Bab 3

1.2K 41 0
                                    


Mereka bertiga duduk di kursi yang terdapat di teras, tepatnya empat buah kursi yang mengelilingi sebuah meja persegi. Riana duduk tepat di samping Nadira, sedangkan Bagas duduk berseberangan dengan Nadira.

"Semalam hujan, jalanan licin. Aku tidak sengaja terpeleset jatuh terperosok ke sawah dan tidak sengaja terjerat tali tambang yang kebetulan ada di sana," ucapnya bohong. Nadira menatap bunga-bunga layu tertimpa terik matahari yang tumbuh di halaman rumahnya.

"Ya, ampun Dir, ini tuh enggak seperti luka jatuh." Riana menunjuk luka-luka yang ada di tangan dan wajah Nadira.

"Masa enggak percaya sih! Sana periksa sendiri di ujung jalan sana!" Nadira menunjuk ke arah jalan yang biasa dia lewati. "Masih ada bekas jatuh aku semalam."

"Terus, siapa yang menolong kamu?"

"Tidak ada."

"Terus kamu naik ke jalan bagaimana?"

"Merangkak."

"Enggak bakalan bisa kamu naik sendiri," sangkal Bagas.

Nadira memandang Bagas. Memang tak mudah untuk naik ke jalan tanpa bantuan seseorang. Apalagi dalam kondisi hujan dan jalan licin. Sedangkan, antara jalan dan sawah ada selisih ketinggian yaitu jalan berada satu meter di atas sawah.

"Apa ada seseorang yang mengganggumu semalam?"

Nadira kaget dengan perkataan Bagas.

"Tidak ada," jawabnya.

Nadira memang cantik, menarik dan menjadi primadona desa. Banyak pria yang tergila-gila padanya Banyak pula yang datang, ingin menjadi pacarnya. Akan tetapi, Nadira menolak mereka. Dia hanya ingin memilih pria yang benar-benar mencintainya, bukan nafsu yang berlandaskan cinta.

Nadira tipikal gadis pendiam yang selalu menjaga pergaulannya. Dia selalu menjaga dirinya agar tidak terjerumus pada perbuatan yang tercela, tapi kini dia merasa dirinya terlalu hina, karena tak mampu menjaga kehormatannya.

"Aku antar ke dokter ya, Dir. Memar dan luka di badanmu itu parah banget loh! Aku takut terjadi sesuatu padamu," kata Riana mendekati sahabatnya. Riana menggenggam tangan sahabatnya.

"Iya, Dir. Lebih baik kamu ke dokter. Aku khawatir dengan keadaanmu," kata Bagas.

Nadira menggelengkan kepala. "Aku enggak apa-apa kok. Aku hanya butuh istirahat saja," ucapnya meyakinkan.

"Kalau begitu biar aku belikan obat sebentar di apotek." Tanpa menunggu jawaban Nadira, Bagas beranjak meninggalkan Riana dan Nadira.

Bagas mengendarai motornya, menuju apotek terdekat. Dia melewati jalan yang biasa dilewati Nadira. Hanya itu jalan satu-satunya untuk menuju kota.

Bagas memerhatikan jalan dengan saksama. Dalam benaknya ada berbagai tanya, 'Seandainya terjatuh dan terjerat tali, tidak mungkin akan meninggalkan luka separah itu?' Pria itu Merasa ada kejanggalan pada cerita Nadira.

Bagas sejenak menghentikan motornya. Pria itu memperhatikan setiap titik jalan. Ada bekas jatuh Nadira. Namun, bekas jatuh itu berada di tepi jalan. Seandainya gadis itu benar jatuh ke sawah, pasti ada tepian tanah yang ikut longsor ke bawah dan tumbuhan padi yang tertimpa badannya otomatis akan roboh ataupun rusak. Di sana pun, tak ditemukan sebuah tali seperti yang diceritakan Nadira.

Bagas merasa ada sesuatu yang Nadira sembunyikan. Pria itu menggelengkan kepala, mencoba menangkis segala praduga yang ada dalam kepala. Pria itu pun kembali melajukan motornya, menuju apotek untuk membelikan Nadira obat.

***

"Dir." Riana menyentuh bahu sahabatnya.

Sejak tadi Nadira banyak diam dan melamun. Gadis itu tak seperti biasanya.

"Eh ... Ri." Nadira memandang Riana yang berdiri di sampingnya.

"Kamu kenapa?"

Lagi-lagi Nadira menggeleng. Bukan hanya takut pada ancaman pria bertopeng yang telah merenggut kehormatannya, tapi dia juga merasa malu karena tidak bisa menjaga mahkotanya.

"Oh iya Dir, Ini aku bawakan makanan, pasti kamu belum makan." Riana mengambil nasi kotak di atas meja dan memberikan pada Nadira.

"Iya, terima kasih," ucapnya.

Nadira hanya memandang nasi kotak yang dibawakan Riana.

"Ayo makan dulu, kamu pasti belum makan 'kan?" Nadira membuka nasi kotak yang dia bawa. Mendekatkannya pada Nadira dan mengeluarkan sebuah sendok yang berada dalam kotak. "Mau aku suapi," tawarnya.

Nadira menggelengkan kepala. Dia mengambil alih sendok yang ada di tangan Riana dan memakan nasi kotak dengan malas.

"Makan yang banyak, biar lekas sehat," ujar Riana menatap sahabatnya.


Riana sangat menyayangi Nadira, seperti saudaranya sendiri.

"Dir, ini obatnya, diminum setelah makan." Bagas yang baru saja tiba, meletakan obat di samping Nadira.

"Biar aku ambilkan air putih di dalam."

Nadira mengangguk mengiyakan.


Bagas masuk ke dalam. Dia melihat kamar Nadira berantakan. Bantal, seprai semuanya berserakan di lantai. Pemuda itu yakin ada sesuatu yang terjadi pada Nadira. Dia mengambil teko berisi air di atas meja, menuangkannya ke dalam gelas yang terletak di samping teko. Setelah selesai, Bagas kembali keluar dengan gelas di tangan.

"Ini, Dir minumnya." Bagas meletakan gelas di samping piring Nadira.

Gadis itu mengangguk. "Terima kasih, Gas."

Perlahan tapi pasti Nadira makan nasi yang dibawa Riana sampai habis.


Bagas dengan telaten menyobekkan bungkus obat, lalu memberikan obat pada Nadira. Dia juga membantu memegangkan air minum.

"Dir ... sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Bagas setelah gadis itu minum obat.

"Aku hanya terjatuh."

"Bohong! Aku tidak melihat ada tanaman padi yang ambruk atau tanah yang longsor. Tidak ada bekas tempatmu jatuh semalam."

Nadira menatap Bagas tak percaya. Dia bingung harus bicara apa. Apakah dia harus jujur mengatakan apa yang sebenarnya terjadi padanya.



-Bersambung-


Yang mau next kilat bisa ke KBM App

Yang mau next kilat bisa ke KBM App

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Mahkota Yang Terenggut (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang