Aku memandang ke sekeliling kamarku sekali lagi sebelum pergi. Terlahir sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara di rumah ini adalah pengalaman yang tidak terlalu mengenakkan bagiku. Memang benar, kami tidak kekurangan apa pun dari segi materi. Namun, 'keberuntungan' itu seolah harus kami bayar dengan menyerah atas takdir kami dan membiarkan Ayah yang menentukan jalan hidup kami. Aku tumbuh dengan menyaksikan kedua saudaraku menanggung ekspektasi berlebihan dari ayahku, kemudian aku sendiri hidup dalam ketakutan karena tahu pada saatnya nanti aku pun akan menanggung beban yang sama sebagai anak laki-laki kedua.
Tapi hari ini, untuk pertama kalinya, aku akan memperjuangkan kebebasanku.
Aku menelan ludah, kemudian menggantung ranselku di pundak. Aku hanya membawa beberapa potong baju serta seluruh uang tunai yang kumiliki. Selama seminggu terakhir, aku sudah melakukan semua yang disuruh Kak Tyra. Aku sudah menyewa kamar kos di daerah yang berjarak sekitar tiga puluh menit dari sini dan memindahkan beberapa barang yang penting ke sana sedikit demi sedikit agar tidak ketahuan. Untungnya, akhir-akhir ini Ayah sedang sibuk mengurus suatu proyek penting, makanya beliau tidak sempat memantau aktivitasku.
Aku keluar dari kamar, langsung menuju ke garasi, kemudian menaiki motorku. Sejauh ini, semua berjalan lancar, tapi entah kenapa perasaanku malah tidak enak. Semuanya terlalu lancar.
Beberapa detik kemudian, intuisiku terbukti benar.
Dua pria bersetelan hitam mendadak muncul dari balik pintu garasi. Aku mengenali mereka sebagai anak buah ayahku. Mereka berdiri di tengah jalan, kentara jelas berusaha menghalangiku ke luar.
"Minggir!" seruku.
"Tuan berpesan agar Tuan Muda tidak boleh pergi ke mana-mana," balas salah satunya.
Aku menyalakan motor. Nyaliku sedikit menciut, tapi tidak dengan semangatku. Tentu saja, akan sangat aneh kalau rencanaku berjalan mulus tanpa hambatan. Aku tidak tahu sejak kapan Ayah menyadari rencanaku, atau di mana tepatnya aku melakukan kesalahan, tapi semua itu tak penting lagi. Jika aku tidak mencoba pergi sekarang, aku yakin nasibku akan berakhir sama seperti Kak Damien dulu ketika percobaan kaburnya gagal.
Sekarang atau tidak sama sekali.
"Aku sudah memperingatkan kalian," kataku, kemudian melajukan motorku lurus ke depan.
Mereka mungkin tidak mengira aku akan nekat, apalagi selama ini aku selalu menunjukkan sikap penurut. Namun, untunglah, sesuai harapanku, mereka masih lebih menyayangi nyawa mereka. Kedua pria tersebut sontak menyingkir, tapi aku yakin mereka tidak akan menyerah begitu saja. Mereka pasti akan mengejarku hingga akhir. Itulah yang dulu terjadi pada Kak Damien.
Dengan kecepatan tinggi, aku berhasil melewati pagar, tapi masalahnya aku tak tahu harus ke mana. Kamar kos yang kusewa sudah pasti tak dapat kudatangi. Ayah pasti juga sudah menempatkan anak buahnya di sana. Itu berarti aku tak bisa ke mana-mana. Di saat seperti ini, aku teringat akan tempat yang dulu pernah diceritakan Kak Damien.
Mereka dapat memberimu kehidupan yang baru. Benar-benar baru.
Aku dan Kak Damien pernah pergi ke sana sekali, beberapa hari setelah dia akhirnya 'dibebaskan' setelah dikurung di kamarnya selama tiga bulan. Kak Damien mengetahui tempat itu dari forum di internet. Entahlah apa nama forumnya. Yang jelas, dia berhasil menemukan tempat itu, tersembunyi di suatu gang kumuh di area yang cukup jauh dari tengah kota, dan tempat itu buka dua puluh empat jam. Rute ke sana cukup berliku-liku dan Kak Damien memerlukan waktu dua jam untuk menemukannya. Tapi aku memiliki ingatan yang bagus, jadi aku dapat mengingat rutenya dengan baik meski baru sekali ke sana.
Awalnya, Kak Damien betul-betul bertekad untuk memulai segalanya dari nol. Sebelum kami pergi ke sana, dia berkata dengan penuh semangat bahwa tempat itu dapat memberinya identitas baru serta membantunya 'menghilang'. Hanya ini cara agar aku dapat terbebas dari rumah ini. Matanya memancarkan sorot penuh tekad sewaktu mengucapkan itu. Dan aku setuju. Jika mereka benar-benar dapat melenyapkan jejak Kak Damien, maka Ayah tidak akan dapat menemukannya lagi.
Akan tetapi, begitu kami berdiri di depat tempat tersebut, Kak Damien malah menjadi ragu. Dia hanya berdiri mematung di depan pintu, dan aku tak perlu bertanya untuk tahu apa yang ada dalam benaknya. Membayangkan harus memulai dari awal tampaknya cukup menakutkan bagi Kak Damien. Yah, tentu saja. Selama ini dia terbiasa hidup bergelimang harta, dan jika dia ingin hidup di bawah identitas baru, dia pasti tak bisa menggunakan kartu kredit ataupun mengakses rekening tabungan atas namanya. Mana mungkin Kak Damien bisa hidup seperti itu? Dia bahkan tidak tahan menggunakan barang-barang murah.
Pada akhirnya, Kak Damien membatalkan niatnya dan kembali ke rumah.
Kini, aku berdiri di depan tempat yang sama dengannya waktu itu. Perbedaannya, aku bukan Kak Damien. Sejak dia memberitahuku soal tempat ini, aku sudah mempersiapkan diri. Sebenarnya, ini merupakan opsi terakhir. Namun jika sampai terpaksa memilihnya, aku sudah tahu apa risikonya, yaitu aku harus melepaskan kenyamanan finansial yang selama ini aku miliki, serta meninggalkan keluarga dan rumahku.
Dan aku siap untuk itu.
Bagiku semua itu adalah harga yang harus kubayar untuk memperoleh kebebasanku. Ini adalah satu-satunya kesempatanku untuk menjalani hidup yang kuinginkan.
Dengan kebulatan tekad, aku mengulurkan tangan dan meraih pegangan pintu, kemudian melangkah masuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Switch
Short StorySetiap harinya, kita membuat banyak keputusan. Terkadang, kita membuat keputusan yang baik. Sesekali barangkali kita akan membuat keputusan yang buruk. Atau, bisa juga kita membuat keputusan yang menyangkut hidup-mati orang lain. Apa yang sebenarnya...