Bab 7

974 37 0
                                    



Riana memeluk erat tubuh Nadira. Dia menangis tersedu melihat keadaan sahabatnya.

Kedua mata Nadira bengkak, tubuhnya begitu lemah. Dari kemarin dia tidak makan apa pun.

Setelah Nadira sedikit tenang dan tertidur. Bagas dan Riana keluar dari kamar Nadira. Mereka duduk kursi yang terletak di teras.

“Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa sampai jadi begini?” Riana memandang Bagas tak percaya.

Bagas menceritakan awal mula  dia mengetahui kehamilan Nadira. Dia juga menceritakan musibah yang menimpa gadis itu.

“Kenapa kamu tidak menceritakan ini padaku dari awal!” Riana marah kepada Bagas.

“Maafkan aku. Aku juga bingung dan tidak tahu harus berbuat apa.” Bagas menatap ke arah jalanan.

Jalanan tampak senggang, karena malam pun sudah mulai datang. Hanya ada beberapa orang pria yang berjalan pulang dari Mushola.

“Nak Bagas, Nak Riana ...,” sapa Bapak berbaju Biru. Dia bersama kedua orang lainnya menghampiri Bagas dan Riana. Mereka sudah saling kenal karena sering bertemu.

“Tumben sampai malam, di sini?” tanya pria kurus berbaju coklat.

“Nadira sedang sakit, jadi saya menemaninya dulu bersama Riana.  Sebentar lagi juga sudah mau pulang kok, Pak.” jawab Bagas.

“Oh ...,” jawab mereka berbarengan. Mereka pun pamit untuk pulang.

“Sakit apa emang?” tanya pria berbaju cokelat.

“Demam, Pak,” jawab Riana bohong.
Setelah puas berbasa-basi mereka pun pergi.

“Kasihan sekali Nadira, sudah jatuh tertimpa tangga,” ucap Riana. Tatapan matanya tertuju ke arah di jalanan depan rumah. “Malam ini aku akan tidur di sini untuk menjaganya. Aku tidak tega meninggalkannya sendiri.”

Riana begitu sangat menyayangi sahabatnya. Dia tidak ingin hal buruk menimpa gadis itu.

Selesai berbicara Bagas pun pulang.
Riana kembali masuk ke dalam. Dia duduk di tepi tempat tidur, menatap Nadira yang sudah tertidur lelap. Dia membayangkan, Seandainya hal yang sama menimpanya, pasti dia akan melakukan hal yang sama seperti Nadira.

Riana menarik napas panjang, lalu merebahkan tubuhnya.


***

Keesokan harinya ....

Riana terkejut, melihat Nadira sudah bersiap untuk berangkat kerja. Gadis itu tersenyum memandang Nadira. Riana bersyukur Nadira bisa kembali bangkit.

“Dir.” Riana mendekati sahabatnya.

“Aku baik-baik saja. Aku tidak boleh terus-terusan terpuruk. Aku harus bangkit dalam menjalani hidup. Semua yang terjadi bukan karena keinginan dan salahku. Akan tetapi ini sudah takdir.  Janin yang ada di dalam kandunganku ini pun tidak berdosa. Aku akan menjaganya.”

Mata Riana berkaca-kaca mendengar ucapan sahabatnya. Riana berhambur memeluk Nadira.

“Yuk, makan dulu. Aku sudah masak.”
Nadira mengambil nasi yang di masaknya sedari subuh. Mereka makan bersama sebelum berangkat bekerja dengan lauk sederhana yaitu telur ceplok dan sambal.

Sejak saat itu Nadira kembali bersemangat dalam menjalani kehidupannya.

***

Enam bulan telah berlalu sejak kejadian naas itu.

Pagi itu Nadira keluar rumah untuk berbelanja. Pada saat memilih sayuran, pemilik warung berjalan mendekatinya.

“Dir, kamu hamil ya?” Bu Marni memandang Nadira dari berbagai arah. Nadira memandang wanita berusia sekitar empat puluh tahunan itu tanpa menjawab pertanyaannya.

“Ya ampun! Aku kira kamu itu gadis baik-baik. Eh ... ternyata!” Wanita itu memandang Nadira sinis.

Nadira mengabaikan sindiran wanita itu. Dia bergegas mengambil barang apa saja yang dibutuhkan lalu kembali ke rumahnya dengan hati yang terluka.

Sesampainya di rumah, Nadira menangis. Gadis mana yang ingin hamil di luar nikah. Setiap gadis punya mimpi agar bisa menikah dan tidak ada seorang wanita yang ingin hamil di luar nikah. Begitu pula dengan Nadira.
Berpacaran saja dia tidak mau, bagaimana mungkin dia mau melakukan hal serendah itu, hingga menyisakan bekas pada dirinya. Nadira hanya korban keb*ad*b*n seorang yang tidak bertanggung jawab.  Karena perbuatan pria itu, Nadira harus menanggung malu selama hidupnya.

“Astagfirullah Hal Adzim.” Nadira berkali-kali beristigfar untuk meredam amarahnya.

Nadira pun menatap dirinya di depan kaca. Perutnya yang rata sudah mulai membuncit. Tendangan-tendangan dalam perutnya juga sudah terasa. Entah dia harus bahagia atau bersedih dengan semua itu.

***

“Nadira ... keluar kamu!” Pintu rumah Nadira digedor keras dari luar. Terdengar suara cacian dari luar kontrakannya.

Dengan ragu, Nadira berjalan mendekati pintu. Saat selot pintu dibuka, pintu rumahnya di dorong keras oleh ibu-ibu yang sudah berdiri di depan rumahnya.

“Heh! Dasar M*r*h*n! Pergi kamu dari kampung sini. Mencemarkan nama kampung saja!” Mereka menghujat Nadira.

Ibu-ibu itu berteriak menghakiminya atas kesalahan yang tidak dibuatnya.
Bu Yati menarik rambut Nadira geram, dia berusaha menarik gadis itu keluar. Nadira tampak meringis menahan kesakitan.

Bersamaan itu Bagas dan Riana datang. Bagas menarik tangan Bu Yati, melepaskannya dari rambut Nadira. Setelah terlepas dari Bu Yati, Riana bergegas membawa Nadira masuk ke dalam
Nadira menangis sesenggukan. Ujian datang bertubi-tubi menghampiri dirinya. Dia hanya bisa menangis pasrah atas segala yang menimpa dirinya.

Di luar ....

Bagas berusaha menenangkan Ibu-ibu lingkungan RT setempat. Namun, usahanya serasa sia-sia. Dia kalah jumlah dan suara dari mereka.

“Ada apa ini?” Mengetahui ada keributan, Pak Ridwan—RT setempat datang. Ternyata Ibu Sumirah—tetangga samping rumah Nadira yang melapor kepadanya.

Ibu-ibu itu berteriak-teriak, meminta agar Pak Ridwan mengusir Nadira dari sana.

Pak Ridwan berusaha mencairkan suasana dan meminta ibu-ibu itu untuk tenang. “Ibu-ibu silakan pulang. Saya yang akan menangani kasus ini sekarang ... silakan bubar!” Mendengar ucapan Pak Ridwan ibu-ibu itu berteriak karena kecewa.

Setelah ibu-ibu itu pergi Pak Ridwan dan Bagas lantas duduk di teras. Pak Ridwan menanyakan apa yang sebenarnya menimpa Nadira. Bagas lantas menceritakan semuanya pada pria paruh baya itu.

“Baiklah, nanti saya akan mencoba menjelaskan semua pada warga.”

“Terima kasih, Pak.” Pak Ridwan pun pamit pulang.

Setelah Pak Ridwan pulang, Bagas kemudian masuk ke dalam untuk mengetahui keadaan Nadira.

Dilihatnya gadis itu duduk memeluk lutut di atas tempat tidurnya. Riana yang melihat Bagas masuk ke dalam, berjalan menghampiri mereka.

“Bagaimana, Gas?” tanya Riana.

“Pak Ridwan akan menjelaskan semua pada warga. Semoga mereka bisa memahaminya. Bagaimana keadaan Nadira?”

Bagas menghampiri  gadis itu dan berdiri di samping tempat tidur.

“Aku takut, Gas. Aku takut ....” Nadira terus saja menangis.

Bagas begitu tak kuasa melihatnya menangis. Seandainya tidak ada batasan di antara mereka. Bagas sudah merengkuh itu ke dalam pelukannya. 

Bagas meletakan jari telunjuknya di depan bibirnya sendiri seraya menggelengkan kepala.
Mengisyaratkan agar Nadira diam “Walau semua orang menghujatmu, aku akan ada untuk membelamu, walau semua orang membencimu, aku akan selalu ada untuk mendampingimu, walau semua orang meninggalkanmu, aku akan selalu ada disisimu, karena aku mencintamu dan selamanya akan selalu mencintamu. Jangan lagi menangis, ada aku yang akan selalu melindungimu ....”

Mendengarnya tubuh Nadira berguncang hebat. Riana pun menghampiri gadis itu, memeluknya erat. “Jangan menangis, kami akan selalu ada untukmu.”

—Bersambung—

Yang mau next kilat bisa ke KBM App. Sudah tamat di sana.






Mahkota Yang Terenggut (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang