Bab 3

454 51 4
                                    

"Suatu saat nanti, jangan sampai kau menyesal karena tidak percaya dan tidak pernah berbaikan dengan ibumu."

Perkataan itu sungguh menggelitik. Aku tidak akan menyesal jika tidak berbaikan dengan Mom. Dia yang harusnya berpikir. Seumur hidup putranya ini, dia telah menutupi sebuah rahasia besar tentang ayahnya. Rahasia yang membuatku meragukan jati diri sendiri.

Aura putih tipis yang menyelimuti tubuh Mom saat di ruangan konseling itu menyadarkan bahwa dia juga adalah seorang penyihir. Lebih tepatnya penyihir es. Lagi-lagi rahasia besar yang baru terungkap. Wanita itu penuh dengan kebohongan dari sisi manapun.

Hmm. Sudah pasti dia bukan orang yang bisa dipercaya.

"Aku pulang."

Kulepas sepatu sneakers di rak dekat pintu. Aku naik ke kamar di lantai dua—kamarku. Namun sebelum itu, sebuah suara jatuhnya barang-barang mengalihkan perhatianku. Jelas, suaranya berasal dari ruang makan yang tak jauh dari pintu masuk.

Apa yang terjadi?

Aku masuk ke ruang makan di belakang. Banyak kepingan salju menyelimuti setiap permukaan benda di sini. Kursi, meja, alat makan, maupun dinding semuanya tertutupi kepingan putih dan dingin. Pecahan kaca berserakan di lantai, ada yang terbuat dari keramik ada juga yang transparan. Mungkin saja pecahan ini jadi sumber bunyi tadi. Namun, apa yang terjadi sebenarnya di sini? Bagaimana bisa ruangan ini berubah menjadi seperti iglo?

Seorang wanita berumur kurang lebih 30 tahun duduk di kursi yang dekat dengan kulkas yang kini lebih cocok disebut balok es. Dia diam menghadap ke arahku, arah masuk. Selembar kertas putih berada di genggamannya. Entah berisi apa kertas itu.

"Mom?" Tidak biasanya dia bersikap seperti ini. Semarah apapun dia, dia berhasil menekan kekuatan sihir tersembunyi miliknya agar tidak bocor dan ketahuan. Sedangkan saat ini, dia mengubah ruang makan menjadi wilayah di musim dingin.

"Aku tidak bisa menyerahkannya. Tidak ada yang bisa melindungi putraku dari makhluk kegelapan." Dia meracau tak jelas. Bekas air mata di pipinya jelas terlihat, ditambah air yang masih belum berhenti. Rambut kehitaman miliknya semrawut seakan telah dilewati badai besar.

Haruskah aku meminta maaf padanya? Dia nampak menderita. Mom berubah menjadi seperti sekarang karena rekomendasi sekolah baru dari Miss Claudia.

Ah, tidak. Dia bahkan tak memikirkan putranya yang terasing akibat kekuatan aneh yang sang anak miliki—aku. Bahkan selama ini, dia telah menyembunyikan dua rahasia besar yang mungkin saja bisa menjadi penyelesaian dari semua masalahku. Jika saja dia membiarkanku bertemu dengan Dad, aku tidak akan seperti ini. Kenyataan bahwa aku dan Mom yang sama-sama seorang penyihir es membuatku terguncang. Harusnya jika kami memiliki kekuatan yang sama, dia membimbingku agar makin mahir!

Aku tak harus minta maaf padanya. Dia bahkan telah menyiksaku dengan merahasiakan semuanya.

Aura keputihan menyelimuti kedua telapak tangan, menggumpal menjadi sebuah bola energi padat. Hanya dalam satu ayunan tangan, es yang menyelimuti lemari makanan dingin itu mencair. Lelehan es tidak menggenang di lantai karena membeku lagi oleh kekuatan orang yang lebih dulu membuat ruangan ini menjadi seperti iglo.

"Kau … mewarisi sihirnya?" Dengan suara parau, Mom bertanya. Memang baru kali ini aku menunjukkan secara langsung kekuatanku di depannya. Harusnya dia tidak terkejut karena dia juga adalah seorang penyihir. Inilah yang tak kusuka darinya. Seorang ibu harusnya tahu segalanya tentang putranya.

"Sihir siapa?" Jelas pertanyaan ini sudah kuketahui jawabannya. Siapa lagi jika itu bukan Dad?

Wanita yang berdiam di kursi bangkit dari posisi duduk. Ia mengusap air matanya sendiri dengan tangan. Mom menyerahkan sebuah foto padaku yang langsung kuterima. Foto sepasang suami istri dan bayi yang masih dalam pangkuan sang ibu.

"Dia adalah … Dad?" Seorang pria berambut putih berdiri di samping wanita bergaun biru yang menggendong bayi. Senyuman pria itu lebar, memperlihatkan jajaran gigi putih bersih yang sangat terawat. Hoodie biru langit menutupi badan tinggi besarnya, ditambah celana panjang berwarna cokelat. Mata biru pria itu berkilau terkena cahaya matahari, mata yang sama dengan mataku.

***

Foto yang kupegang masih bersih tak berubah warna meski mungkin sudah berumur sama denganku. Keduanya nampak bahagia, tersenyum di pemandangan salju putih sambil menggendong putra mereka, aku. Kejadian tadi siang mengingatkan pada nasib Dad yang buruk karena melindungi kami—aku dan Mom.

Aku tidak akan membiarkan putraku bernasib sama seperti ayahnya.

Nasib Dad. Entah apa yang terjadi padanya. Dia bukanlah seorang tentara (selain kehidupannya sebagai seorang penyihir), jadi mustahil ia turun ke medan pertempuran. Apa mungkin saja ia diburu para Witch Hunter yang membenci kami para penyihir? Terlebih lagi, Mom sangat ketakutan setelah mendengar nama Avodany dan Kota Vallendorf. Entah berada di benua mana kedua tempat itu.

Aku membalikkan foto Mom dan Dad, melihat permukaan putih kosong tanpa gambar. Sebuah tulisan hitam bersambung rapi di belakang, hal ketiga yang mengejutkan.

Lucky Winterlane Frostio.

Frostio. Ada satu kata lagi di belakang namaku. Satu hal lagi yang disembunyikan oleh Mom dariku.

Air mata perlahan jatuh. Dari lubuk hati, sebenarnya aku tidak ingin membenci ibuku. Siapa yang bisa membenci orang yang telah melahirkanmu ke dunia dan merawatmu hingga jadi sekarang? Namun, bagian hati lainnya bersikeras semua kesalahan ada pada wanita itu. Terlalu banyak rahasia yang ia sembunyikan. Padahal, jika ia memberitahu bahwa dia juga seorang penyihir, setidaknya aku memiliki teman senasib. Kami akan berbagi pengetahuan dan mungkin kekuatanku akan terkendali karena sering dilatih.

Ugh. Hari ini benar-benar hari yang sial.

Jika aku bukan terlahir dari pasangan penyihir, semua kejadian hari ini tidak akan pernah datang menghampiri. Aku tidak perlu khawatir tentang kekuatanku yang terekspos ke luar, tidak bertengkar dengan Mom yang selalu merahasiakan semuanya, dan yang terpenting bisa merasakan kasih sayang seorang ayah.

"Itu mustahil terjadi, Lane." Haah. Benar-benar hari sial bagiku.

Aku beranjak dari ranjang, beralih ke jendela yang gordennya belum ditutup. Seperti biasa, sama seperti malam-malam lainnya, jalanan sudah mulai sepi. Lampu jalan berpijar terang, menggantikan cahaya bulan yang tertutupi awan gelap.

"Oh, man! Really?" Argh. Jendela yang kusentuh baru saja membeku. Entah sampai kapan aku harus bergelut dengan sihir es yang tak terkendali ini? Sebuah keajaiban jika aku bisa mengontrol energi sihir, sama seperti yang terjadi tadi sore. Entah apa yang menyebabkan energiku mudah dikendalikan.

Kali ini aku tidak bisa memakai sihir lagi untuk mencairkan es. Lebih baik menggunakan hair dryer saja.

Setelah beberapa menit, es di jendela telah mencair. Tidak terlalu banyak air yang menggenang, aku tidak perlu repot-repot untuk membersihkannya. Lebih baik aku tidur sekarang, jangan sampai terkena hukuman mengepel lantai lagi.

***

Pagi ini tidak seperti biasanya. Tidak ada mimpi yang mengganggu tadi malam berdampak pada tidur yang berkualitas. Aku tidak perlu terburu-buru untuk berangkat ke sekolah. Masih banyak waktu untuk bersiap dan menyantap sarapan.

Air dingin dan segar membasuh seluruh tubuhku. Sesuatu yang jarang kudapat jika aku terlambat. Setelah mandi, aku mengganti pakaian. Kaus putih dan hoodie biru muda sebagai atasan, celana kain warna cream sebagai bawahan.

Semua peralatan sekolah sudah kusiapkan di dalam tas. Aku turun ke ruang makan, tempat semua makanan telah disiapkan oleh Mom. Anehnya, ia yang kemarin bersedih dan mengamuk kini menjadi lebih tenang. Ia bahkan tidak berbicara sedikitpun.

"Aku berangkat." Aku berteriak sambil menggenggam sepotong sandwich dan menyantapnya sambil jalan. Tentu saja tak ada respon dari ibuku yang kini merapikan peralatan makan di meja.

Keraskan hatimu, Lane. Kau tidak bersalah, kaulah korbannya.

______________________________


Bogor, Minggu, 27 Juni 2021
Bogor, Kamis 09 Mei 2024 (Revisi 1)

Ikaann

The Unlucky Wizard (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang