To Live Your Own Life (part 2)

64 35 2
                                    

"Aku akan pergi dari rumah ini," kata Kak Tyra sewaktu dia mengajakku makan siang di sebuah restoran mewah. Dia memotong steak di piringnya, kemudian mengacungkan garpunya ke arahku. "Hanya kau satu-satunya yang kuberi tahu."

Aku menatapnya, bingung. "Kakak berencana kabur atau semacamnya?"

"Tentu saja tidak." Kak Tyra merendahkan suaranya. "Sebenarnya, aku mendapat tawaran dari sebuah perusahaan di Amerika. Aku sudah mengiakan tawaran tersebut dan akan berangkat dua hari lagi."

Mataku membelalak. Ini benar-benar mendadak. "D-dua hari? Kakak serius?"

Kak Tyra tersenyum lebar. Matanya berbinar-binar dan saat melihat itu aku tahu kalau dia serius. "Bagaimana tidak? Posisi yang mereka tawarkan sangat baik dan aku adalah wanita pertama yang menduduki jabatan tersebut. Keren, kan, Rendy?"

Walaupun dia terlihat bersemangat, aku tahu kalau di dalam hatinya Kak Tyra pasti merasa berat karena pada akhirnya harus melepaskan impiannya meneruskan perusahaan Ayah. Dia selalu mengira Ayah akan mengalah dan membiarkannya memimpin perusahaan. Tapi rupanya ayah kami lebih keras kepala. Dan untunglah Kak Tyra memilih untuk menyerah. Aku tak ingin dia menyia-nyiakan bakatnya lebih lama lagi di tempat ini.

Alasan Kak Tyra memberitahuku rencananya adalah, agar aku membantunya. Pada hari keberangkatannya, dia akan tetap pergi ke kantor seperti biasa. Kemudian, sekitar jam sepuluh pagi, temannya akan datang untuk mengambil koper. Tugasku adalah menyerahkan koper Kak Tyra kepada temannya.

"Hanya kau yang bisa kupercaya," kata Kak Tyra pada malam hari sebelum dia dijadwalkan pergi keesokan harinya.

Aku tidak terkejut dia tidak memberi tahu Kak Damien ataupun Ibu mengenai rencananya. Ibu mungkin akan mencoba mencegahnya, sedangkan Kak Damien pasti akan iri lantaran Kak Tyra menemukan jalan untuk keluar dari rumah ini. Dia sendiri selalu berpikir kalau dia 'terperangkap' di sini selamanya. Tidak sepenuhnya salah. Sebagai anak lelaki tertua, Kak Damien akan tetap tinggal di sini bahkan setelah dia menikah.

Karena hanya aku yang tahu, rencana Kak Tyra berjalan lancar. Dia menelepon Ibu setelah tiba di Amerika, dan menimbulkan kegemparan di rumah setelahnya. Ayah marah-marah sampai membanting seluruh benda di atas meja, Kak Damien syok sampai tidak dapat berkata apa-apa, sementara Ibu terus menangis. Kak Tyra baru saja memulai hidup barunya di Amerika, tapi mereka memperlakukan kabar itu seolah Kak Tyra melakukan sesuatu yang tak dapat dimaafkan.

Yah, barangkali dalam kepala mereka memang demikian.

Di mata mereka, Kak Tyra adalah pembangkang pertama di keluarga kami, dan tentu saja itu tak dapat dimaafkan. Akan tetapi, di mataku Kak Tyra baru saja menorehkan sejarah baru di rumah kami. Dia menunjukkan kalau membebaskan diri dari cengkeraman Ayah adalah sesuatu yang mungkin untuk dilakukan, bahkan meski dia harus mengorbankan sesuatu dalam prosesnya. Dalam hal ini, keluarga.

Seperti yang kukhawatirkan, giliranku tiba ketika aku lulus kuliah. Sejak dulu aku hanya ingin menjadi musisi, tapi orangtuaku menentang keinginanku itu mentah-mentah. Menurut mereka, terutama Ayah, aku tak akan berhasil. Ayah bilang lebih baik aku membantu Kak Damien meneruskan perusahaannya. Masalahnya, aku tak berminat sama sekali. Sejak dulu aku hanya mencintai musik. Bahkan jika aku tak akan berhasil di bidang musik, aku tetap ingin mencoba.

"Kau harus mengambil keputusan, Rendy," kata Kak Tyra ketika aku meneleponnya. Dia satu-satunya yang bisa kuajak berdiskusi mengenai impianku. Aku pernah mencoba meminta saran dari Kak Damien, tapi dia hanya menyuruhku untuk melupakannya. "Ayah tidak akan merestuinya sampai kapan pun. Kita berdua tahu itu. Kalau kau tetap di rumah itu, pada akhirnya kau hanya akan menjadi Damien kedua."

Dia benar. Terus berada di sini hanya akan memaksaku untuk melepaskan impianku. Jadi pada akhirnya aku memutuskan untuk kabur. Aku tidak terlalu yakin ini keputusan yang benar, tapi aku tidak ingin tetap di rumah ini hanya untuk menjalani hidup yang akan kusesali pada akhirnya.

"Jangan bawa kartu kreditmu. Bawa uang tunai. Matikan ponselmu supaya Ayah tidak dapat melacakmu. Telepon aku dari nomor barumu begitu kau tiba di kamar kosmu," pesan Kak Tyra pada malam sebelum hari H. Dia terdengar seperti pakar melarikan diri. Kemudian, barangkali lantaran dapat menebak apa yang kurasakan, dia menambahkan, "Aku akan membantumu, Rendy, jadi jangan cemas."

Ya, aku memang mencemaskan banyak hal. Pertama, aku tak tahu apa rencanaku akan berhasil. Kak Damien sudah pernah mencoba kabur dan dia gagal. Hal yang sama mungkin terjadi padaku. Kedua, kalau boleh jujur, ini menegangkan, dan aku takut. Aku belum memiliki rencana pasti mengenai apa yang akan kulakukan ke depannya. Aku tak memiliki pekerjaan. Aku tak memiliki teman yang dapat diandalkan. Aku tak memiliki apa pun kecuali tekad--dan Kak Tyra.

Namun, membayangkan impianku mati begitu saja jika aku tetap diam di sini jauh lebih mengerikan. Dan itulah sebabnya aku lebih memilih untuk mengambil risiko.

The SwitchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang