Ketika berbicara dengannya dua minggu silam, aku sudah tahu ada yang tidak beres dari caranya berbicara. Ada sesuatu yang janggal dan membuatku cemas. Itulah yang mendorongku menempuh jarak dua jam perjalanan untuk mendatanginya. Kekhawatiranku terbukti benar. Aku menemukan saudaraku tidak sadarkan diri di kamar apartemennya. Kelihatannya dia menenggak obat tidur dosis tinggi. Karena aku datang 'tepat waktu', dia sempat dilarikan ke rumah sakit dan nyawanya masih tertolong. Hanya saja, dia masih belum siuman hingga sekarang. Itu sebabnya aku tak bisa menanyakan apa alasannya dan terpaksa mencari tahu sendiri.
Aku mengabarkan kepada Ibu apa yang terjadi. Sewaktu mendengarnya, beliau panik, tapi aku berhasil menenangkannya dan membuatnya setuju untuk merahasiakan kabar tersebut dari orang lain selagi aku mencari tahu apa yang mengakibatkan saudaraku sampai mencoba bunuh diri.
Aku memulai dengan menghubungi Emma dan mengatakan kalau aku mengalami kecelakaan kecil ketika berolahraga pagi. Tujuanku, supaya gadis itu tidak curiga kenapa kekasihnya tidak dapat menemuinya sama sekali. Setelah itu, aku berusaha menggali apa pun yang bisa kugali selama seminggu penuh.
Dan akhirnya aku menemukan sesuatu yang bisa jadi merupakan penyebabnya; Emma.
Itu fakta yang mencengangkan. Saudaraku begitu memujanya, jadi bagaimana bisa gadis itu juga menjadi penyebab dia sampai melakukan percobaan bunuh diri? Tidak masuk akal, memang, tapi aku memiliki bukti kuat yang kutemukan di ponselnya.
Aku melirik Emma sekilas. Gadis itu tengah mengamati kuku jemarinya. Dari saudaraku, aku tahu kalau Emma gemar menghias kukunya. Terkadang dia ke salon, tapi seringnya dia melakukannya sendiri, dan hasilnya tidak kalah bagus. Emma memang memiliki banyak talenta.
"Kau tidak membalas pesanku waktu itu. Seminggu penuh," kataku, berbelok ke arah sungai di bawah jembatan. Ini bukan rute ke rumah Emma. "Kau bahkan tidak membacanya."
Di sebelahku, gadis itu mengeluarkan gumaman kebingungan yang lebih terdengar seperti terganggu. "Biasanya kau tidak pernah mempermasalahkannya."
Biasanya? Berarti hal semacam itu kerap terjadi, bukannya baru-baru saja. Saudaraku sudah menghapus sebagian besar percakapannya dengan Emma, jadi aku tidak tahu sejak kapan persisnya itu dimulai.
"Kenapa kau tidak membalasnya?" tanyaku, mengabaikan pertanyaannya. "Kau sengaja."
Emma beringsut di kursinya. "Turunkan aku di sini," pintanya. Ketika tidak melihat adanya tanda-tanda aku akan menghentikan mobil, dia mencengkeram lenganku. "Kau tidak dengar apa yang kukatakan?!"
Aku mengertakkan gigi. "Jika kau tidak melepasku, cepat atau lambat kita akan mati bersama-sama, Emma. Kau yang memutuskan."
Dengan enggan, gadis itu melepas cengkeramannya. Sambil menghela napas, dia bersandar. "Jadi, apa yang kau inginkan?"
Aku mengedikkan bahu. "Penjelasan?"
Jemarinya kembali mengetuk-ngetuk dasbor. "Kenapa aku tidak membalas... ya karena aku tidak mau."
"Meski kau tahu itu menyakitiku?"
Emma hanya diam membisu, tapi sikapnya itu sudah merupakan jawaban. Dia tidak peduli bahkan jika perlakuannya itu menyakiti saudaraku. Dan parahnya lagi, itu tidak hanya terjadi sekali. Barangkali sejak awal hubungan mereka dimulai.
Bagi sebagian besar orang, mungkin itu bukan masalah besar. Namun tidak demikian halnya bagi saudaraku. Sebagai kembar identik, kami memang memiliki kesamaan wajah, tapi kepribadian kami sangat berbeda. Saudaraku memiliki hati yang lembut, tidak sepertiku yang cenderung memiliki emosi meledak-ledak. Dia juga cenderung berpikir berlebihan dan memendamnya seorang diri. Sebagai akibatnya, perlakuan Emma terhadapnya itu menimbulkan luka yang dalam. Luka yang tidak dapat dia ceritakan ke siapa pun. Luka yang hanya dia pendam dan sebagai akibatnya tak pernah sembuh.
Aku telah membaca pesan-pesan yang dikirimkan saudaraku ke Emma. Beberapa kali dia memohon kekasihnya itu untuk membalas pesannya atau menjawab telepon. Tapi Emma mengabaikannya, dan aku benar-benar tidak mengerti kenapa Emma dengan sengaja menyakitinya seperti itu.
"Memangnya salahku kalau kau sakit hati? Aku tidak melakukan apa-apa," ujarnya, membela diri. "Itu salahmu sendiri yang terlalu sensitif."
Bagaimana bisa dia menimpakannya pada saudaraku dengan begitu mudahnya, bahkan tanpa rasa bersalah sedikit pun? Di balik wajah cantiknya, ternyata gadis itu tidak punya hati. Selama ini, kukira saudaraku menjalani hubungan percintaan yang indah dengan wanita idamannya, tapi rupanya aku salah.
Selama ini, saudaraku terjebak dalam hubungan yang mengerikan.
Selama ini, dia menggantungkan nilai dirinya pada penilaian Emma. Selama Emma menganggapnya berharga dan menerimanya, selama itu pulalah dia berharga. Akan tetapi, begitu gadis itu mengabaikannya, saudaraku langsung tenggelam dalam kubangan kesedihan tak berdasar. Melalui pesan yang dia kirimkan ke Emma, aku dapat melihat kalau saudaraku betul-betul merasa putus asa lantaran Emma mengabaikannya. Dia memang cenderung berpikir berlebihan, itu benar, tapi Emma tak berhak memperlakukannya seperti itu, di saat dia tahu betul bagaimana dampaknya terhadap saudaraku.
Aku menghentikan mobil di pinggir sungai, persis di bawah jembatan. Tempat ini sepi dan sempurna untuk menjalankan rencanaku. Tadinya aku masih berharap apa yang kupikirkan itu salah. Tadinya kuharap Emma layak untuk dipertahankan. Namun sekarang aku sadar kalau aku harus mengambil langkah untuk membawa saudaraku keluar dari hubungan ini, sebab jika tidak, percobaan bunuh diri saudaraku kali ini tidak akan menjadi yang terakhir.
Jika ada yang harus mati untuk mengakhiri hubungan ini, aku akan memastikan kalau orang itu bukanlah saudaraku.
THE END
KAMU SEDANG MEMBACA
The Switch
Short StorySetiap harinya, kita membuat banyak keputusan. Terkadang, kita membuat keputusan yang baik. Sesekali barangkali kita akan membuat keputusan yang buruk. Atau, bisa juga kita membuat keputusan yang menyangkut hidup-mati orang lain. Apa yang sebenarnya...