Kurang lebih satu jam perjalanan, mobil yang mereka tumpangi, tiba di sebuah rumah yang terletak jauh dari pemukiman. Rumah tua berukuran besar dengan halaman yang luas.
Pria itu membuka pintu belakang, meraih Nadira dalam gendongan. Dengan badan kekarnya, pria itu mengendong tubuh Nadira yang masih dalam keadaan terikat. Membawanya masuk ke dalam rumah.
***
“Aaah ....” pekik Nadira saat pria itu menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur.
Pria itu membuka tutup mata Nadira. Dalam keremangan Nadira bisa melihat sebuah ruang kamar yang luas, bernuansa biru.
Pria itu membuka ikatan pada tangan Nadira dan kembali mengikat kedua tangan gadis itu pada tepian ranjang kayu. Dia juga melepas ikatan pada kaki gadis itu.
Pria itu mendekat, mencoba menyentuh Nadira.
“Apa yang akan kamu lakukan!” Karena panik, gadis itu menendang perut pria di hadapannya.
Pria itu jatuh terjerembap di lantai. Akan tetapi dia bergegas bangun, mendekati Nadira. Menampar kedua pipi gadis itu berkali-kali, hingga pipi gadis itu membiru. Nadira menjerit, meraung dan menangis karena merasakan sakit di sekujur tubuhnya.
Malam itu, nasib tragis menimpanya. Mahkota yang dia jaga, direnggut paksa oleh pria dengan tato mawar di lengan kanannya.
***
“Awas kalau kamu sampai bicara pada orang lain atau lapor polisi! Aku akan membunuhmu, Nadira!” ancamnya setelah puas dengan apa dilakukan terhadap Nadira.
Nadira terperanjat saat pria itu menyebut namanya. Dia merasa heran bagaimana bisa pria tahu namanya.
“Siapa kamu?” tanya gadis itu.
“Kamu tidak perlu tahu.”
“Kenapa kamu melakukan ini padaku!” Nadira menghampiri pria itu dan memukulinya.
“Karena aku menyukaimu.” Pria itu memegang kedua bahu gadis itu, mencengkeram kuat, lalu mendorong gadis itu hingga terjatuh.
Pria itu beranjak keluar, mengunci pintu kamar dan pergi meninggalkan Nadira sendiri.
Badan Nadira seketika luruh ke lantai, memegang kedua lutut, menenggelamkan kepala di antaranya. Menangis tersedu menumpahkan segala luka yang mungkin seumur hidupnya tidak akan pernah dilupakan.
***
Suara hendel pintu, mengagetkan Nadira. Pria itu kembali, berjalan mendekati Nadira.
Nadira memundurkan badannya saat pria itu mendekat.
Pria itu berjongkok mendekati Nadira. Gadis itu menghindar dengan memalingkan wajah. Tangan pria itu terulur, Nadira kembali mundur, takut pria itu kembali menyentuhnya. Namun, pria itu bukannya menyentuh gadis itu, melainkan mengambil tali yang tadi digunakan untuk mengikat Nadira.
Pria bertato itu kembali, mengikat kedua tangan dan kakinya, serta menutup mata Nadira dengan kain hitam. Dia kembali mengendong Nadira memasukkannya ke dalam mobil.
Mobil kembali melaju, cukup lama perjalanan yang ditempuh. Hingga mobil itu berhenti di tempat tujuan. Pria itu membuka ikatan dan penutup mata Nadira.
“Turun!” perintahnya.
Nadira turun dari mobil. Memandang ke kanan dan kiri, jalan yang dia kenali yaitu jalan menuju rumahnya.
Nadira turun, badanya masih bergetar. Dia menangis terisak, merasakan perih di sekujur tubuhnya.
Nadira berjalan tertatih menuju kontrakan dengan tangis pilu di bawah guyuran hujan. Nadira gadis yatim piatu kini harus menahan luka dan perih seorang diri. Sebuah luka yang tak tampak. Namun, lukanya akan selamanya membekas.
***
Seharian Nadira mengurung diri, meratapi kejadian tragis yang menimpanya malam tadi.
Nadira melempar segala yang ada di sampingnya ke sembarangan arah. Kamar berukuran empat kali empat meter menjadi saksi bisu kesedihan Nadira.
Dia menangis di depan kaca, memandangi memar pada pipi dan luka merah pada pergelangan tangan dan kaki. Tetapi, bukan luka itu yang dia tangisi, melainkan harga diri yang tak mungkin dapat kembali seperti sedia kala lagi.
Dia berlari ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Berkali-kali dia menuangkan sabun ke tangan, mengusapkan ke badan dan menggosoknya kasar. Akan tetapi, tetap saja dia merasa badannya masih kotor. Gadis itu pun menangis, meraung memukuli badannya di bawah guyuran air.
Seharian Nadira menghabiskan waktunya dengan mengurung diri di kamar. Dia tidak berangkat kerja atau keluar rumah, bayangan pria itu menghantui Nadira. Dia begitu ketakutan dengan apa yang menimpanya malam tadi.
“Assalamualaikum.” Terdengar seseorang mengetuk pintu. Dia bergegas menyeka air mata di wajahnya.
“Wa’allaikumsalam,” jawabnya seraya membuka pintu.
“Kenapa tidak berangkat kerja hari ini, Kamu sakit, ya, Dir?” tanya Riana—sahabat Nadira.
Nadira hanya menggelengkan kepala. Mereka duduk di kursi yang terletak di teras.
Riana datang bersama Bagas. Bagas yang meminta Riana untuk menemaninya ke rumah Nadira, karena gadis itu tidak pernah mau bertemu dengan pria hanya berdua saja.
Bagas memandang wajah Nadira. “Wajah kamu pucat sekali?”
Bibir Nadira tampak membiru, kulit gadis itu berwarna putih-pucat.
“Iya, Dir. Kamu kelihatan pucat sekali.” Riana memegang kepala Nadira.“Kamu demam, Dir.”
Bagas dan Riana adalah sahabat terbaik Nadira. Mereka selalu ada perhatian pada Nadira pada saat suka maupun duka.
“Aku tidak apa-apa, aku hanya kehujanan semalam,” jelasnya.
“Tangan kamu, kenapa?” tanya Bagas melihat goresan luka di telapak tangan Nadira. “Pipi kamu juga tampak memar?”
Nadira menarik tangannya, berniat menyembunyikannya di bawah meja agar tak terlihat oleh mereka berdua. Namun, dengan gesit Riana menarik tangan Nadira.
“Iya, Dir, kamu kenapa? Kenapa bisa sampai begini?” tanya Riana penasaran.
—Bersambung—Yang mau next kilat bisa ke KBM App
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahkota Yang Terenggut (TAMAT)
Romance"Siapa yang menghamilimu?" Nadira tersentak mendengar pertanyaan Bagas. Mereka pun duduk di teras. Kebetulan saat itu suasana sekitar sepi, jadi tidak ada yang mendengar pembicaraan mereka. "Bagaimana, kamu bisa tahu?" Nadira memandang Bagas. "Aku m...