How to be Human (part 2-END)

109 49 5
                                    

Aku terbatuk-batuk. Asap mulai menjalar hingga ke sini. Aku tidak tahu bagaimana mereka melakukannya, tapi mereka benar-benar membakar gedung ini. Api menyebar dalam waktu singkat, dan seluruh murid--termasuk para guru--berlarian ke luar kelas dengan panik. Tentu saja tidak ada yang ingat pada Charlie. Apalagi ruang kesehatan tempatnya tidur terletak di ujung koridor, berlawanan dengan arah tangga. Aku yakin pasti tidak akan ada yang memperhatikan deretan loker yang menutupi ruang kesehatan.

Kecuali aku.

Memang mustahil untuk memindahkan seluruh loker tersebut dengan cepat. Tapi aku mungkin bisa menggeser salah satunya pelan-pelan, hanya sekadar untuk membuka jalan bagi Charlie. Namun, jika aku ingin melakukannya, aku harus mulai sekarang juga. Lebih baik tidak mati sia-sia akibat menolong bajingan sepertinya.

"Oi, tolol!"

Terkejut, aku mendongak. Di bagian atas pintu ruang kesehatan ada ventilasi udara--yang lebih seperti sekat bergaris-garis. Pasti dia memanjat kursi atau apa di dalam, kemudian memanggilku dari sana.

"Ya, kau," serunya. "Pintunya tak mau terbuka!"

Aku menatap loker-loker yang menghalangi pintu, kemudian menelan ludah. Rasanya seperti ada batu yang tersangkut di tenggorokanku. "Uh, yeah, pintunya terhalang. Oleh... sesuatu." Entah kenapa, selalu sulit untuk berbicara normal dengan Charlie.

"Lantas, apa lagi yang kau tunggu? Cepat, singkirkan apa pun itu agar aku bisa keluar dari sini!"

Berbuat baik pada orang seperti Charlie itu sulit. Kendati pikiran untuk menolongnya sempat terlintas, niatku sontak menciut begitu mendengar suaranya. Dia membuatku gugup. Bahkan meski dia tidak berdiri di depanku. Perutku diliputi oleh ketegangan, hingga mengakibatkan asam lambungku melesat naik sampai ke kerongkongan.

"Kenapa kau hanya diam saja? Cepat keluarkan aku dari sini, tolol!"

Aku tahu apa yang harus kulakukan. Serius. Hanya perlu menggeser salah satu loker, dan Charlie akan terbebas dari dalam sana. Namun, desakannya malah membuat gerakanku menjadi canggung dan serba lamban. Ditambah lagi, entah sejak kapan asap sudah mengelilingiku, membuat sulit untuk bernapas. Sambil terbatuk-batuk, aku berusaha menggeser loker yang berada persis di depan pintu ruang kesehatan. Tapi, rupanya itu tidak semudah yang kupikirkan. Loker tersebut jauh lebih berat dari perkiraanku. Atau barangkali hanya tubuhku yang terlampau lemah.

Di dalam, Charlie mulai terbatuk-batuk. "Kenapa kau lama sekali? Jangan-jangan, kau sengaja mengurungku?" Nada bicaranya terdengar mulai panik. Sebelum aku dapat membantah, dia melanjutkan, "Kalau kau tidak segera mengeluarkanku, aku bersumpah akan mematahkan rusukmu begitu aku keluar dari sini!"

Itu bukan ancaman kosong. Kendati tidak benar-benar 'mematahkan rusuk', pukulannya tahun lalu sempat membuat dadaku sakit selama beberapa minggu. Saat itu, bahkan bernapas--serta menggerakkan badan--terasa sangat menyakitkan, sampai-sampai aku harus meminum obat pengurang rasa sakit. Tentu saja, orangtuaku tidak pernah tahu akan hal itu. Sama seperti halnya mereka tidak pernah tahu soal lebam-lebam yang menghiasi sekujur tubuhku. Penyebabnya, satu, lantaran Charlie selalu memastikan dia memukul di area yang tidak terlihat. Kedua, karena memberi tahu mereka takkan ada gunanya.

Dulu, pernah ada orangtua murid yang menuduh Charlie sebagai pelaku pemukulan putra mereka. Mereka membawa hasil pemeriksaan dokter dan sebagainya, kemudian membuat keributan di sekolah. Mengikuti permintaan orangtua murid, kepala sekolah meminta Charlie datang ke ruangannya. Kami tidak tahu apa yang mereka bicarakan, tapi Charlie hanya diberi hukuman membersihkan WC selama seminggu meski kudengar dia mengakui tuduhan yang ditujukan padanya.

Tiga hari setelahnya, nasib buruk menimpa si murid yang melapor ke orangtuanya tersebut. Seseorang--yang tidak pernah diketahui identitasnya secara pasti tapi kami semua tahu kalau itu Charlie--mendorongnya jatuh dari tangga. Kakinya patah dan dia harus dirawat di rumah sakit. Setelah sembuh, orangtuanya memindahkan dia ke sekolah lain. Kurasa pada akhirnya mereka mengerti kalau percuma saja melawan orang seperti Charlie. Apalagi pihak sekolah juga tidak dapat diajak bekerja sama sepenuhnya.

Kalau ditanya, apa yang sebetulnya membuat Charlie begitu ditakuti, bahkan oleh pihak sekolah, jawabannya sederhana. Karena Charlie tidak punya apa-apa. Orang luar mungkin akan mengira dia anak orang kaya atau apa, makanya tidak ada yang berani melawannya. Tapi itu salah. Charlie justru berasal dari keluarga miskin. Ayahnya seorang pemabuk yang suka memukulinya, sedangkan ibunya pergi bersama lelaki lain ketika Charlie berusia lima tahun. Begitulah yang kudengar. Aku tidak tahu apa itu benar, tapi fakta bahwa dia miskin memang betul, sebab aku pernah membuntutinya pulang sekali. Waktu itu aku mendapati kalau dia menempati gubuk reyot di pinggir sungai yang terlihat seperti akan roboh kapan saja.

Jadi itulah sebabnya Charlie tidak takut pada apa pun. Atau siapa pun. Sebab dia tidak punya apa-apa. Dia tidak takut jika hidupnya hancur, sebab hidupnya sudah telanjur berantakan. Orang yang tidak takut menghancurkan hidupnya, tidak akan segan untuk menghancurkan hidup orang lain. Itulah kenapa tidak ada yang dapat melawannya. Itulah kenapa akhirnya mereka memilih cara ini untuk melawan Charlie.

Aku kembali terbatuk-batuk. Lakukan atau tidak?

Sebelum aku menyadarinya, kakiku mulai melangkah. Awalnya pelan, kemudian ayunan langkahku semakin cepat, dan tahu-tahu aku sudah berlari menjauhi ruang kesehatan. Di belakangku terdengar teriakan yang dipenuhi sumpah serapah, namun aku berpura-pura tak mendengarnya. Aku terus berlari kencang menuruni tangga, menerobos pintu depan, lalu gerbang sekolah, bergabung dengan kerumunan orang banyak.

Ketika memandang sekeliling, aku menemui tatapan salah satu murid pelaku pembakaran. Sorot matanya seolah menanyakan, Apa kau bersama kami? Aku mengangguk pelan, dan matanya pun beralih menyorotkan kelegaan. Sepertinya mereka pikir aku akan keluar bersama Charlie. Tadinya aku juga mengira begitu. Tadinya kukira itulah hal yang harus kulakukan sebagai manusia, yaitu menolong bajingan seperti Charlie. Namun kemudian aku menyadari kalau itu salah.

Meninggalkan orang seperti Charlie justru adalah hal yang akan dilakukan oleh manusia.

The SwitchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang