9. Mabok

93 14 13
                                    

~Biba~

[19.12]

| Malem Kak Marko
| Sibuk gak Kak?

hm, knp? |

| Anu.. kalo lg gak sibuk, mau temenin Bibah gak Kak?

[19.52]

ayok deh |
kirimin alamat lo |

| Eh 😮
| Beneran kan ini?
| Kak Marko mau nemenin bener kan?

lo lama, gw ke tempat lain |

| Eh iya iya..
| Jangan Kak.. maaf tadi seneng aja gitu
| Gak nyangka Kakak bkln mau aku ajak

alamat lo cpt |

| Perum raya asri belakang SMK kota blok F3 no 22
| Nanti kalo bingung sama bunderan komplek tlfn aja ya Kak
| Oiya, aku siap2 dulu
| Kak Marko ati2 di jalan
| See you Kak 😊


***

"Bokap mau gue ikut ke korea." Kalimat Jinee sore itu kembali mengisi kepalanya.

Marko ingat betul bagaimana tubuhnya semakin kaku mendengarnya. Kedua tangannya mengepal kuat, membuat otot-otot lengannya terasa sesak di balik balutan jaket.

Lalu percakapan mengesalkan itu kembali berputar dalam ingatan.

"Gimana?" Tanpa sadar, suaranya telah menggelegar begitu saja. Kalimat
Jinee terlalu mengejutkan. Marko bahkan tak pernah memikirkan akan mendengar kemungkinan itu sebelumnya.

Jinee menatapnya dengan senyum mengembang. "Gue gak kemana-mana kok, tenang aja."

Apa-apaan senyum itu? Tentu saja Marko tidak akan menerimanya begitu saja. Ini tentang ayah Jinee - sahabatnya - yang Marko paham betul bagaimana sifatnya. Tipe orang tua pelaku bisnis tak mau rugi yang bahkan kehidupan keluarganya pun tak luput dari praktik bisnisnya.

"Dengan syarat?" tanyanya retoris. Pandangannya menusuk manik Jinee dingin.

Jinee menghela napas sekali, lalu menjawab masam, "Bokap ijin nikah lagi kalo emang gue gak mau ke Korea." Nah kan ... apa Marko bilang? Pasti ada harganya.

"Trus lo setuju?"

"Yah ... gimana kan? Gue gak mau ke Korea ini. Mending di sini bareng lo." Jinee tersenyum usil di akhir kalimatnya.

Sayangnya, Marko sedang tidak mau menanggapi candaan yang menyangkut orang yang selalu dibencinya itu. Ah, iya ... sedari awal, ayah sang sahabat memang tidak pernah punya sisi baik dalam pandangan Marko. Marko tidak pernah menyukai orang tua yang selalu saja membuat Jinee menangis bahkan sejak gadis itu kecil. Masa bodoh dengan status ayah biologis dari sahabatnya, saat Jinee bersedih karena orang itu maka sudah dipastikan Marko akan menandainya sampai mati. Pendendam huh?

"Bego! Mikir apa sih lo?" Meledak sudah teman kita yang penyabar ini. "Itu orang kalo dikasih hati bisa-bisa minta nyawa juga, Ji. Lo kok gak mikir sih, main iya-iya aja. Kegirangan tuh orang!"

"Marko!" Jinee terkejut karena Marko yang tiba-tiba meninggikan suaranya beberapa oktaf. Pun kata-katanya sudah terlalu berani untuk seseorang yang sepatutnya dia hormati. Jinee memang tidak pernah merasa memiliki sosok ayah yang sebenarnya, tapi bukan berarti ia juga akan berani begitu. "Kelewatan lo."

Chit-chattingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang