Halo! It's nice to come back here.
Cerita pendek ini kutulis untuk ikut event giveaway yang diadakan oleh salah satu publisher, tapi aku kalah :') Jadi daripada mubazir (karena aku cukup meras otak juga buat nulis ini), kupikir lebih baik kuposting di sini.
Enjoy!
***
Dia adalah kekasihku.
Tidak, itu kurang tepat.
Dia adalah kekasih saudaraku.
Berdiri membelakangi sinar matahari sore, gadis itu terlihat bersinar meski baru saja keluar dari kantor setelah bekerja sepanjang hari. Rambut panjangnya tergerai indah di bahu, hitam legam berkilauan. Kulitnya yang sedikit pucat dan tubuh mungilnya memberi kesan rapuh dan lembut bagai porselen.
Namun, apakah dia memang benar-benar seperti itu?
Dengan sepatu hak tingginya, gadis itu berlari-lari kecil menghampiriku dengan senyum lebar menghiasi wajahnya. Aku menampilkan senyum palsu yang sama selagi dia mendekat, kemudian melingkarkan lenganku pada pinggangnya yang ramping dan memeluknya dengan gerakan canggung.
Sepertinya dua minggu tidak cukup untuk membuatku terbiasa dengan semua ini.
Untungnya, gadis itu tidak terlihat menyadari apa-apa.
Selama ini, dia memang tidak pernah diberitahu kalau kekasihnya memiliki saudara kembar identik yang hidup terpisah selama belasan tahun, persisnya sejak orangtua kami bercerai. Aku tinggal bersama Ayah, sedangkan saudaraku bersama Ibu--tapi setahun belakangan dia memutuskan untuk tinggal sendiri dan menyewa apartemen tipe studio. Kendati tidak tinggal bersama, hubungan kami tetap akrab. Kami rajin bertukar kabar mengenai apa saja. Sekolah, teman, gadis-gadis yang kami taksir, kehidupan kuliah, bahkan pekerjaan kantor yang membosankan. Boleh dibilang kami saling mengetahui segala aspek kehidupan masing-masing.
Hanya saja, kami memang selalu dengan sengaja tidak pernah memberitahu siapa pun bahwa kami bersaudara. Jika ditanya apa alasannya, aku juga tidak tahu. Mungkin aku hanya malas kalau ditanya-tanya. Banyak orang penasaran seperti apa rasanya memiliki saudara kembar. Dan jujur saja, menurutku tidak ada yang terlalu istimewa tentang itu, selain perasaan ganjil yang menyertai sewaktu kami tengah mengobrol sambil bertatap muka melalui ponsel atau ketika kami sesekali bertemu. Rasanya seperti sedang becermin, tapi bayanganmu mengucapkan atau melakukan hal yang berbeda denganmu.
"Kau yakin sudah boleh menyetir?" tanya gadis itu. Namanya Emma. Dia melepaskan diri dari pelukanku, kemudian mendongak, menatapku dengan mata bulatnya.
Sebagai jawaban, aku mengedikkan bahu. "Dokter tidak melarangku. Artinya boleh."
Emma tertawa. Saudaraku suka mendengarnya tertawa, apalagi kalau sumber tawa itu merupakan salah satu lelucon-tidak-lucu yang kerap dia lontarkan. Aku selalu bilang padanya kalau Emma hanya bersikap sopan, tapi saudaraku tidak peduli. Sekarang, ketika aku berhadap-hadapan dengan gadis itu, aku juga tidak yakin apakah dia hanya tertawa sopan atau benar-benar geli akibat ucapanku.
Kami memasuki mobil, kemudian aku menyalakan mesin mobil, melajukannya bergabung dengan kepadatan jalan raya. Tujuan kami adalah rumah Emma. Awalnya aku tidak punya bayangan sama sekali di mana rumahnya, tapi dengan bantuan GPS dan latihan seminggu penuh, kini aku sudah hafal rutenya di luar kepala.
Selama beberapa menit pertama, kami tidak saling berbicara. Dibandingkan saudaraku, sebenarnya aku termasuk pendiam, apalagi di sekitar orang yang baru kukenal. Namun, lantaran saudaraku memberikan banyak sekali informasi tentang Emma, otomatis aku jadi merasa mengenalnya. Contohnya, aku tahu apa saja hal-hal yang dia suka atau tidak suka. Aku tahu lagu serta film favoritnya. Aku bahkan tahu nama anjing peliharaannya. Masalahnya, mengetahui semua itu tidak membuat berbicara dengannya menjadi lebih mudah.
Emma menyalakan radio--barangkali dia bosan. Sedetik kemudian, jemarinya sudah mengetuk-ngetuk dasbor mengikuti irama lagu. "Tiffany melahirkan anak pertamanya kemarin," ujarnya.
Lantas? Aku terdiam sejenak, mencoba memikirkan sahutan yang tepat. Aku harus berhati-hati menjawabnya, sebab aku tahu apa tujuan sebenarnya bertanya. Dia pasti ingin mengujiku.
Tiffany adalah mantan cinta pertama saudaraku.
Mereka bertiga teman SMP. Awalnya, saudaraku tergila-gila pada Tiffany, tapi gadis itu tidak mengindahkannya. Saudaraku patah hati, tapi akhirnya melabuhkan hatinya pada Emma sewaktu mereka kelas 3 SMA. Kendati sudah berpacaran selama kurang lebih tujuh tahun, tapi Emma masih sering curiga kalau-kalau saudaraku masih menyimpan perasaan terhadap Tiffany. Kecurigaan yang konyol dan tak beralasan. Saudaraku tak memiliki alasan untuk mencintai istri orang lain.
"Benarkah?" sahutku, tanpa mengalihkan pandangan dari jalan. "Baguslah. Kapan kau berniat menjenguknya? Kita harus membelikannya sesuatu."
"Apa, ya?" Jemarinya masih mengetuk-ngetuk dasbor. "Bagaimana kalau barang-barang keperluan bayi? Aku ingin memberinya barang yang berguna, bukan benda yang hanya akan dijadikan pajangan cantik tapi tidak berguna."
"Ide bagus. Beritahu aku kapan kau mau ke sana."
Dari sudut mata, kulihat Emma menoleh ke arahku. "Bagaimana kalau besok? Kau ada waktu?"
Aku tidak langsung menjawab. Mengiakan dengan cepat hanya akan membuatnya mempertanyakan motifku, tetapi berpikir terlalu lama juga akan membuatku tampak mencurigakan. Sambil menyetir, aku berusaha memikirkan apa yang kira-kira akan dikatakan oleh saudaraku.
"Terserah kau saja," jawabku pada akhirnya. "Kalau kau mau pergi besok, aku akan meluangkan waktu."
Jawabanku memunculkan senyuman lebar di wajahnya. Aku tak menampik kalau Emma memang cantik dan senyum itu malah semakin memancarkan kecantikannya. Aku ingat, saudaraku pernah beberapa kali mengatakan kalau banyak orang bilang dia beruntung bisa mendapatkan Emma. Dia sendiri juga merasa demikian. Tidak hanya cantik, Emma juga terkenal pintar dan berasal dari keluarga kaya raya. Ibaratnya, saudaraku bagai mendapat durian runtuh.
Namun, jika memang begitu faktanya, kenapa saudaraku malah melakukan percobaan bunuh diri?
KAMU SEDANG MEMBACA
The Switch
Short StorySetiap harinya, kita membuat banyak keputusan. Terkadang, kita membuat keputusan yang baik. Sesekali barangkali kita akan membuat keputusan yang buruk. Atau, bisa juga kita membuat keputusan yang menyangkut hidup-mati orang lain. Apa yang sebenarnya...