Saat akan meninggalkan apotek, Nadira melihat Bagas, berdiri di samping motornya. Dia menghampiri pria itu. “Gas, sedang apa kamu di sini?”
“Aku mau beli obat sakit kepala,” ucapnya berbohong. Sebenarnya dia tadi ada keperluan mendadak, sehingga dia bolos kerja. Akan tetapi, pada saat melihat Nadira berjalan ke apotek, pria itu mengikutinya, karena merasa kawatir jika gadis itu masih sakit.
“Kamu, sakit?” Nadira memandang Bagas.
“Iya, kepalaku sedikit pusing.” Bagas memegang kepalanya. Kepala Bagas memang tiba-tiba pusing karena melihat barang yang dibeli Nadira. “Kamu sendiri sedang apa di sini?”
“Aku beli obat masuk angin dan vitamin. Akhir-akhir ini badanku rasanya lemas,” ucap Nadira berbohong.
Jelas-jelas Bagas melihat Nadira membeli sebuah testpack. “Banyak istirahat, makan buah yang cukup dan jaga pola makanmu,” pesan Bagas.
Bagas sangat tahu kebiasaan Nadira. Gadis itu jarang sekali makan tepat waktu. Maklum, gadis itu hanya hidup seorang diri tanpa ada ayah dan ibu yang mendampingi. Jadi, tidak ada orang yang memperhatikannya.
“Iya, terima kasih nasehatnya. Ya sudah, aku pulang duluan ya, Gas.”
Bagas, menganggukkan kepala. Nadira pun berjalan meninggalkannya.
Bagas memandang kepergian gadis itu. Dia tak percaya kalau Nadira melakukan perbuatan hina. ‘Pasti dia membelinya untuk orang lain,’ pikirnya. Bagas menggelengkan kepala, menghilangkan segala praduga dari isi kepala. Akan tetapi, sahabat Nadira hanya dirinya dan Riana. Karena penasaran, Bagas menyusul Nadira menuju rumahnya untuk memastikan.
***
Setibanya di rumah, Nadira bergegas menuju kamar mandi. Saat benda tersebut di celupkan, dengan cepat hasilnya bisa terlihat. Mata Nadira terbelalak, tak percaya akan apa yang dilihatnya. Gadis itu menutup mulut dengan tangan kanan. Air matanya lolos begitu saja, berjatuhan membasahi pipinya.
Dia tidak percaya dengan hasil tes kehamilan di tangannya. “Enggak mungkin ...!” Nadira melempar benda kecil yang menunjukkan garis dua ke tempat sampah.
Nadira berjalan gontai keluar kamar mandi. Dia masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Gadis itu menangis, meraung, meratapi keadaan dirinya. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Kehormatannya sudah diambil paksa, ditambah hal mengerikan itu meninggalkan jejak yang akan ditanggungnya seumur hidup.
Merasa kesal, Nadira melempar segala benda yang ada di sampingnya ke sembarang arah.
“Arrghh ....!” teriaknya.
Suara gaduh terdengar dari dalam kontrakannya. Setelah lelah melempar barang-barang, tubuh Nadira luruh ke lantai, dia menangis tersedu, meratapi nasib tragis yang menimpa dirinya.
Di luar rumah. Bagas berdiri di depan pintu. Dia mendengar tangis pilu Nadira—gadis yang dicintainya.
Bagas memang menyukai gadis itu sejak lama. Namun, dia memendam perasaannya, karena dia tahu prinsip Nadira yang tidak ingin menjalin hubungan yang bernama ‘pacaran’. Sabar, Bagas menunggu waktu yang tepat untuk mengungkapkan perasaannya. Dia menunggu hingga gadis pujaannya itu, siap untuk membina rumah tangga. Namun, Bagas merasa kecewa saat mengetahui gadis itu tengah berbadan dua.
Di mata Bagas, Nadira adalah gadis baik, yang hampir tidak pernah bergaul dengan pria.
Merasa kesal, Bagas melayangkan tinju ke dinding dan pergi meninggalkan rumah Nadira.
Bagas mengendarai motornya membelah jalanan. Dia melajukan motornya tanpa arah dan tujuan. Hatinya begitu terluka, hingga menyisakan perih yang tak terduga. Pikiran Bagas terus tertuju pada Nadira. ‘Bagaimana bisa, gadis sebaik Nadira bisa hamil di luar nikah.’ Bagas masih tak percaya dengan apa yang terjadi.
“Aaa ...!” Bagas yang masih melajukan motornya berteriak kencang. Orang-orang memandang tak suka pada Bagas. Kebetulan saat itu jalanan juga sedang rame.
Sedih, marah, dan kecewa. Dalam benaknya ada penuh tanya, ‘Siapa pria yang tengah menghamilinya.’ Diselimuti rasa penasaran, Bagas memutar balik motornya, menuju rumah Nadira untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi.
Selama di perjalanan menuju rumah Nadira. Dia teringat dengan keadaan gadis itu beberapa waktu lalu. Dia teringat dengan insiden jatuh, yang meninggalkan bekas jeratan di tangan dan wajah yang lebam.
Tidak butuh waktu lama, dia sampai di rumah Nadira. Bagas mengetuk pintu pelan, seraya mengucapkan salam.“Wa’allaikum salam.” Nadira membuka pintu. Wajah gadis itu tampak pucat, badanya terlihat lemah.
“Dir, aku mau bicara?”
Nadira memandang ke segala arah. “Riana enggak ikut?”
“Aku sendirian.”
“Aku tidak ingin timbul fitnah di antara kita. Maaf, Gas aku tidak bisa.”
Nadira menutup pintu rumah. Akan tetapi Bagas mencegahnya.
“Siapa yang menghamilimu?”
Nadira tersentak mendengar pertanyaan Bagas.Mereka pun duduk di teras. Kebetulan saat itu suasana sekitar sepi, jadi tidak ada yang mendengar pembicaraan mereka.
“Bagaimana, kamu bisa tahu?” Nadira memandang Bagas.
“Aku melihatmu, membeli testpack tadi.” Bagas memandang Nadira. “Aku juga mengikutimu pulang. Aku mendengarmu, menangis. Apa yang sebenarnya terjadi, ceritakanlah padaku.”
Seketika Nadira menangis. Dia lantas menceritakan nasib tragis yang menimpanya malam itu, hingga petaka itu meninggalkan jejak di rahimnya.
“Apa kamu tidak mengenali pria itu?”
Nadira menggelengkan kepala.“Kenapa kamu tidak menceritakan pada kami sedari awal?” ucap Bagas kecewa.
“Aku takut, Gas. Dia mengancam akan membunuhku,” ucap Nadira menunduk.
“Astagfirullah ...!” Bagas mengacak rambutnya kasar. “Jangan takut, ada aku dan Riana yang akan selalu melindungimu kamu. Apa kamu tahu ke mana pria itu membawamu?”
Nadira menggelengkan kepala. “Aku tidak bisa melihat apa pun, karena dia menutup mataku. Aku hanya mengingat tato mawar di tangannya.”
“Apa kau ingat dengan pelat mobil yang membawamu?”
Nadira menggelengkan kepala. “Mobil yang dia kendarai tanpa pelat nomor.”
“Nadira, aku bersedia untuk menikahimu.”
Nadira terperanjat mendengar pengakuan Bagas.“Maaf, Gas. Bukannya aku menolak, tapi bukankah tidak boleh menikahi wanita yang sedang hamil.”
Bersambung ....
Yang mau next kilat bisa ke KBM App. Sudah tamat di sana
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahkota Yang Terenggut (TAMAT)
Romance"Siapa yang menghamilimu?" Nadira tersentak mendengar pertanyaan Bagas. Mereka pun duduk di teras. Kebetulan saat itu suasana sekitar sepi, jadi tidak ada yang mendengar pembicaraan mereka. "Bagaimana, kamu bisa tahu?" Nadira memandang Bagas. "Aku m...