Aku selalu tahu kalau suatu hari nanti cinta ini akan membunuhku.
Meskipun, aku tidak menyesali pertemuan kami sedikit pun. Dia adalah wanita terindah yang pernah kutemui, jadi bagaimana mungkin aku menyesal bertemu dengannya? Sebelum dia hadir dalam hidupku, aku tidak pernah tahu ada keindahan sepertinya di muka bumi ini.
Kata-kataku mungkin sedikit berlebihan. Namun cinta memang memiliki deskripsi yang berbeda-beda, tergantung dari siapa yang mengutarakannya. Demikian pula halnya dengan alasan di balik jatuh cinta. Di lingkungan sekitarku, sebagian besar orang jatuh cinta pada seseorang karena 'sesuatu' yang mereka miliki--biasanya kekayaan. Sebagai contoh, aku sering mendengar karyawan wanita di kafeku bergosip tentang para pemuda kaya yang sering datang ke kafe kami. Pembicaraan biasanya diakhiri dengan harapan mereka untuk menjadi istri para pemuda tersebut.
Masalahnya, cinta yang didasarkan pada kekayaan biasanya tidak bertahan lama. Aku pernah mendengar tentang seorang istri yang meninggalkan suaminya yang jatuh miskin. Rupanya sang istri memang menikahi pria malang itu hanya karena menginginkan hidup bergelimang harta. Itulah sebabnya, begitu pria itu kehilangan kekayaannya, maka sang istri pun tidak lagi memiliki alasan untuk tetap berada di sisi suaminya.
Bagaimana denganku? Aku sendiri termasuk orang yang pesimis pada cinta lantaran perasaanku selalu bertepuk sebelah tangan. Jangan salah, bukan berarti aku tidak percaya pada cinta. Aku tahu cinta itu nyata--bagi orang lain, bukan bagiku.
Kenapa aku tidak pernah beruntung dalam cinta? Aku sendiri juga tidak tahu kenapa. Walaupun tidak termasuk golongan tampan seperti para aktor Korea, wajahku juga tidak termasuk jelek. Tepatnya, wajahku termasuk dalam kategori biasa-biasa saja. Tubuhku juga terbilang cukup tinggi di kisaran 175 sentimeter. Dan untuk urusan pekerjaan, boleh dibilang cukup mapan, dengan kafe yang sudah memiliki dua cabang tersebar di ibukota.
Beberapa orang mengatakan kalau aku terlalu pemilih. Dan aku sangat keberatan akan hal itu. Memiliki standar berbeda dengan pemilih. Aku memang menetapkan beberapa standar ketika mencari pasangan, tapi kurasa itu bukan hal yang buruk. Bagaimanapun, ini adalah tentang mencari seseorang yang akan hidup bersamaku hingga maut memisahkan. Jadi tentu saja aku harus mencari yang terbaik menurut standarku.
Sayangnya, permasalahan justru timbul ketika aku menemukan wanita terbaik itu.
Pertemuan pertamaku dengannya terjadi saat dia datang ke kafe dan memesan segelas besar kopi. Saat itu aku tidak berinteraksi dengannya lantaran dia langsung pergi setelah membayar kopinya. Aku hanya menyadari bahwa dia adalah konsumen baru yang belum pernah kulihat sebelumnya.
Semuanya berubah ketika aku bertemu dengannya untuk kedua kali. Saat itu, dia duduk di salah satu meja dan menghabiskan waktu sekitar satu jam untuk mengerjakan sesuatu di laptopnya. Pada kesempatan itu, barulah aku memperhatikannya dengan lebih saksama, dan untuk pertama kalinya seumur hidupku, jantungku melompat tidak beraturan di balik rongga dadaku. Sejujurnya, aku baru tahu kalau jantungku dapat berdetak secepat itu. Mungkin ini akan terdengar seperti bualan, tapi ada 'sesuatu' yang berbeda pada wanita itu. Sesuatu yang tidak pernah kutemui pada wanita lain. Aku sendiri tidak tahu apa itu. Yang jelas, aku merasa kalau dialah orang yang selama ini kucari.
Kisah kami barangkali akan menjadi salah satu 'mimpi-menjadi-nyata' jika seandainya saja dia bukan istri seseorang.
Itulah kenyataan pahit yang harus kuterima setelah jatuh cinta pada pandangan kedua dengan wanita tersebut. Menurut salah seorang karyawanku, wanita itu baru sebulan pindah ke kota kami bersama keluarga kecilnya--suami dan dua orang anak. Pasangan yang serasi. Begitulah deskripsi yang dia berikan. Dan informasinya dapat dipercaya sebab dia mendapatkan informasi tersebut melalui temannya yang bekerja sebagai guru privat kedua putra wanita itu.
Tentu saja, sangat wajar seorang wanita sepertinya sudah berkeluarga. Malah sebaliknya, akan sangat aneh bila tadinya wanita itu masih sendiri. Masalahnya, otakku tidak dapat bersikap rasional. Alih-alih melupakan wanita itu, aku kerap memikirkannya. Aku bahkan mulai menunggu-nunggu kedatangannya setiap hari. Dan, sejujurnya, itu benar-benar menyedihkan. Aku tahu itu. Sama halnya seperti aku tahu betul betapa salahnya untuk jatuh cinta pada istri seseorang.
Masalahnya, cinta seringkali mengalahkan akal sehat, tidak terkecuali bagiku.
Aku menyembunyikan fakta ini dari orang-orang terdekatku. Sebabnya tak lain lantaran aku merasa malu akan perasaanku. Kendati tak terjadi apa pun di antara aku dan wanita itu, aku tahu kalau tak seharusnya aku memiliki perasaan terhadapnya. Bahkan sekadar menyimpannya pun terasa salah.
Meski demikian, tetap saja, aku tak dapat memungkiri perasaan berbunga-bunga yang menyelimutiku setiap kali wanita itu datang. Aku berusaha menahan diri dari mengajaknya berbicara, tapi pada suatu hari rupanya dialah yang duluan menyapaku. Ternyata dia sedang menulis buku fiksi yang tokoh utamanya adalah seorang pemilik kafe. Singkat kata, dia bertanya apakah aku bersedia menjawab beberapa pertanyaannya terkait pengalamanku mengelola kafe.
Seharusnya aku menolak. Tapi bagaimana mungkin aku dapat melakukannya? Dengan bodohnya, jantungku terus berdebar-debar selama pembicaraan kami yang memakan waktu kurang dari setengah jam. Akan tetapi, aku berhasil menahan diri dari membicarakan hal-hal di luar pertanyaan yang dia ajukan padaku. Aku berusaha keras untuk tidak memulai hubungan pertemanan walau kelihatannya wanita itu tidak keberatan untuk berteman denganku.
Aku berusaha sebaik mungkin untuk melawan perasaanku.
Masalahnya, semakin aku berusaha melawan, rasa cinta ini malah semakin menjeratku. Setelah beberapa bulan yang diisi dengan beberapa kali sesi tanya-jawab, aku mendapati perasaanku tumbuh semakin besar. Semakin tidak rasional. Aku ingin melihat wanita itu setiap hari. Aku ingin mendengar suaranya. Namun, tentu saja itu tidak mungkin sebab wanita itu hanya kadang-kadang saja datang ke kafe kami.
Seiring waktu, aku mulai bertanya-tanya, orang seperti apa suaminya. Aku berpikir dia pastilah pria yang sangat beruntung. Bagaimana tidak? Dia dapat bertemu wanita itu setiap hari dan mendengar suaranya. Dia bisa membicarakan apa pun dengan wanita itu, tidak sepertiku yang hanya dapat membicarakan beberapa hal yang terbatas. Aku penasaran apa pria itu tahu betapa beruntungnya dirinya.
Sayangnya, aku tidak akan pernah tahu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Switch
Short StorySetiap harinya, kita membuat banyak keputusan. Terkadang, kita membuat keputusan yang baik. Sesekali barangkali kita akan membuat keputusan yang buruk. Atau, bisa juga kita membuat keputusan yang menyangkut hidup-mati orang lain. Apa yang sebenarnya...