Fasilitator

185 18 0
                                    

DISCLAIMER : EMETO

------------------------------------------------------------

Matahari baru saja muncul, tapi suasana kampus sudah ramai. Mahasiswa baru sudah berbaris rapi lengkap dengan seragam dan atribut yang melekat di tubuh mereka.

"Yang mau sarapan, sarapan dulu ya!" ujar fasilitator ramah, "Nanti sakit."

Anak-anak baru itu mulai membuka isi tasnya. Mereka mengeluarkan bekal yang sudah disiapkan sejak pagi-pagi tadi. Berharap makan pagi itu bisa mengganjal perut mereka sebelum akhirnya menjalani aktivitas seharian penuh.

"Kamu gak makan?"

Krist merasa perilakunya menarik perhatian. Mendapati Singto, seorang kakak tingkat berkulit tan itu, sudah melihatnya sejak tadi.

Kemudian Krist menggeleng. Tak mau banyak komentar.

"Gak bawa bekel?"

"Bawa, Kak."

"Dimakan ya? Jangan lewatin sarapan."

Laki-laki berkacamata bulat itu hanya kembali menggeleng. Wajahnya masih belum berani menatap wajah di hadapannya. Singto keheranan akan sikap adik tingkatnya.

"Kenapa?" tanya Singto, "Kamu gak apa?"

"Gak enak badan, Kak," balas Krist lirih.

"Masih kuat? Mau ke medik?" Wajah Singto berubah panik sambil mengelus lembut punggung adik tingkatnya.

Seseorang yang ditanya itu mendongak, menunjukkan wajahnya yang pucat pasi. Singto makin khawatir. Buru-buru ia ekor matanya melesat menjamahi ke arah sekitar. Sigap mencari rekannya yang bertugas di bidang medik.

"Aduh ini pada ke mana sih?" keluh Singto, "apa mau aku anter aja? Pusing gak kepalanya? Bisa jalan?"

Adik kelas itu masih terdiam. Membuat Singto ketakutan jika akan ada hal buruk terjadi. Dan menunggu kerabat kerjanya yang belum datang juga ternyata tak membantu. Sia-sia juga mereka diajarkan tiga bulan penuh untuk bersikap taktis dalam setiap kejadian.

"Adek ikut saya ke medik ya?" Singto membopong tubuh Krist. "Dek, ini tas temennya tolong kasih ke fasil ya. Biar aku yang urus. Oke?"

"Iya, Kak," jawab perempuan berkuncir kuda yang duduk di sebelah Krist.

***

"Medik! Medik!" teriak Singto kala masuk ke tenda yang rupanya kosong. Hanya ada seorang perempuan di sana.

Namtan yang duduk bersila buru-buru berdiri membantu Singto membawa tubuh lemah Krist naik ke kasur.

"Kenapa?" tanya Namtan dengan penuh perhatian, "Apa yang sakit, Dek?"

Krist menyentuh perutnya perlahan. Ditambah wajahnya yang ikut memelas pula. Menunjukkan bagian yang membuatnya tak nyaman sejak pagi. Ia mendesah sesekali melawan mual yang menganggunya.

"Gak nyaman perutnya?" tanya Singto khawatir berlaku seperti ini merupakan pekerjaannya, "Sakit? Mual?"

"Mual," lirih Krist kemudian merebah bertemu dengan bantal.

Singto memang baru pertama kali menemui anak ini secara langsung, namun rasa perhatian itu benar-benar memuncak. Tak lagi ia peduli dengan pekerjaannya sendiri. Toh, ia pikir ini juga tugasnya sebagai penjaga adik-adik tingkatnya.

"Aku bikinin teh ya?" tawar Namtan yang kemudian beranjak entah ke mana.

"Kamu belum makan?" tanya Singto.

Krist tak lagi bisa membuka mulutnya. Kepalanya pusing seakan membuat dunia berputar. Jadi ia hanya bisa mengangguk berharap rasa tak enak di perutnya berangsur-angsur menghindar.

Singto x Krist (Singkit) One ShotsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang