang di ruangan ini.

Ah. Memang paling betul jika kami kencan makan burger di mobil saja. Kalaupun ingin, langsung bisa berbuat. Sebal.

Tapi, toh, manusia mana yang punya niat menerawang terpal yang menghalangi sudut kanan dan kiri kami? Entah dia mesum atau betulan bosan. Well, mungkin dua kata itu lebih tepat untuk mendeskripsikanku sekarang.

Di bawah selimut, perlahan aku mengelus pinggang Krist. Memberikan sinyal kalau aku betulan tak main-main. Aku bisa melihat wajah Krist seketika memerah. Membuatku tak sabar untuk menelusuri isi di balik pakaiannya itu.

"Kak..." Krist yang masih meringkuk memeluk erat lenganku. "Mau betulan di sini? Nanti kalau aku berisik gimana?"

"Ya jangan berisik," jawabku santai sambil jemariku perlahan menyentuh area sensitifnya, membuat tanganku makin dicengkram.

Tanganku berpindah ke lengan Krist. Mengisyaratkan untuk segera melepaskan diri dariku sehingga aku bisa leluasa menikmati tiap lekukannya. Kucium lehernya dan membiarkan hangat nafasku terbenam di sana.

Krist betul-betul anak yang polos. Mungkin selama kami bersama belum ada sekalipun ia sempat untuk mengeksplor tubuhnya sendiri. Wajar jika perlakuan begini saja sudah cukup membuatnya tunduk.

"Tapi Kakak kan biasanya cium-cium aja," Suara Krist memelas. "Gak sampai begini..."

Memangnya manusia mana yang tahan berhubungan sampai dua tahun dengan manusia selucu ini tanpa ada hubungan seksual sekalipun? Oh tentu saja aku.

Namun, sayangnya, tidak hari ini. Tidak dengan Krist yang begitu imut dengan celana pendek dan sweatshirt biru pastel.

"Tapi Kakak pengen Kit banget sekarang," pintaku sambil berbisik di ujung lehernya, membuat tubuh Krist makin tak karuan.

Hingga akhirnya ia runtuh juga. "Kak... Kit udah gak tahan."

"Iyalah..." Perlahan tapi pasti, sukses tanganku untuk masuk melewati satu per satu kancing celananya. "Kamu aja udah becek begini."

"Kak, nggh... pelan-pelan ih," rintih Kit kala aku memainkan ujung penisnya yang basah. Aku tak bisa melihat rupanya karna tertutup selimut, tapi bisa kupastikan miliknya itu sudah benar-benar sensitif.

Aku mencium bibirnya, berharap bisa membuat mulutnya jadi tak begitu berisik. Meski bisa kulihat tubuhnya sudah menggelinjang karna tak tahan melawan nikmat.

"Enak, babe?" ujarku sambil terus memompa penisnya.

Ia tak bisa menjawab. Sibuk menggit lengan bajunya dan berusaha fokus menatap isi film seakan tak ada hal yang terjadi.

Ekspresinya tetap tak bisa dibohongi. Dan ia terlihat begitu cantik. Ah ini akan jauh lebih baik jika dilakukan di mobil atau bahkan di kamar. Aku bisa mendengarnya mendesah dan meronta sampai ia benar-benar puas.

Tapi mau bagaimana lagi?

"Kalau gak tahan, it's okay to moan, babe. Asal bisik-bisik aja." Aku mengecup keningnya. Lama-lama tak tega juga.

Kepalanya langsung kembali bersandar ke pundakku. Mengarahkan bibirnya ke telinga kananku sambil perlahan mengeluarkan suara yang selama ini tertahan.

"Ngghh.. Enak banget, Kak." Ia menggerekan pinggulnya sesekali. "Cepetin sedikiiiit aja, boleh?"

Suaranya yang begitu halus membuatku enggan menolak. Kupercepat irama tempoku dan Krist hampir dibuat setengah gila karena itu.

"Kak..." Kemudian suara imut itu perlahan hilang karna wajahnya yang terbenam di bahuku.

"Ya, Kit?"

"Nghh... Anu... Kit mau keluar," keluh Kit yang menurutku membuat segalanya makin bergairah, "rasanya ga enak banget, Kak. Kayak mau peepee."

"Let it flow aja, babe. Nanti keluar sendiri." Aku menyodorkan hidung ke rambutnya, masih sambil fokus dengan pekerjaanku di bawah sana.

"Ahh... Ahh.."

Ia mencengkram bajuku kuat-kuat. Dan seketika itu pula dengan tanganku terasa basah. Kit sudah menemui klimaksnya. Tubuhnya seketika lemas langsung memelukku.

"Eh, tadi kena baju ga ya?" tanyaku panik.

Belum sempat dijawab, ternyata Krist sudah begitu kelelahan hingga langsung masuk dalam mimpi. Aku mencium keningnya.

Bangunkan kami kalau filmnya sudah selesai ya.

Singto x Krist (Singkit) One ShotsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang