Bab 1

2.6K 68 3
                                    

“Lis, aku pulang dulu ya,” pamit Nadira.

Nadira bekerja di sebuah perusahaan garmen. Pulang tengah malam sudah biasa baginya. Di tempatnya bekerja, jam kerja dibagi menjadi tiga shif. Hari itu, Nadira mendapat shif siang, berangkat jam dua siang, pulang jam sebelas malam.

“Hati-hati, Dir,” tutur Lisa memeluk Nadira seraya mencium pipi kanan dan kiri gadis itu.

“Iya, Lis. Terima kasih ya. Da ....” Nadira melambaikan tangan. Nadira berjalan meninggalkan perusahaan.
Nadira berhenti di tepi jalan untuk menunggu angkutan. Dia sudah biasa berangkat dan pulang kerja mengendarai angkutan umum.

***

“Kiri, Pak!” Nadira turun saat tiba di gang menuju rumahnya. Jarak rumah dari jalan raya cukup jauh. Nadira biasa berjalan kaki untuk sampai ke rumah. Jalan yang dia lewati masih berupa jalan tanah dengan batu kerikil, apabila terguyur hujan jalanan menjadi becek dan licin.

Malam itu begitu sunyi dan mencekam, tak ada seorang pun yang melintas. Udara dingin menusuk tulang, jalan licin karena guyuran hujan membuatnya berjalan lebih berhati-hati.

Nadira berjalan sendiri di bawah rintik hujan yang berjatuhan membasahi dirinya. Merasa ketakutan, gadis itu menatap ke arah kanan dan  kiri. Jalan yang dilaluinya masih dikelilingi lahan kosong yang cukup luas, dengan ilalang yang tumbuh menjulang di setiap sisinya. Walau ketakutan Nadira tetap melangkahkan kakinya, karena hanya jalan itu satu-satunya jalan menuju rumah.

Beberapa meter Nadira melangkah, terdengar suara mobil yang berhenti tak jauh darinya. Disusul suara langkah kaki yang bergerak cepat,  di belakangnya. Merasa diikuti, Nadira pun mempercepat langkah.

“Berhenti!” Terdengar suara seorang pria di belakang Nadira. Pria itu mempercepat langkah. Jalanan yang becek dan berair, membuat suara langkah kaki pria terdengar jelas.
Teriakkan pria itu justru membuat Nadira semakin ketakutan. Bukannya berhenti, gadis itu justru berlari semakin kencang.

“Tolong ... tolong ...!” teriaknya.

Seketika hujan lebat turun,  mengguyur bumi. Suara teriakan  Nadira menjadi tak terdengar, tersamarkan  suara hujan. Dia mempercepat larinya. Sesekali  gadis itu menoleh ke belakang, memastikan jarak pria itu dengannya.

Dia melihat jelas pria yang mengejarnya memakai baju berwarna hitam dan wajah tertutup topeng. Pria itu berlari semakin mendekat.
Melihat Nadira berlari semakin menjauh dan hampir mendekati pemukiman, pria itu  mempercepat larinya.

Sayangnya jalanan yang licin membuat langkah Nadira terbatas. Beberapa kali kaki gadis itu terpeleset.

“Argh ...!” Pria itu menggapai Nadira. Dia mencengkeram kuat lengan gadis itu dan menariknya menuju mobil.
“Ikut aku!” bentaknya.

Nadira berontak, menggeliat, berusaha melepaskan cengkeraman dari lengannya. “Lepaskan! Aku mohon lepaskan aku ...!”

Pria itu diam tak menimpali. Dia Menarik paksa Nadira menuju sebuah mobil hitam tanpa pelat nomor yang terparkir di tepi jalan.

Nadira berontak berusaha melepaskan diri. Dia mencoba menggigit tangan pria itu.

“Argh ...!” teriak pria itu kesakitan. Akan tetapi pria itu masih tidak melepaskan cengkeram tangannya.
Nadira tidak kehilangan akal. Dia mengangkat kakinya tinggi, menghempaskannya hingga mengenai kaki pria bertopeng.

“Arrgh ...!” pekik pria itu. Dia melepaskan cengkeraman tangannya dan  berjingkat karena kesakitan.
Melihat hal itu, sekuat tenaga Nadira mendorong tubuh pria itu, hingga dia jatuh terjerembap ke tanah. Secepat kilat Nadira berlari menuju ke arah pemukiman.

Menyadari gadis yang dia incar berlari. Pria itu bangkit dan kembali mengejarnya. “Berhenti!”
Nadira semakin ketakutan. Dia terus berlari menghindari pria itu.

“Aaa ...!” Naas, Nadira jatuh terpeleset. Baju Nadira basah kuyup dan kotor oleh lumpur.

Pria bertopeng menghampirinya, membungkukkan badan, meraih tubuh Nadira. Dia  mengendong gadis itu secara paksa, membawanya berjalan menuju ke dalam mobil.

Nadira menangis, menjerit, dan meronta, meminta agar pria itu melepaskannya. “Lepaskan!” teriak Nadira memukul punggung pria itu.
Pria itu tak menghiraukannya. Dia terus berjalan membawa tubuh kurus Nadira dalam gendongan. Sekuat apa pun dia berusaha melepaskan diri, tapi usahanya hanya sia-sia.

“Aku mohon lepaskan, aku ...,” pinta Nadira memelas.

“Diam!” bentak pria itu. “Aku tidak akan melepasmu, sebelum apa yang aku inginkan terpenuhi.” Pria itu tersenyum menyeringai.

Rasa dingin dan ketakutan yang luar biasa membuat tubuh Nadira bergetar hebat.

Pria bertopeng menghempaskan Nadira di jok belakang dan mengambil tali yang sudah tersedia di samping di dalam mobil. Pria itu seperti sudah merencanakannya. Dia lantas  mengikat tangan dan kaki Nadira dan menutup mata gadis itu dengan sebuah kain berwarna hitam.

“Aku mohon lepaskan aku,” pinta Nadira dalam posisi meringkuk.

“Tidak akan!”

Pria itu tersenyum penuh kemenangan. Pria itu menutup pintu mobil keras dan beralih ke depan kemudi.

“Mau kau bawa aku ke mana?” Nadira meronta  berusaha  melepaskan diri saat mobil mulai dinyalakan.

“Jangan banyak tanya!” Pria itu mengambil lakban yang berada di hadapannya. Dia bangun menghadap ke belakang dan  menutup mulut Nadira dengan lakban tersebut dan melajukan mobil membelah jalanan.
Nadira hanya mampu menangis, tanpa bisa berbuat apa-apa. Dia tidak tahu ke mana arah mobil melaju. Gadis itu  hanya bisa mendengar suara gemuruh hujan.

Bersambung ....
Yang mau next kilat bisa ke KBM App.
Yang tidak bisa ke sana. Jangan khawatir. Nanti akan ada ending versi WP

Mahkota Yang Terenggut (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang