~EPISODE 5~

764 75 5
                                    

Happy reading❤️

Allisya menangis tiada henti sejak bangun dari tidurnya. Allisya merasa bahwa Elvan membohonginya karena sampai detik ini Elvan belum menemuinya dan ketika Allisya hendak keluar kamar, mendadak pintu terkunci rapat dari luar. Perasaan Allisya menjadi tidak enak, Allisya berpikir jika ada yang tidak beres. Lelaki itu seperti tengah berusaha menghindarinya.

Saat ingin meminta tolong pun Allisya tidak memiliki banyak keberanian. Padahal di rumah mewah nan megah ini terdapat banyak orang, tapi entah kenapa tidak ada salah satu diantara mereka yang menyadari kehadirannya. Orang-orang di rumah Elvan seakan mereka tidak mendengar kabar apa-apa tentangnya, pura-pura tidak melihatnya dan itu sangat aneh.

Allisya menghapus air matanya kasar menggunakan punggung tangannya, kemudian Allisya beranjak dari tempat tidur. Anak perempuan itu berjalan-jalan tidak jelas dengan pandangan kosong. Lalu Allisya berhenti dan menunduk ke bawah, menatap kakinya yang tidak menggunakan alas. Apa ia akan terus terjebak dalam kamar ini?

"Aku mau pulang ..."

Allisya memilih untuk duduk di sofa yang menurut Allisya sangat cantik. Berwarna pink, kesukaan Allisya. Lalu Allisya berbaring, namun Allisya tidak benar-benar tidur. Allisya hanya berbaring dengan pandangan mata lurus ke depan entah sedang melihat apa. Terlihat mata Allisya memancarkan kehampaan yang begitu mendalam.

Tidak lama kemudian Allisya menegakan tubuhnya dan mendekati tempat tidur, tangan mungil nan pendeknya mengulur meraih sebuah boneka beruang berwarna pink. Tidak terlalu besar, namun pas saat Allisya memeluk boneka tersebut. Seluruh benda di ruangan yang sedang Allisya tempati serba pink, hanya dindingnya saja yang berwarna putih, selebihnya semua berwarna pink. Warna pink cocok dengan orang yang memiliki karakter lemah lembut, kasih sayang, dan belas kasih seperti Allisya.

Allisya memeluk boneka itu erat, seperti menyalurkan rasa rindunya pada sang ibu. Ngomong-ngomong perihal ibu Allisya, apakah perempuan itu mengkhawatirkan Allisya? Jawabanya sudah pasti, tidak. Karena ibu Allisya sudah tidak peduli lagi terhadap Allisya. Bahkan sekalipun Allisya mati, perempuan itu tetap tidak peduli. Mungkin saja perempuan itu justru tertawa bahagia karena beban yang selama ini menimpanya sudah hilang untuk selama-lamanya. Adakah seorang ibu yang terkejam lainnya selain ibu Allisya?

Pintu kamar terbuka dan masuklah seorang perempuan berpakaian khas pembantu sambil membawa senampan makanan yang menggugah selera. Sebut saja perempuan itu, Margi.

Margi meletakkan nampan tersebut di atas meja, tersenyum hangat sebelum menghampiri Allisya sembari membawa sepiring makanan yang bergizi ke hadapan Allisya. "Sebaiknya nona makan dulu, saya sudah menyiapkan makan malam untuk nona."

Allisya menoleh dan menatap Margi, lalu ia berkata dengan polos. "Nama aku Allisya, bukan nona. Bibi bisa panggil aku Allisya."

Mendengar hal itu justru membuat Margi tertawa renyah. Selain cantik, anak perempuan itu juga ternyata sangat polos. Pikir Margi.

"Saya tau nama anda, saya hanya mencoba bersikap sopan pada atasan saya. Untuk itu saya memanggil anda dengan sebutan nona."

Allisya menatap Margi tanpa berkedip. Entah kenapa ketika Margi tersenyum padanya, kerinduannya terhadap sosok sang ibu yang sedang berada di rumah semakin menggelora. Sehingga tanpa sadar bendungan air mata yang entah sejak kapan terkumpul kini sudah menetas perlahan membasahi pipi Allisya.

Seketika senyum Margi luntur, berganti dengan raut wajah khawatir. Setelah menaruh kembali piring di atas meja, Margi membawa tubuh rapuh Allisya ke dalam pelukannya. "Maaf saya lancang, tapi saya tau apa yang nona rasakan, saya tidak bisa berbuat apa-apa selain memberikan pelukan hangat pada nona."

Margi seperti tahu apa yang sedang Allisya rasakan dan tampak sekali jika Margi adalah orang yang sangat luwes. Terlihat Margi sudah berpengalaman banyak dalam melakukan hal tersebut.

"Sekarang waktunya makan malam, jika nona tidak suka, saya akan membawakan menu makanan lain. Katakan saja apa yang nona inginkan." jelas Margi sambil mengurai pelukan dan mengusap kepala Allisya pelan.

Margi sudah siap hendak menyuapi Allisya, tapi anak itu justru menggeleng dan menutup mulutnya rapat.

"Sedikit saja nona, nanti nona bisa lapar." Margi tersenyum hangat mencoba merayu Allisya agar membuka mulut.

"Hiks ...  enggak." Allisya menggelengkan kepala.

"Tiga suap saja, habis itu selesai."

Allisya tetap menggeleng dengan wajah yang berurai air mata. Allisya tidak ingin makan, Allisya hanya ingin keluar dari sangkar yang sayangnya mewah ini. Secepatnya.

"Saya mohon nona, nona makan ya? Nanti Tuan bisa marah sama saya kalau sampai nona tidak makan."

"ENGGAK MAU! AKU MAU PULANG!" Margi terkejut karena Allisya tiba-tiba berteriak dengan bibir bergetar juga wajah bersimbah air mata.

"Aku mau pulang hiks ..." tangis Allisya semakin lama semakin kencang. Anak itu terus meminta pulang. Sementara Margi tidak bisa berbuat apa-apa selain memandang sendu ke arah Allisya.

"No-nona, tolong jangan ..."

"Margi, biarkan aku yang mengurusnya." Sosok Elvan tiba-tiba saja muncul dari balik pintu dengan pakaian casual. Postur tubuh Elvan menjulang dengan otot-otot lengan yang tampak jelas di kaus hitam yang ia kenakan.

"Sebaiknya kamu pergi, Margi. Aku yang akan turun tangan mengurus anak nakal itu." Suara Elvan terdengar dingin dan matanya kian menyorot tajam ke arah Allisya.

"Baik, tuan. Saya permisi." Margi langsung mematuhi perintah Elvan. Sebelum pergi, Margi membungkukkan tubuhnya. Lalu menatap Allisya sekilas dengan pandangan sendu dan berlalu keluar kamar.

Elvan bersimpuh di hadapan Allisya. Tangan kekar Elvan mengulur ke depan, mengambil boneka beruang yang sedang Allisya peluk lalu menempatkannya di tempat tidur. Kemudian dengan kekuatan tangannya, Elvan menarik Allisya untuk duduk di pangkuannya. Di tenangkannya Allisya dengan penuh kasih, Elvan runtut mengusap punggung Allisya. Elvan seperti seorang ayah yang menenangkan anak perempuannya yang menangis.

"Lagi-lagi kamu menangis." kata Elvan pelan dan mendesis. "Jangan menangis."

"Allisya ... Allisya mau pulang ..." ucapnya dengan suara bergetar.

"Allisya hiks ... Kangen sama ibu." sambungnya seraya menatap sayu bercampur takut ke arah Elvan.

"Iya, aku tau." balas Elvan sambil mengusap rambut Allisya dengan lembut. Elvan meraih piring yang ada di atas meja, kemudian menyendok sesendok nasi beserta lauk pauk yang ada dan menyodorkan ke mulut Allisya.

Tapi aku enggak peduli -batin Elvan kejam.

"Buka mulutnya!"

Elvan menunduk, menatap Allisya dengan tajam ketika Allisya masih sama menutup rapat mulutnya. Ia sampai mencengkram dagu Allisya membuat anak itu meringis kesakitan.

Allisya menggelengkan kepalanya meronta. Bibir mungilnya terus bergetar sambil merengek meminta pulang yang kian membuat emosi Elvan tersulut.

Prang!
Elvan membanting piring ke atas meja dengan keras sehingga menimbulkan suara.

"JANGAN MERENGEK DAN BERHENTILAH MENANGIS!" Elvan membungkam Allisya dengan membentaknya.

Allisya tersentak, menyembunyikan wajahnya dari Elvan. Allisya buru-buru mengusap kedua matanya yang berair.

"Apa kamu enggak capek nangis terus hm?" tangan Elvan terangkat menyentuh pipi basah Allisya, lalu mengelapinya dengan lembut.

"Aku capek melihatnya, sayang ..."

TBC.

Fyi, umur Allisya 14 tahun.

NightmareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang