Bab 4 Garis dua

1.1K 44 0
                                    


"Gas ... aku hanya jatuh di tepian saja, enggak sampai ke bawah." Nadira menjelaskan.

Bagas hanya menganggukkan kepala, walau dalam benaknya masih penuh tanda tanya.

Setelah puas bercengkerama Bagas Dan Riana pamit pulang. Mereka meminta gadis itu untuk istirahat beberapa hari. Masalah pekerjaan, mereka akan memintakan ijin, agar gadis itu bisa beristirahat hingga keadaannya benar-benar pulih.

***

Dua bulan telah berlalu sejak kejadian naas itu. Perlahan Nadira sudah kembali ceria, walau terkadang gadis itu masih teringat kejadian pilu yang menimpa dirinya.

Seperti biasanya Nadira berangkat kerja. Namun, kali ini dia lebih berhati-hati, takut kejadian naas itu kembali terulang. Setiap usai shif siang dan pulang malam, dia lebih memilih menginap di kontrakan Riana yang terletak di belakang perusahaan.

"Hai, Ri." Nadira menghampiri Riana.

Dia memeluk sahabatnya, mencium pipi kanan dan kiri gadis itu. Hal itu biasa mereka lakukan ketika bertemu.


Saat melepas pelukan Riana melihat ada yang salah pada diri sahabatnya.

Dia memandang wajah Nadira dengan saksama. "Dir, wajahmu kelihatan pucat, kamu sakit?" tanyanya.

"Apa iya? Beberapa hari ini aku memang merasa lemas dan gampang letih."

Riana memegang dahi Nadira. "Enggak panas."

"Aku juga merasa mual, mungkin aku masuk angin." Nadira memegang perutnya.

"Nanti pulang kerja, aku kerokin." Riana menyentuh bahu Nadira. "Ni, kebetulan aku bawa obat masuk angin." Riana memberikan satu saset obat masuk angin kepada Nadira.

"Terima kasih ya, Ri." Nadira langsung menyobek obat masuk angin dan meminumnya.

Bel masuk jam kerja terdengar. Nadira dan Riana kembali ke meja kerja mereka yang saling berdekatan. Di hadapan mereka terdapat sebuah mesin jahit elektrik berwarna putih. Di samping meja ada tumpukan kain yang siap dijahit.

Nadira mulai menyalakan mesin, mendorong maju kain ke bawah jarum mesin jahit secara perlahan dan teliti agar jahitan yang di hasilkan rapi. Namun, tiba-tiba pandangan gadis itu gelap.

Bruukk!

Nadira jatuh terkulai di lantai.

"Dir." Riana menghampiri Nadira. Dia menggoyangkan badan sahabatnya.

Beberapa teman satu line ikut berhambur untuk melihat gadis itu.


Melihat teman-temanya berlari ke arah meja kerja Nadira. Bagas yang sedang mengangkat kain-kain yang sudah selesai dijahit, segera berlari menghampiri kerumunan.

"Nadira!" Bagas berjongkok, meraih tubuh mungil Nadira. Dia menggendong gadis itu dan bergegas melarikannya menuju poliklinik.

***

"Alhamdulillah ...." Riana tampak senang melihat sahabatnya siuman. Sedari tadi gadis itu duduk di samping Nadira.

"Ri." Nadira menatap Riana. Dia beringsut bangun dengan satu tangan memegang kepala karena pusing.

Riana membatu gadis itu untuk bangun. "Kamu kenapa Dir?"

"Entahlah ... badanku rasanya lemas banget," ucap Nadira.

Bagas masuk ke dalam, menghampiri Nadira dan Riana. "Ri, semua sudah beres." Bagas menyerahkan surat ijin pulang lebih awal pada Riana.

"Berarti Nadira sudah bisa pulang sekarang?"

Bagas menganggukkan kepala. Dia memandang Nadira. "Kamu kenapa, Dir?"

"Enggak tahu. Badanku rasanya lemas dan pusing."

Bagas membantu Nadira turun dari ranjang, memapah gadis itu berjalan keluar poliklinik, sedang Riana menuju loker mengambil tas Nadira dan miliknya.

***

"Dir, aku lihat badan kamu sedikit berisi dari biasanya." Riana memandang Nadira yang sedang duduk bersandar tempat tidur.

"Apa iya?" Nadira menegakkan badannya, memandang wajahnya pada cermin di meja rias. Dia memegang kedua pipinya. "Enggak akh ... biasa saja," sanggah Nadira.

"Kamu enggak kembali ke tempat kerja?"

Riana yang duduk di depan rias, bangun dan duduk di samping Nadira.

"Aku di sini saja, menemani kamu. Aku khawatir jikalau terjadi sesuatu padamu." Dia menggenggam erat tangan sahabatnya.

***

Hawa dingin membangunkan Nadira. Kumandang Adzan Subuh pun terdengar dari masjid dekat kontrakannya. Nadira beringsut bangun, menuju kamar mandi untuk berwudu.

Huek!

Nadira merasakan ada sesuatu yang mendorong dari dalam perutnya. Dia merasakan mual yang begitu hebat. Dia berlari ke kamar mandi, menumpahkan segala isi perutnya.

Mendengar Nadira muntah, Riana
terbangun. Dia bergegas menghampiri sahabatnya. "Dir, kamu kenapa?"

"Enggak tahu ni, rasanya mual banget. Huek!"

"Aku antar ke dokter, ya?" tawar Nadira.

"Tidak terima kasih, mungkin aku hanya masuk angin saja."

Riana bergegas mengambil minyak kayu putih, mengoleskannya ke badan Nadira.

Riana juga membuatkan teh manis untuk sahabatnya.

"Diminum, Dir. Masih hangat, biar mualmu sedikit berkurang." Riana memberikan teh manis pada Nadira.

"Kamu istirahat saja, nanti biar aku yang minta kan surat ijin kamu," ucap Riana.

"Terima kasih ya, Ri. Kamu memang sahabat terbaikku," ucap Nadira tersenyum.

"Aku beli sarapan dulu keluar."


Riana berjalan keluar meninggalkan Nadira.

Nadira memandang sebuah kalender yang menempel pada dinding kamar. Dia terlonjak, melihat tanggal pada kertas yang berisi angka dengan gambar pemandangan latar pegunungan.

Gadis itu menutup mulutnya dengan kedua tangan, air matanya tumpah.

"Enggak mungkin ...." Gadis itu menggelengkan kepala, air matanya mengalir membasahi pipi.

Nadira sudah terlambat datang bulan. Seharusnya tanggal lima belas bulan kemarin dia menstruasi.

"Astagfirullah ... apakah aku hamil?" Nadira memandang perutnya yang masih rata dan memegangnya menggunakan tangan kanan. "Apa yang harus aku lakukan bila itu benar terjadi."

Gadis itu resah dan gelisah. Dia merasa takut, jika memang benar dirinya hamil.

"Dir, kamu kenapa?" Riana yang baru tiba menghampiri Nadira yang sedang menangis.

"Aku rindu ayah dan ibu," ucapnya berbohong.

Riana memeluk tubuh Nadira. Usai sarapan Riana bersiap untuk berangkat kerja.

"Dir, aku berangkat dulu, ya. Kamu enggak apa-apa kan kalau aku tinggal."

Nadira menganggukkan kepala.

***

Perasaan gelisah berkecamuk dalam dada Nadira. Beberapa kali dia berjalan mondar-mandir dalam kamar. Dia begitu cemas bila hal yang paling ditakutkannya terjadi. Gadis itu lantas mengambil tas dalam lemari dan pergi keluar rumah.

Dengan tergesa-gesa Nadira berjalan menuju apotek terdekat.

Bagas yang kebetulan lewat. Dia menghentikan laju motornya dan berjalan mendekati gadis itu. Namun, saat akan mendekat, dia terperanjat saat melihat barang yang dibeli Nadira.



-Bersambung-



Yang mau next kilat bisa ke KBM App

Yang mau next kilat bisa ke KBM App

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Mahkota Yang Terenggut (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang