Clouds

260 12 2
                                    

Tulisan ini adalah hasil dari tugas akhir  #KelasMenulisAme

DISCLAIMER : ANGST

----------------------

"Menurut kamu, lebih bagus yang ini atau—"

Singto menatap tiap inci tubuh pasangannya yang berdiri menghadap. Dalam hati sebenarnya enggan. Perlahan dibidik celah yang ia harap bisa jadi saksi. Tak terdeteksi ternyata. Krist sudah lengkap dengan suit hitam legam dan sepatu kaku. Menatap anggun langit-langit bagai siap menghadap masa depan. Begitu cerah hingga mereka sendiri pun tak punya bayangan. Memijak saja belum pernah.

Krist akan pergi jauh sebentar lagi.

Tentu saja tak ada satu pun yang rela. Mereka sudah begitu lekat; enggan bersanding dengan sepatah tanggal yang sudah ditetapkan sejak ratusan malam kemarin. Belum ada apa-apanya. Tapi rencana bodoh ini datang bagai tak tahu malu. Mengusik hubungan yang sudah mereka bangun dengan susah payah.

"Semuanya bagus," ujar Singto pasrah dengan kesempurnaan duniawi yang dilahap habis kekasihnya, "dunia memang gak pernah adil sama kamu ya, Krist?"

Krist tertawa pelan. Tak mau repot menggubris mulut lelaki yang kadang kurang sadar itu. Hati kecilnya perlahan mulai menerima. Jauh dari kekasih pasti menyulitkan. Tapi rencana ke mana ia akan pergi sudah mantap dibuat. Toh, kata mereka ini untuk kebaikannya juga.

Laki-laki berkulit putih susu itu mengerutkan dahi, mulai paham akan sesuatu. "Tapi kayaknya aku lebih suka yang biru muda tadi deh? Selera kamu ternyata oke juga."

"Padahal aku udah sering bilang." Singto melingkarkan tangan ke pinggang Krist. Sungguh pas bagai puzzle yang dibuat khusus memang untuk dirinya. "Kamu pakai apa aja juga cocok."

"Gombal!"

Kemudian ucapan sinis Krist ditutup oleh tawa yang memecah kecanggungan. Tentu mereka tak mau lama-lama bersedih. Perpisahan mereka sudah mutlak. Bersedih hanya membuat suasana makin buruk dan sia-sia.

Setelah dirasa lelah menatap kaca, mereka mulai merebah ke kasur empuk yang selama ini jadi saksi bisu hubungan indah mereka. Mulai dari cinta, marah, hingga air mata membekas di sini. Menunjukkan kalau perjalanan mereka sudah lebih dari kisah anak SMA yang jatuh cinta lewat surat.

Kini keduanya sudah lulus. Perjalanan Krist esok jadi ujian untuk gelombang selanjutnya. Seberapa tahan mereka menopang kata 'cinta'? Memang belum ada benda yang melingkar. Tapi berbagai janji sudah terlanjur komat-kamit disebut. Anak muda memang terkadang suka lupa realitas.

"Menurut kamu, di sana aku bakal disukai gak?" tanya Krist, "Dia bakal benci sama aku gak ya? Secara aku kan—"

Singto menatap dalam kedua bola mata kekasihnya. "Kamu itu orang baik. Siapa sih yang gak suka sama orang baik?"

"Masuk akal." Krist mengangguk.

"Mending kita bahas yang lain aja ya?" ajak Singto. Berlanjut pada mereka yang bergulir menghadap satu sama lain. Jantung mereka berdebar bagai pertemuan pertama. Serasa kembali jatuh cinta. Seakan perjalanannya tak pernah menyakitkan.

Sorot mata si adik kelas tak pernah gagal bertingkah bagai kotak memori bagi Singto. Satu per satu potongan film itu terputar, berjarak lima senti dari matanya. Hanya empunya memori yang bisa lihat. Membawa Singto dalam lamunan bagai petualangan yang ia harap tak ada ujungnya.

Singto mencintai Krist seutuhnya, mulai dari rambut hitam sampai warna-warni yang bisa diganti sesekali. Fesyen, begitu pacarnya bilang saat Singto mulai meracau. Penampilan Krist memang makin sering berubah akhir-akhir ini. Kali ini masih tahan berkiblat pada Britney Spears tahun 2007, mungkin besok ia akan jadi David Bowie.

Singto x Krist (Singkit) One ShotsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang