26

35 8 9
                                    

Marko disambut dengan hal aneh kala memasuki rumah Jinee. ART keluarga Park ternyata masih sibuk di dapur siang itu.

Kenapa aneh, kalian tanya?

Jelas aneh. Bi Iin yang telah Marko kenal sejak dia kecil itu tidak bekerja full time di rumah Jinee. Bahkan sejak masih ada Mama Tatiana - Ibu Jinee. Jika dulu Bi Iin akan pamit selepas pukul 4 sore, maka sejak Jinee kuliah - sekitar pertengahan tahun lalu, Jinee telah memintanya datang hanya 2-3 kali seminggu. Itupun tak akan lebih dari jam 10 pagi.

Nah, lihatlah pemandangan siang ini. Perempuan paruh baya itu masih berkutat dengan beberapa peralatan dapur di tangan.

"Lho, Bi Iin belum pulang?" Marko sengaja berhenti di ruang tengah. Yup, ruangan itu menyambung ke area ruang makan dan dapur. Di sana jugalah tangga menuju tempat tujuannya berada.

"Iya, Den. Dari kemarin Bibi nginep." Suara Bi Iin terdengar keras meski jarak mereka cukup jauh.

Marko kembali mengerutkan kening. "Lah tumben amat?"

Bi Iin yang masih sibuk memindahkan isian dari mangkok dan piring saji, agaknya tak begitu mendengar perkataan Marko.

Marko yang tak enak hati mengganggu perempuan itu dari pekerjaannya akhirnya berbalik. "Yaudah, Marko ke atas dulu ya, Bi. Jinee di atas kan?" Meski pamit dan sempat bertanya dengan keras, nyatanya pemuda itu tak membutuhkan balasan apapun. Karena saat mengatakannya ia bahkan telah mencapai pertengahan tangga.

Bi Iin yang hendak menjawab saja sampai bingung dibuatnya. Karena sosoknya sudah menghilang dengan cepat.

Tok tok tok ....
Marko mengetuk pintu kamar Jinee seperti biasa. Eits, jangan salah, Marko selalu ketuk pintu kamar Jinee kok saat kemari. Yah, walaupun setelah itu nyelonong begitu saja meski belum dijawab. Hari inipun bukan pengecualian.

"Buluk, gue masuk ya ..." selorohnya tanpa canggung.

Begitu menginjakkan kaki di ruang yang gelap - meski matahari tengah bertahta, suhu dingin yang amat kontras dengan suhu di luar menyapa Marko.

"Buset, dingin amat ni kamar? Luk? Lo dimana Luk?" Marko sedikit kesulitan menemukan sosok yang dicarinya, mengingat pencahayaan yang minim.

Diarahkan pandangan untuk menyisir ruangan. Tapi nihil, sosok Jinee tak tertangkap indranya. Bahkan setelah ia coba memicing dengan sungguh-sungguh.

Sebelum bergerak ke arah kamar mandi - yang juga berada di dalam, Marko sempatkan menyibak gorden. Memberikan pertolongan pada matanya untuk menemukan Jinee.

Marko kembali mengetuk pintu lain di ruangan tersebut. Hening didapat. Ketika ia coba buka, ternyata tak terkunci, namun ruangan kecil itupun kosong tak berpenghuni.

Marko akhirnya berbalik lagi. Diperhatikannya seisi ruangan dingin itu.

Gosh, benar-benar terlalu dingin. Jinee kenapa sih? Sampai menyetel AC serendah ini? Ditinggal menyala pula.

Berhubung tidak ditemukan sosok sahabatnya dalam kamar itu, Marko mengganti misi untuk menemukan remote AC. Beruntungnya ia karena benda itu segera tertangkap irisnya, tergeletak di atas meja belajar yang menyambung pada rak buku. Marko segera bergerak ke sana.

Hendak mengambil benda kecil itu, matanya justru mendapati benda lain yang dikenalnya sebagai handphone Jinee. Anehnya, benda itu telah tercerai-berai menjadi beberapa bagian.

Marko segera mematikan AC. Kemudian berfokus pada bagian-bagian handphone yang tak lagi menyatu.

Pantesan gak aktif, ancur begini.

Chit-chattingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang