How to be Human (part 1)

127 51 3
                                    

Aku memiliki dua pilihan.

Membiarkannya mati atau menolongnya.

Aku memiliki banyak alasan kenapa aku harus membiarkannya mati. Pertanyaan terbesarnya justru, kenapa aku harus menolong orang sepertinya?

Beberapa orang memang lebih baik mati daripada hidup, apalagi orang seperti Charlie--orang paling ditakuti nomor satu di sekolah. Dia baru berumur delapan belas tahun, hanya setahun lebih tua daripada aku. Tapi entah bagaimana caranya, dia dapat membuat kami semua takut padanya. Charlie sudah menjelma sebagai 'ketakutan' itu sendiri. Kehadirannya selalu mengintimidasi. Membuat kami merasa begitu kecil dan tidak berarti. Bahkan sudah sampai pada tahap membuat kami merasa tidak layak untuk hidup.

Charlie membuat kehidupan SMA bagaikan neraka. Itu fakta.

DUK!

Aku berjengit ketika terdengar bunyi seseorang tengah berusaha mendobrak pintu ruang kesehatan dari dalam. Itu Charlie. Dia pasti baru menyadari apa yang sedang terjadi. Setiap hari dia akan melewatkan jam pelajaran pertama hingga kedua di ruang kesehatan untuk tidur. Ya, benar, dia tidur sepanjang pagi. Kemudian bangun untuk mengikuti jam ketiga dan keempat.

Tepatnya, untuk mengganggu murid-murid yang duduk di barisan belakang. Mereka adalah murid-murid yang sial karena harus duduk di sekitar Charlie. Sering kali aku menjadi salah satunya.

Dia akan mulai dari memanggil kami dengan sebutan 'pecundang nomor 1'. Tentu saja ada pecundang nomor dua dan seterusnya. Jika kami tidak merespons, dia akan memukulkan kepala kami ke meja. Atau tiba-tiba menarik kursi saat kami sedang menulis, dan, sebagai akibatnya, membuat kami otomatis memanjangkan badan sebelum akhirnya terjatuh. Itu hanya sebagian kecil dari hal-hal yang dia lakukan. Seluruh murid lain--termasuk para guru--tahu kelakuan Charlie. Tapi tidak ada yang berani melakukan sesuatu. Dan itulah sebabnya Charlie semakin berkuasa, dari hari ke hari.

Istirahat siang lebih parah. Kami semua adalah saksi berapa banyak makan siang yang terbuang sia-sia akibat ulah Charlie. Alih-alih masuk ke perut, makan siang kami lebih sering berakhir di wajah atau di lantai. Beberapa murid yang sedang sial terkadang dipaksa memakan makanan yang sudah jatuh. Aku sudah mengalaminya puluhan kali. Masalahnya adalah, kami tidak dapat menghindari kafeteria lantaran seluruh murid diwajibkan makan siang di sana. Kami tidak diperbolehkan makan di atap sekolah atau di tempat lain dengan alasan untuk menjaga kebersihan.

Persetan dengan kebersihan.

Aku lebih memilih membersihkan atap sekolah setiap hari daripada harus berinteraksi dengan Charlie di kafeteria. Selama dua tahun aku bersekolah di sini, belum pernah sekali pun aku melewatkan jam makan siang dengan tenang. Bahkan meski aku tidak menjadi sasaran Charlie setiap hari. Selalu ada ketakutan kalau tiba-tiba dia menargetkan aku. Sebagai akibatnya, aku selalu makan dengan perasaan tegang hingga menimbulkan masalah pada lambungku. Orangtuaku bertanya-tanya apa penyebab putra mereka mendadak memiliki penyakit maag, tapi aku tidak dapat menjawab. Bahkan jika mereka tahu penyebabnya, tidak ada yang dapat mereka lakukan. Paling-paling mereka akan menyalahkanku karena tidak melawan.

DUK!

Lagi-lagi terdengar bunyi dobrakan dari dalam. Tidak cukup hanya mengunci pintu, tapi mereka juga telah menyusun deretan loker di depan pintu. Jujur, aku sendiri takjub mereka masih menyempatkan diri untuk melakukannya di tengah-tengah upaya menyelamatkan diri. Masalahnya, pelakunya bukan hanya satu orang, melainkan sekitar sepuluh hingga lima belas orang. Itu sebabnya hanya dalam waktu singkat seluruh loker tersebut sudah berjajar rapi di depan pintu. Tujuan mereka hanya satu; menghalangi Charlie keluar.

Tidak, bukan itu.

Tujuan utama mereka sebenarnya adalah membunuh Charlie.

Mereka tahu tidak akan memiliki keberanian untuk menghadapi Charlie secara langsung. Sama sepertiku, mereka takut. Dan itulah sebabnya mereka menggunakan cara ini. Pengecut, memang, tapi aku dapat memahaminya.

Barangkali inilah satu-satunya kesempatan kami.

Aku sendiri tidak diikutsertakan dalam rencana mereka. Aku hanya kebetulan saja mendengar mereka membicarakannya. Dan itulah sebabnya aku berdiri di depan ruang kesehatan saat ini. Mereka memilih momen yang pas. Atau, lebih tepatnya, mereka menciptakan momen yang pas.

Berdasarkan apa yang kudengar, mereka berencana membakar gedung sekolah. Kalau boleh jujur, mulanya aku tidak menganggap mereka serius. Maksudku, siapa yang akan percaya kalau sekelompok murid SMA dapat melakukannya? Barangkali itu hanya ucapan iseng. Namun, kemudian mereka membahas rencana mereka untuk mengurung Charlie. Dan saat itu barulah kupikir kalau bisa saja mereka benar-benar serius. Alasannya, mereka semua sama sepertiku. Kami semua adalah target utama Charlie.

Setelah mendengar rencana mereka, aku mengalami dilema besar selama berhari-hari. Haruskah aku melaporkannya ke guru? Atau diam saja? Jika mereka serius, berarti gedung sekolah kami terancam hancur. Serta, Charlie bisa mati. Dengan kedua pemikiran itu, sempat beberapa kali aku nyaris mengutarakannya ke guru. Namun, keraguanku lebih kuat. Bagaimana jika mereka menyangkal? Guru kami pasti tidak akan menyembunyikan fakta tentang identitas si pelapor. Bahkan bisa saja aku malah dipertemukan dengan mereka. Jadi bagaimana nasibku setelahnya? Mereka akan menganggapku pengkhianat. Mereka akan menyebutku pahlawan kesiangan lantaran berusaha menyelamatkan hidup Charlie.

Menjadi korban perundungan itu satu hal. Tapi aku tidak mau juga sekaligus menjadi orang yang diasingkan. Jadi pada akhirnya aku memutuskan untuk menutup mata dan membiarkannya saja. Masa bodoh dengan Charlie. Aku tidak perlu mengemban label 'pengkhianat' hanya karena orang sepertinya yang juga tidak akan berterima kasih padaku. Lagi pula, selalu ada kemungkinan kalau rencana itu hanya ucapan belaka dan tidak akan pernah terlaksana.

Yang menjadi masalah adalah, rupanya mereka serius.

The SwitchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang