25

32 9 7
                                    

Dua hari Marko seakan berjalan begitu saja. Tanpa ia tahu benar apa yang telah ia lakukan. Sejak hari puncak dies natalis kampusnya, Marko hanya bergerak seakan dirinya memiliki mesin otomatis, saking sibuknya.

Malam puncak itu berakhir sekitar tengah malam. Marko dan panitia yang lain segera berberes membersihkan area lapangan yang dijadikan venue acara tersebut. Selepas berberes dan berbersih, jarum jam telah menunjuk pukul tiga dini hari. Marko dan beberapa panita laki-laki lainnya memilih istirahat di sekretariat, karena selain lelah mereka juga masih harus menjaga barang-barang pinjaman yang menumpuk. Nah, besoknya lanjut mereka melakukan pengembalian barang yang bahkan memakan waktu lebih seharian meski telah mereka bagi-bagi tugas.

Marko baru bisa tenang pulang setelah jam 9 malam kala itu. Dan lagi, langsung tepar setelah menyentuh ranjang kamar kos. Lelah sekali bujang kita ini. Tapi dia cukup puas, karena saat evaluasi singkat tadi, Agil - sang ketua panitia - memberinya apresiasi yang sebanding dengan kerja kerasnya beberapa bulan terakhir. Bukan berupa materil, tapi hanya dengan, "Terima kasih atas kerja keras lo. Sering-sering aja kita buat acara bareng ntar," darinya yang terdengar tulus saja sudah merupakan bayaran yang sangat mahal untuk Marko.

Kembali lagi, meski begitu Marko tak bisa bohong jika ia juga sangat lelah. Hari ini saja ia baru bangun jam satu siang. Serius. Ia bahkan membolos kelas senin paginya tadi.

Bangun-bangun, hal pertama yang dilakukannya adalah mengecek ponsel - yah, tak jauh berbeda dengan kebanyakan anak milenial sekarang lah. Yah meski akhirnya menambah tidur beberapa menit lagi setelahnya, tapi akhirnya Marko menyeret diri untuk bangun. Ia belum mengisi perut dan benar-benar berbersih diri sejak pulang semalam.

Selepas mandi, Marko yang bersiap untuk mencari makan dikagetkan oleh dering ponsel.

"Yo, Jack?" sahutnya setelah menempelkan handphone ke salah satu telinga.

"Eh, anj*r lo dimana? Ga ngampus lo?"

"Iya, baru bangun gue. Capek."

"Bang Agil nyariin nih. Ke kelas tadi, tapi lo gak ada."

"Lah, ngapain ampe ke kelas. Telpon kan bisa?"

"Ya coba lu liat tu hengpon lu! Udah lo buka belom dari kapan tau?"

"Haha iya juga, baru gua pegang soalnya lu telpon." Marko malah cengengesan seakan tak berdosa.

"Yeuuh, beg*! Udah ah cepet sini lo. Bang Agil nungguin di sekret."

"Ada apaan si emang? Butuh gue banget ya?"

"Ya kaga tau anj*r! Lo ngapa jadi tanya gua?"

"Yakali aja gitu Agil bilang."

"Kaga ada. Udah ah, gue laper muk makan. Lo cepet temuin dah sono biar gak gangguin gue mulu tuh orang."

"Iye-iye, emang udah mau berangkat kok gue ini." Marko bahkan telah dalam posisi siap, namun matanya masih liar mencari keberadaan kunci motor yang tiba-tiba tak terlihat.

"Berangkat kampus kan lo?"

"Kaga. Muk makan gue. Laper, belom makan."

"Anj*r lah, t*i!"

"Hahahaha ... Iya-iya, langsung kampus abis itu. Santuy."

"Bodo, Bangs*t!" Dan sambungan terputus. Menyisakan Marko yang tergelak karena respon menghibur Jackson.

By the way, kontak motor Marko akhirnya telah di tangan. Marko akan menjejal benda pipih pintarnya itu saat sebuah nama tiba-tiba terlintas di benaknya.

Chit-chattingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang