30

39 7 6
                                    

"Jin ...." Septi sengaja menoel-noel lengan Jinee yang masih sibuk mengisi lembar HVS - entah yang ke-berapa - dengan tulisan tangan yang lumayan rapi.

"Hm?" Si sibuk menanggapi sekenanya.

"Lo sama Marko nih beneran cuma temenan doang ya?" Tanya Septi random. Nggak, random juga sih sebenernya. Tapi abis chatting sama Marko tadi, jadi kepikiran aja gitu nanyain. Abis, tahu sendiri kan, dua orang yang ngakunya sahabatan ini gimana sikapnya?

By the way, yang sibuk nugas mah Jinee doang. Septi tadi ngikut aja soalnya Jinee gak mau sendirian ke perpus. Mana Septi juga bukan tipe yang bisa fokus nugas kalo nggak di tempatnya sendiri. Jadilah dia gabut nggak ngapa-ngapain. Untung tadi Marko nge-chat, jadi kan dia ada bahan pikiran gitu, biar ga kosong kepalanya, takut kesambet.

"Iya kali," sahut Jinee sekenanya - lagi.

"Lah?" Bingung jelas lah si Septi. "Kok ya kaaali sih? Lo gak yakin sama status kalian? Emang Marko udah ngomong apa sama lo? Jangan-jangan elo nolak dia ya? Ya ampun, Jinee~"

"Lu ngomong apa sih, Sep? Elaahh ...." Kali ini Jinee benar-benar menaruh atensi pada anak yang kini mengukir wajah serupa anak kucing minta perhatian. "Punya ide dari mana bisa mikir kayak gitu? Ya kita temenan lah, apa lagi?" selorohnya kemudian dengan sedikit sebal.

"Yakan, ini gue bingung. Mau mastiin gitu lho. Abisan tuh ya, si Marko nih keliatan banget care-nya, trus ngejagain elo, sayaaaaaang banget gitu dah ke elo. Masa dia kaga ada pernah ngomong suka gitu?"

"Pfftt," Jinee malah pengen ketawa kenceng dengernya. "Gilak! Bisa kiamaaat ini bumi kalo dia naksir gue anj*r," katanya lagi sambil kini tergelak pelan.

"Nih ya, kita tuh udah dari jaman piyik kenal. Sepuluh tahun? Sebelas tahun? Sekitar itulah pokoknya, tapi yang jelas dia tahu gue dari jaman gue slebor sampe sekarang masih slebor juga sih, haha. Mana mau dia sama gue? Dan lo gak tau aja, selera dia tuh, beuuh ... udah kek artis korea yang kinyis-kinyis itu!" Jinee bahkan memutar kepala dramatis, saking ingin memberitahu Septi jika yang dikatakannya bukan bualan belaka.

"Tapi lo cakep kok," seloroh Septi setelah menyimak penjelasan Jinee tadi. "Mmm ... Natural," tambahnya sambil membuat simbol 'oke' dengan ibu jari dan telunjuk yang membulat.

"Brrp-p-puh~ anj*r gilak! Natural t*i!" Jinee justru kembali pecah dalam tawa yang sekuat tenaga ia tahan. Ingat, posisi mereka masih di dalam perpustakaan.

"Hih, malah ketawa. Lagian nih ya, gue bilangin ... masalah hati mah ga ada sangkut pautnya ama muka. Suka ya suka aja."

Kali ini Jinee mengangguk-angguk setuju dengan pernyataan Septi. "Ga salah!" Tapi ujung-ujungnya tetap saja dia mengedikkan bahu juga.

"Trus, kalo lo?"

Padahal Jinee baru saja akan meneruskan tugasnya, tapi kembali harus ia hentikan kala Septi melempar tanya lain. "Gue kenapa?"

"Lo suka ga sih sama Marko, Jin?"

Jinee terdiam cukup lama. Ekspresinya bercampur baur, seolah kepalanya sedang mengadakan diskusi dadakan setelah mendapat pertanyaan. Membuat Septi menaruh sebuah harapan untuk jawaban yang akan terlontar dari bibir terkatup itu.

Surprisingly, setelah sekian detik yang serupa satu abad bagi Septi, Jinee malah tersenyum penuh arti tanpa mau menatapnya yang sudah terbakar kekepoan.

Chit-chattingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang