“Aku akan menunggu hingga anak itu lahir.” Nadira tidak percaya dengan ucapan Bagas.“Bagas, aku ini sudah hina. Aku tidak pantas untuk siapa pun!” ucap Nadira terisak.
“Jangan berbicara seperti itu. Semua bukan kesalahanmu.” Bagas mencoba menenangkan.
“Aku merasa sangat kotor sekali, Gas. Walau mandi berkali-kali pun, badanku rasanya masih sangat kotor. Aku saja sangat merasa jijik pada diriku sendiri, bagaimana dengan orang lain!” Nadira terus saja menangis.
Beruntung suasana juga sedang sepi, jadi tidak ada orang yang melihatnya menangis.
“Berhentilah menyalahkan dirimu, semua ini bukan salahmu!” Bagas sedikit marah. Dia tidak ingin gadis itu terus menyalahkan dirinya.
“Aku tidak tahu harus bagaimana jika orang-orang tahu tentang kehamilanku. Mereka pasti akan mencaci atau bahkan mengusirku dari sini.” Nadira terus saja menangis.
Bagas terdiam, dia merasa ada benarnya juga perkataan Nadira. Kehamilan Nadira tidak bisa selamanya di sembunyikan.
Nadira bangkit dari duduknya. Dia berdiri menatap Bagas, sesekali gadis itu menyeka air matanya dengan tangan. “Pulanglah, aku butuh waktu untuk menyendiri saat ini.”
Bagas pun ikut berdiri. Dia menatap Nadira yang matanya mulai membengkak karena terus saja menangis . “Tapi, Dir ....”
“Pulanglah ... aku mohon.” Nadira mendorong tubuh Bagas.
Nadira pun berlari masuk ke dalam. Dia menangis sejadi-jadinya. Hatinya begitu pedih saat mendengar gadis itu menangis. Ingin rasanya dia terus berada di damping gadis itu untuk menguatkan dan menenangkannya. Namun, apa daya semua tidak bisa dia lakukan karena tidak ada ikatan apa pun di antara mereka.
***
Pikiran Bagas tak tenang, hatinya bimbang. Pikirannya terus tertuju pada Nadira. Melihat gadis itu menangis hatinya begitu teriris.
Malam semakin larut, dia belum juga mampu untuk memejamkan mata. Bagas yang sedang berbaring di atas tempat tidur, beberapa kali merubah posisinya karena tidak nyaman. Hingga akhirnya dia bangun dan duduk. Sebuah kamar dengan ukuran tiga kali tiga meter, menjadi saksi bisu kegundahan hatinya.
Dia menatap potret Nadira yang tertempel di dinding kamarnya. Dia begitu mencintai gadis itu. Dia tidak ingin sesuatu yang buruk kembali menimpa Nadira.
Di dalam dirinya dia bertekad untuk menikahi gadis itu. Namun, Bagas tidak yakin kedua orang tuanya akan merestui hubungannya dengan Nadira, jika mereka tahu bahwa gadis itu tengah berbadan dua.
Bagas bangun dari tidurnya, berjalan ke kamar mandi untuk mengambil air wudu.
Dia mengambil sarung dan peci dari dalam almari kecil dan memakainya. Bagas menggelar sajadah di atas tikar, lalu melaksanakan salat istiqarah, berharap Allah SWT akan memberikan jawaban yang terbaik untuk dirinya.***
Bagas berjalan menuju meja kerja Nadira. Di tangannya ada berbagai jajan, seperti putu ayu, onde-onde, bakwan, susu kedelai, dan beberapa makanan lainnya. Dia sengaja membelikannya karena dia tahu, Nadira pasti tidak sarapan saat berangkat kerja. Apalagi saat ini ada janin yang ada di dalam perutnya, Bagas tidak ingin jika gadis itu jatuh sakit.
“Nadira, mana?” Bagas bertanya pada Riana. Dia memandang ke segala arah, mencari Nadira. Namun, gadis itu tidak ada.
“Dia sepertinya tidak masuk,” jawab Riana.
“Apa dia sakit lagi, ya?” tanya Nadira heran.
“Entahlah, nanti pulang kerja aku akan ke sana untuk menengoknya.”
“Aku ikut,” pinta Riana.
“Ok, baiklah. Sepulang kerja nanti aku tunggu kamu di tempat parkir. Bagas pun kembali melanjutkan pekerjaannya dengan pikiran masih tertuju pada Nadira.
***
Tepat pukul empat, jam kerja usai. Riana dan Bagas sudah bersiap untuk ke rumah Nadira. Sebelumnya mereka sudah menunaikan salat asar terlebih dahulu di Mushola perusahaan.
“Ayo!” ajak Bagas. Mereka pun menuju ke rumah Nadira, mengendarai sepeda motor berwarna merah milik Bagas.
Di rumah Nadira ....
Gadis itu terus saja menangis. Dia mengurung dirinya di rumah. Dia sangat malu jika kehamilannya di ketahui oleh teman-teman atau para tetangga.
Dia sungguh frustrasi. Nadira tidak mempunyai sanak saudara yang bisa di ajak berbagi. Andai kedua orang tuanya masih ada, mungkin nasibnya tidak akan seperti ini.
Sore itu Bagas ke rumah Nadira bersama Riana. Mereka tiga sahabat yang bekerja di tempat yang sama dan sama-sama tinggal di kontrakan. Namun, ada perbedaan di antara mereka, Bagas dan Riana masih memiliki orang tua.“Assalamualaikum, Dir.” Bagas mengucapkan salam. Tidak ada jawaban, rumah Nadira tampak sepi.
“Assalamualaikum, Dir.” Giliran Riana yang mengucapkan salam. Namun, tetap tidak ada jawaban.
“Apa dia keluar, ya?” tanya Riana.
Di dalam, Nadira yang mendengar panggilan sahabatnya mengacuhkan mereka. Dia sungguh malu untuk bertemu dengan mereka.Nadira melihat sebuah pisau buah di meja. Dia mengambilnya dan duduk di lantai, bersandar pada dinding kamar. Nadira terus saja menangis.
Di luar, Bagas mencoba mengintip dari jendela. Dia melihat Nadira duduk menangis di pojokkan kamar dengan sebuah pisau di tangan.
Bagas bergegas mendobrak pintu. Dia tidak ingin gadis itu sampai berbuat nekat.
Sekali ... dua kali ... Bagas menubrukkan badannya ke pintu, pintu belum mau terbuka.
“Minggir!” Bagas meminta Riana untuk sedikit menyingkir karena dia ingin mengambil ancang-ancang.Dengan kekuatan penuh, Bagas menendang pintu, seketika pintu terbuka. Bagas berlari menghampiri Nadira, mengambil pisau dari tangan gadis itu. “Apa yang akan kamu lakukan! Jangan bodoh! Bunuh diri tidak akan menyelesaikan masalahmu!” Bagas marah besar pada gadis itu. “Bunuh diri itu dosa besar, Dir.”
Tangis Nadira semakin menjadi. Riana seketika menghampiri gadis itu. Dia bingung dengan yang sebenarnya terjadi.
Bersambung ....
Yang mau next kilat bisa ke KBM App. Di sana sudah tamat
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahkota Yang Terenggut (TAMAT)
Romance"Siapa yang menghamilimu?" Nadira tersentak mendengar pertanyaan Bagas. Mereka pun duduk di teras. Kebetulan saat itu suasana sekitar sepi, jadi tidak ada yang mendengar pembicaraan mereka. "Bagaimana, kamu bisa tahu?" Nadira memandang Bagas. "Aku m...