Bab 8

945 31 0
                                    

Malam harinya, Pak Ridwan kembali ke rumah Nadira. Dia datang bersama Bu Yati sebagai perwakilan warga. Bagas dan Riana yang masih ada di sana, menemani Nadira, menemui mereka.

Bagas, Pak Ridwan, dan Bu Yati duduk di teras rumah Nadira, sedang Riana masuk ke dalam rumah. Mereka membicarakan perihal kejadian tadi siang.

“Setelah saya menjelaskan pada mereka dan setelah berunding dengan warga.  Warga siap membantu Nadira mencari pelakunya,” terang Pak RT. “Mereka juga siap untuk melindungi Nadira dari ancaman pria itu.”

“Terima kasih, Pak,” Bagas merasa lega, karena warga juga mau membantu Nadira.

“Apakah Nadira masih ingat, bagaimana ciri-ciri orang tersebut?” tanya Pak Ridwan.

“Aku yakin, Nadira pasti masih mengingat ciri-ciri pria b*ngs*t itu.”  Merasa geram, Bagas mengepalkan tangannya. Dia begitu membenci pria yang telah merenggut mahkota Nadira. Bagas ingin sekali menghajar pria itu, jika dia menemukannya.

“Bagaimana keadaan Nadira sekarang?” tanya Bu Yati.

“Nadira masih dalam keadaan syok, Bu!” Riana yang keluar membawa nampan berisi teh hangat menjawab ketus. Riana meletakan gelas ke atas meja. “Dia masih terus saja menangis, jujur saya begitu khawatir, melihatnya terus-terusan seperti itu.” Riana duduk di sebelah Bu Yati.

“Kejadian tadi sore, pasti membuatnya, syok,” kata Pak Ridwan.

“Iya, dia masih sangat syok dengan kehadiran ibu-ibu warga RT setempat yang menghakiminya, tadi sore. Seharusnya sebelum menghakimi, kalian itu seharusnya mencari tahu terlebih dahulu, bagaimana Nadira bisa hamil dan apa yang sebenarnya terjadi?” Bagas menatap Bu Yati tajam. Dia tampak emosi, apalagi Bu Yati sempat menarik rambut Nadira. Dia tidak tahan melihat gadis itu kesakitan, bersedih, ataupun  terluka.

“Maafkan kekhilafan saya, yang tidak mengontrol emosi. Dengan kejadian sore tadi, saya berjanji akan lebih berhati-hati dalam bertindak,” sesal Bu Yati.

“Atas nama warga, saya minta juga minta maaf atas kesalahpahaman ini,” timpal Pak Ridwan.

“Iya, Pak kami juga paham. Saya pun berharap, kejadian yang menimpa tadi, tidak menimpa gadis-gadis lainnya,” ujar Riana.

“Silakan, Pak, Bu.” Riana memandang keduanya bergantian. Dia berusaha mendinginkan suasana. “Silakan, diminum dulu, keburu dingin,” tawar Riana.

Mereka mengambil teh yang berada di atas meja. Setelah selesai  berbicara, dan karena waktu juga sudah malam, Pak Ridwan dan Bu Yati berpamitan untuk pulang.

“Terima kasih, Pak atas bantuannya,” ucap Bagas saat dia menjabat tangan Pak Ridwan.
Usai Pak Ridwan pulang, Bagas pun, pamit untuk pulang. Riana pun masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu rapat.

***

Prang!

Suara pecahan kaca membangunkan Nadira dari tidurnya. Dia bergegas bangun. Dia berjalan meraba dinding mencari lampu sakelar  dalam keremangan dan menyalakannya.  Nadira menelisik setiap sudut kontrakan. Namun, tidak ada apa pun di sana. Nadira akhirnya memutuskan untuk mengecek di luar. Pada saat membuka pintu dan melangkahkan kaki keluar, tanpa sengaja kakinya berpijak pada pecahan botol yang berserakan di depan pintu. Seketika Nadira memekik karena  kesakitan.

Nadira melihat ada secarik kertas diantara pecahan kaca itu. Dia mengambilnya dan membukanya perlahan. Ada sebuah pesan yang tertulis  di sana. ‘Jangan bicara apa pun atau aku akan membunuhmu dan orang-orang terdekatmu!’ Terkejut melihat isi pesan, Nadira membungkam mulutnya dan menangis sesenggukan. ‘Apa sebenarnya kesalahanku, hingga aku mengalami kesulitan ini.’ batinnya.

Riana yang  tertidur lelap, kaget mendengar suara teriakkan Nadira. Dia bergegas bangun, saat melihat pintu rumah terbuka. Gadis itu pun lantas berjalan keluar. Pada saat dia  tiba di ambang pintu, Riana melihat Nadira sedang berdiri mematung di depan pintu, dengan secarik kertas di tangan dan tubuh berguncang karena menangis.

“Dir.” Riana memegang pundak Nadira.

Seketika Nadira memeluk tubuh sahabatnya itu. Riana menatap ke lantai rumah, banyak pecahan botol di bawah sana. Dia melihat darah segar keluar dari kaki Nadira.

“Apa ini?” Riana melepas pelukan Nadira. Dia menunjuk pecahan botol kaca yang berserakan. “Apa yang sebenarnya terjadi?”
Nadira menggelengkan kepala. “Aku tidak tahu.”

“Dan ini?” Riana mengambil kertas berisi pesan dari tangan Nadira. Riana membuka dan membaca isi pesan. “Astagfirullah. Sungguh keterlaluan! Ini sudah tidak bisa dibiarkan. Kita harus segera melaporkannya pada pihak yang berwajib. Ini sudah termasuk pengancaman!”

Nadira memegang tangan Riana. “Jangan, aku tidak mau kalian terluka,” ucap Nadira terisak. “Biarkanlah aku saja yang menanggung semua ini.”

Riana memeluk Nadira. Dia ikut menangis.

“Kakimu terluka!” Riana memandang kaki kanan Nadira yang penuh dengan darah.
Aku tidak apa-apa. “ Nadira menggelengkan kepala.

“Ayo kita masuk, akan aku obati lukamu di dalam.” Riana memapah Nadira masuk ke dalam.

“Kotak P3K dimana?” tanya Riana.

“Di sana.” Nadira menunjuk meja kecil di samping tempat tidur.

Riana mengambil kotak P3K milik Nadira. Secara telaten, Riana membersihkan luka sahabatnya itu dengan alkohol.

“Aduh!” pekik Nadira  saat Riana menekan lukanya sedikit keras.

“Maaf, Dir.” Riana memandang Nadira yang wajahnya masih penuh dengan air mata. Riana pun melanjutkan mengobati luka Nadira. Dia meneteskan obat merah pada luka sahabatnya.  terakhir, Gadis itu menutup luka dengan perban.

Setelah selesai Riana membantu Nadira berbaring di tempat tidur. “Tidurlah, aku akan menjagamu.”

“Terima kasih, Ri.”

“Sama-sama. Oh ya aku akan menelepon Bagas untuk memberitahukan hal ini.”

[Halo, Ri. Ada masalah apa, malam-malam begini telepon?]

“Gas, pria itu mengirikan surat kaleng berisi ancaman, kepada Nadira.”

[Bagaimana keadaan kalian saat ini?]

“Alhamdulillah kami baik-baik saja saat ini. Namun, tadi Nadira tadi tampak syok, kakinya juga terluka kena pecahan botol kaca yang mungkin dilempar oleh pria itu.” Riana menoleh pada Nadira. “Tapi, sekarang dia sudah baik-baik saja.”

[Baiklah, aku akan segera ke sana. Kamu kunci pintu rapat-rapat dan jangan keluar kalau mendengar suara apa pun dari luar. Aku khawatir pria itu masih ada di luar sana.]

“Baik, Gas.”

—Bersambung—

Yang mau next kilat bisa ke KBM App. Di sana sudah tamat.

 Di sana sudah tamat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Mahkota Yang Terenggut (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang