Jantungku seketika berpacu kencang. Perampokan! Otakku langsung menghitung kasar perkiraan uang yang ada di sini. Jumlah yang cukup besar. Dan manajerku pasti tidak mau tahu. Dia akan memintaku menggantinya. Tapi kalau aku menolak, bisa jadi lelaki di depanku ini akan membunuhku. Tentu saja nyawaku lebih penting. Tapi hidupku juga akan sengsara kalau harus mengganti jumlah uang yang hilang.
Yah, mari bertahan hidup terlebih dulu.
Dengan tangan gemetaran, aku menyambar tas belanjaan yang tergantung di dekatku, kemudian mulai memasukkan uang ke dalamnya. Rencanaku adalah, segera menghubungi pihak berwajib begitu lelaki itu pergi.
Sayangnya, perkembangan situasi tidak berjalan sesuai rencanaku.
Setelah menyambar tas berisi uang, lelaki itu malah mengayunkan pisaunya ke leherku. Sambil menjerit ketakutan, aku berhasil menghindar, kemudian berlari memutari meja kasir, menuju deretan rak untuk bersembunyi. Ini pilihan terbaikku sebab jika aku menuju pintu, lelaki itu dapat menangkapku dengan lebih mudah.
Aku menelan ludah kuat-kuat. Apa yang sekarang harus kulakukan? Ponselku ketinggalan di meja kasir. Dan tidak akan ada orang yang datang untuk menolongku pada jam seperti ini. Sepertinya harapanku satu-satunya adalah berlari menuju pintu keluar. Meski tidak akan ada siapa pun di luar lantaran semua orang pasti tengah tertidur pulas, kalau aku berteriak minta tolong pasti akan ada yang mendengar, jadi lelaki itu juga tak akan dapat berbuat apa-apa padaku.
Ketegangan mencengkeramku erat-erat hingga perutku bergolak mual. Melalui celah barang-barang di rak, aku dapat melihat lelaki itu berjalan di sisi lain dari rak tempatku berada. Aku tak mengerti kenapa dia berniat membunuhku. Kenapa dia tidak kabur saja setelah mendapatkan uang yang dia minta? Aku juga tidak melihat wajahnya, jadi sebenarnya kesaksianku tidak akan banyak membantu. Dia tidak perlu sampai harus membunuhku.
Aku buru-buru berjongkok sewaktu lelaki itu menoleh. Hampir saja dia melihatku! Dengan jantung berdebar kencang, aku melanjutkan berjalan sambil berjongkok, kemudian melesat menuju pintu begitu tiba di ujung rak.
Sayangnya, lelaki itu lebih cepat.
Jeritan kesakitan terlepas dari mulutku ketika dia menjambak rambutku kuat-kuat. Aku terjerembap jatuh menghantam lantai, kemudian lelaki itu berjongkok di sebelahku dan secepat kilat menghunus pisaunya. Namun, tepat sebelum pisau itu mengenaiku, seseorang tiba-tiba muncul dan menghantam kepala lelaki itu dengan tabung pemadam api yang tadinya tergantung di dekat pintu. Lelaki itu langsung roboh, tak sadarkan diri.
"Kau baik-baik saja?" tanya penyelamatku. Kecemasan terpancar dari sorot matanya.
Perlahan, aku beranjak duduk kemudian menatap Thomas penuh kebingungan. Aku tak percaya aku masih hidup. "Apa--apa yang kau lakukan di sini?" Dia tidak biasanya datang pada jam selarut ini.
"Aku tidak bisa tidur, dan aku ingat kau bilang hari ini kau bertugas malam. Jadi kupikir aku akan membeli kopi dan... kau tahu, menemanimu ngobrol," balasnya sambil membantuku berdiri. Dia menatap si perampok yang terbaring kaku di lantai. "Apa yang terjadi?"
Kepalaku pusing hingga terasa berputar-putar. Aku pun tak yakin apa yang sebetulnya baru saja terjadi. Semua terjadi begitu cepat hingga aku tak dapat berpikir. Thomas berjongkok di sebelah si perampok, kemudian melepas maskernya. Saat melihat wajah orang itu, barulah aku sadar kenapa dia berniat membunuhku.
"Orang itu...."
Ingatan akan kejadian setahun silam kembali ke benakku. Waktu itu, aku menjadi saksi atas kasus pelecehan yang dilakukan lelaki itu terhadap salah satu tetanggaku yang baru berusia dua belas tahun. Berkat kesaksianku, pelaku akhirnya dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman yang cukup berat. Tapi kenapa sekarang dia ada di sini?
"Kelihatannya dia pelaku kasus pelecehan yang kabur dua hari silam," kata Thomas. Dia menatapku yang tampak kebingungan. "Ada beritanya di televisi."
Aku mengalihkan pandang ke si perampok. Ketakutan tadi telah sirna, digantikan oleh rasa geram. Sekarang sudah jelas apa rencananya. Dia ingin membunuhku untuk balas dendam, kemudian menyamarkannya sebagai aksi perampokan. Dasar bajingan.
"Uh... dia tidak bernapas," kata Thomas. Wajahnya mendadak pucat pasi. Dia meletakkan jari di bawah hidung si perampok, kemudian memeriksa denyut di leher. "Sepertinya dia mati. Apa yang harus kita lakukan sekarang?"
Aku menelan ludah. Ini gawat. Jika kami melaporkannya, tidak ada bukti kuat bahwa perbuatan Thomas merupakan aksi untuk menolongku. Supermarket ini tidak memiliki kamera pengawas sama sekali. Dan tidak ada siapa pun yang dapat menjadi saksi. Salah-salah kami berdua malah akan dicap sebagai pembunuh. Terutama Thomas, yang meninggalkan sidik jarinya di tabung pemadam api.
Tunggu. Aku tertegun ketika menyadari sesuatu. Tidak ada kamera pengawas dan tidak ada saksi berarti tidak ada yang tahu soal ini selain kami berdua, kan?
Aku menatap Thomas. Dia berkeringat padahal suhu di ruangan ini sangat dingin. Kendati aku tidak mengatakan apa pun, dia juga pasti tahu apa risikonya kalau kami melaporkan kejadian ini. Namun, kami tidak perlu mengambil risiko semacam itu hanya demi bajingan seperti orang ini.
Aku meraih lengannya. "Tidak ada apa pun yang terjadi malam ini, Thomas. Tapi kau perlu membantuku."
Sebelah alisnya terangkat. "A-apa maksudmu?"
Aku menemui tatapannya. Aku sudah bertekad tidak akan membiarkan dia terlibat dalam masalah akibat membantuku. "Kita akan menguburnya, Thomas. Di belakang ada tempat yang tepat. Dan kita berdua akan membawa rahasia ini sampai mati. Semua akan baik-baik saja. Percayalah."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Switch
Short StorySetiap harinya, kita membuat banyak keputusan. Terkadang, kita membuat keputusan yang baik. Sesekali barangkali kita akan membuat keputusan yang buruk. Atau, bisa juga kita membuat keputusan yang menyangkut hidup-mati orang lain. Apa yang sebenarnya...