December

121 9 0
                                    

DISCLAIMER : ANGST

------------------------

Halo, Krist. Sudah lama tak bertemu ya?

Masih ingat betapa manisnya kamu berbaring di sebelah ruang kasurku. Mengomel mengapa aku bisa ambil lebih banyak saat aku tak sadar terlelap. Momen kecil tetapi lucunya selalu muncul di kala sepi begini.

Sekarang kasurku lebih luas, Krist. Harusnya aku senang karna kau tak lagi bicara dengan nada cempreng—sesuatu yang dulunya sempat kubenci. Tak kusangka bisa-bisanya aku malah merindukannya. Memukulku dengan bantal sambil tertawa terbahak-bahak. Ada kalanya hal mengesalkan itu terselip candaan gemas.

Sayang, sudah terlambat untuk menyadarinya.

Dulu kabarmu tak pernah lepas dari ponselku. Jutaan kata kita sebar sesuka batin. Emosi seperti apapun terlontar meski makin ke sini makin buruk. Maafkan aku yang belum terbiasa bermain dengan api milikku sendiri. Ini menyedihkan jika bisa kuakui.

Apa kabarmu, Krist? Kini aku hanya bisa melihatmu dari lagu-lagu yang kau putar di Spotify. Menerka kabarmu dari hari ke hari. Mengingat hanya itu jalur koneksi yang belum kau tutup. Terkadang memang aku harus tahu diri seberapa besar kau membenciku.

Pain is never permanent but tonight it's killing me.

Penggalan lagu yang kini jadi favoritku. Dari hari menuju hari membuatku berjalan dalam duri. Meninggalkan bekas pahit yang mencemooh betapa kejinya aku terhadapmu. Memang tak seharusnya aku lulus untuk jatuh cinta. Memilih saja kutak mumpuni.

Ini menyakitkan, Krist. Sungguh.

Terlebih ketika kulihat kau perlahan mulai menemukan taman bahagiamu sendiri. Di saat aku sadar kau tak butuh lagi diriku seperti bulan-bulan yang lalu. Oh, betapa arogannya diriku. Berpikir kau bisa tetap bertahan disaat aku terus menerjangmu dengan kecewa. Justru kini aku yang terus berdiri dan mengemis.

Bukankah itu memalukan untuk manusia hina sepertiku, Krist?

Laki-laki yang lahap menelan kebohongannya sendiri. Mencium bibir lembut yang bukan milikmu. Menggunakan alkohol sebagai pemeran utamanya. Aku tahu kau tak sebodoh itu. Ada aku yang memang punya tujuan. Ada kebodohan akan rakusnya manusia terselip bersamanya.

I miss your face You're in my head There's so many things that I should have said A year of suffering, a lesson learned

Setiap hari aku hanya bisa memandangmu dari layar. Memohon dunia bisa diputar waktunya. Aku ingin kau masih jadi milikku, Krist. Aku merindukan setiap baik inci darimu, bahkan hingga bagian terburuk. Mencubitku kala aku tak berhenti minum. Menyesal aku baru tahu esensi yang sempat kukira hanya omelan kesal.

Bahkan marahmu saja aku rindu, Krist. Aku janji akan menemanimu sampai tenang. Mencerna tiap teriakan yang kau lontarkan padaku.

Seandainya aku tahu kurangmu justru jadi sesuatu yang kuidamkan. Tak peduli lagi aku pada manusia sebelah. Memang segala yang lenyap langsung terasa berharga.

Sekarang kau jadi berharga milik orang kain. Seseorang yang lebih berani menjagamu dan serius tak akan mencoba menyakitimu. Manusia lain yang tak lama akan terbiasa memeluk pinggangmu. Membawa tubuh kecilmu berkeliling ke tempat yang jauh lebih indah dibanding seleraku. Aku tahu pasti siapa. Seorang dengan pasang mata yang tak pernah lepas darimu.

Kuharap dia lebih tulus.

Kuharap dia tak akan salah sepertiku.

I hope you get your ball room floor Your perfect house with rose red doors

Menatapmu dari jarak takut. Berangkulan dengan aman tanpaku. Aku yang dulu punya tempat yang kini tak lagi diakui.

Oh, ini akan jadi Desember yang panjang, Krist. Sepanjang aku mencintaimu tanpa henti—meski terlambat.

It's been a long lonely December

Tertanda,

Singto Prachaya

(Sebuah surel terakhir dari Singto Prachaya sebelum ia berakhir meninggalkan dirinya melawan takdir. Semoga Tuhan selalu bersamanya).


Singto x Krist (Singkit) One ShotsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang