Pada suatu hari, kami baru saja menyelesaikan sesi tanya-jawab yang terakhir. Wanita itu berkata kalau dia sudah mendapatkan cukup banyak gambaran berkat bantuanku, dan kini dia siap untuk menulis bukunya. Dengan senyum pahit, aku memandangi kepergiannya, berpikir kalau ini adalah akhir dari 'pembicaraan kecil' kami. Tentu saja, barangkali wanita itu masih akan datang sesekali untuk membeli segelas kopi--dia bilang dia menyukai kopi di kafe milikku--tapi aku tak lagi punya alasan untuk berbicara dengannya.
Beberapa jam kemudian, salah seorang karyawanku memberi tahu kalau wanita itu meninggalkan tasnya di toilet.
Wanita itu selalu membawa dua tas; tas selempang berukuran kecil serta tas laptop. Aku ingat kalau tadi dia memang pergi dengan sedikit terburu-buru setelah kembali dari toilet. Mungkin itu sebabnya dia pergi tanpa membawa tas selempangnya. Awalnya, aku tidak yakin apa yang harus kulakukan, tapi kemudian aku memutuskan untuk mengantarkannya lantaran tidak memiliki nomor ponsel wanita itu.
Aku berhasil mendapatkan alamatnya melalui karyawanku--yang menanyakannya pada temannya. Rumahnya tidak terlalu jauh. Hanya berjarak sekitar lima belas menit perjalanan dari kafeku. Aku hanya akan mengembalikan tas itu, kemudian pergi. Ini adalah hal yang sewajarnya kulakukan. Begitulah, aku terus mencoba merasionalisasikan perbuatanku, meski jauh di dasar hatiku aku tahu kalau aku hanya sedang mencari-cari alasan untuk bertemu wanita itu.
Dan, di situlah letak kesalahanku.
Aku menemukan alamat yang kutuju dengan mudah. Apartemen wanita itu terletak di kawasan elit yang kerap diiklankan di media sosial. Selagi berada dalam elevator yang membawaku naik, kegugupan menyelimuti sekujur tubuhku tanpa alasan yang jelas. Jantungku terus berdetak kencang seolah aku baru saja berlari. Dan otot perutku terasa tegang hingga membuatku mual. Akan tetapi, di sisi lain aku juga merasakan semacam sensasi yang mendebarkan. Ini adalah perasaan yang sama seperti saat aku masih SMA, ketika hendak bertemu dengan gadis yang kusukai. Ya, wanita itu memang membuatku seperti kembali ke masa remaja.
Ini benar-benar salah, tapi aku tidak sabar untuk bertemu dengannya.
Jangan berpikir macam-macam, batinku selagi berdiri di depan pintu apartemennya. Sejak awal, wanita itu bahkan tidak seharusnya ada di hatiku. Dia tidak seharusnya menjadi sosok yang ingin kutemui, apalagi kurindukan. Jauh di lubuk hatiku, aku tahu betul itu. Hanya saja, menerapkannya di kehidupan nyata tidak semudah itu.
Ini adalah terakhir kalinya, aku memutuskan. Bagaimanapun, wanita itu juga sudah menyelesaikan risetnya. Setelah ini, kami tidak akan memiliki alasan apa pun untuk berbicara. Setelah ini, aku dapat mencoba untuk melupakannya. Mungkin. Sejujurnya, aku tak yakin sebab dia bukanlah seseorang yang mudah untuk dilupakan.
Jariku terulur untuk menekan bel. Dari dalam, terdengar bunyi langkah kaki menuju ke pintu, kemudian pintu terbuka. Aku tertegun sejenak ketika menatap wanita itu. Bukan karena terpesona atau apa, melainkan karena ada sesuatu yang salah pada ekspresinya. Hanya saja, aku tak tahu apa itu.
"Maaf karena saya datang tiba-tiba," kataku, menggunakan bahasa formal seperti biasa. Aku mengulurkan tas selempang miliknya. "Saya datang untuk mengembalikan ini."
Mata wanita itu membesar. Kelihatannya dia benar-benar melupakan tas itu. "Oh, t-terima kasih," balasnya, sedikit terbata-bata.
Ada yang tidak beres. Dari beberapa kali pembicaraan kami, dia bukan tipe orang yang berbicara dengan cara seperti itu. Dia selalu berbicara dengan tegas, penuh percaya diri. Jadi ini aneh. Selain itu, bulir keringat membasahi keningnya, dan dia bernapas dengan cepat. Apakah dia ketakutan?
Mataku melirik ke dalam rumah. Tidak dapat melihat banyak lantaran pintu hanya terbuka sedikit. "Apa ada yang tidak beres?" tanyaku.
Dia cepat-cepat menggeleng. "T-tidak. Tidak ada apa-apa," sahutnya, tapi sorot matanya mengatakan sebaliknya. Aku tak yakin, tapi matanya seperti... meminta tolong?
KAMU SEDANG MEMBACA
The Switch
Short StorySetiap harinya, kita membuat banyak keputusan. Terkadang, kita membuat keputusan yang baik. Sesekali barangkali kita akan membuat keputusan yang buruk. Atau, bisa juga kita membuat keputusan yang menyangkut hidup-mati orang lain. Apa yang sebenarnya...