Darah.
Mayat bergelimpangan.
Teriakan putus asa.
Dataran salju putih dipenuhi mayat penuh darah. Jubah putih para mayat telah ternoda. Pedang dan panah menancap di permukaan putih yang dingin. Sementara itu, para makhluk bertanduk bersuka ria melahap daging yang banyak berserakan.
"Para iblis sudah mengepung benteng!" Sebuah seruan menggema dari atas menara benteng pelindung kota yang kokoh. Di dinding benteng yang tinggi dan besar, para prajurit telah bersiap. Ratusan anak panah melayang ke makhluk yang disebut iblis itu yang kini hampir berhasil menerobos.
Aku berlari menjauh, menuruni tangga yang terbuat dari balok salju yang disusun sedemikian rupa. Jelas benteng yang dikepung bukanlah tempat yang aman. Tidak ada yang tahu sampai kapan dinding kokoh beserta beberapa menara pengawas bisa bertahan.
Para penduduk di dalam kota berlarian mencari perlindungan. Beberapa bola api yang tak tertahan oleh para penyihir di menara menghancurkan beberapa rumah. Serpihan batu dan puing-puing terlempar ke segala arah, melukai para warga di sekitar.
"Benteng telah runtuh! Mundur dan evakuasi penduduk!" Seruan dari menara kembali menggema. Pelantak gerbang membongkar pintu benteng. Hujan batu api merusak setiap bongkah balok salju hingga para iblis bebas memasuki kota yang sepenuhnya diselimuti salju ini.
Beberapa saat setelah para iblis memasuki kota, asap tebal berhembus dari luar benteng. Pandangan mata terhalang karenanya, tidak ada yang bisa dilihat dari dekat maupun jauh.
Apa yang terjadi?
Anehnya, hanya dalam beberapa detik saja, asap hitam pekat yang dimunculkan oleh para iblis menghilang. Penglihatanku kembali normal. Jajaran rumah dan bangunan yang terbuat dari susunan balok es kembali tertangkap mata.
Dari pemandangan benteng yang terkepung, berganti ke pertarungan dalam kota. Para kesatria berzirah perak mengayunkan pedang ke arah para makhluk bertanduk besar. Sayangnya, mereka hanya berhasil menggoreskan sedikit luka. Berbeda dengan para iblis yang memiliki sihir kegelapan, hanya dalam satu sapuan para kesatria itu tumbang. Darah mengucur dari hidung dan telinga, menandakan betapa kuatnya satu serangan sihir itu. Para kesatria telah tewas, tidak mampu melawan. Sedangkan para iblis melahap tubuh mereka tanpa ampun. Tidak menyingkirkan zirah logam yang mereka pakai.
Mereka kejam sekali.
Namun, di antara orang-orang yang telah tumbang, seorang pemuda berzirah putih masih berdiri gagah di hadapan para makhluk bertanduk. Ia mengacungkan pedang berlapis cahaya terang pada salah satu makhluk besar yang malah tertawa.
"Pedang biasa takkan bisa membuatku terluka!" Sang makhluk bertanduk tertawa melihat pemuda berambut putih yang menantangnya. Ia mengayunkan tangannya, menghempaskan sang pemuda dalam sekali serang. Pemuda itu menancapkan pedangnya ke salju, mencegah dirinya terlempar lebih jauh.
Seorang wanita bergaun putih tipis berlari ke arah sang pemuda berambut putih. Di pangkuannya, seorang bayi laki-laki menangis kencang. Entah apa niatnya, di kedua telapak tangan sang wanita ada gumpalan es yang memadat.
Harusnya tugas kesatria untuk melindungi warga. Mengapa dia ikut bertarung juga?
"Jangan lukai suamiku, Iblis Sialan!" Wanita itu melayangkan banyak jarum es ke arah iblis besar yang bertanduk. Sayangnya, sihir wanita itu tidak berdampak banyak. Jarum es yang sang wanita luncurkan ditelan oleh kegelapan yang menyelimuti sang iblis.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Unlucky Wizard (Revisi)
FantasyNama adalah doa, itu menurut orang kebanyakan, tapi tidak berlaku untukku. Sejak kecil, aku tidak mengenal siapa ayahku dan ibuku serasa enggan untuk mengungkapkannya. Ditambah kekuatan aneh yang membuat hidupku semakin bermasalah, dunia seakan tida...