"Tak kenal maka tak sayang. Itu kata pepatah.
Tapi kata gue, udah kenal juga belum tentu sayang."_si'eta_
※※※※※※※※※
Berkali-kali Sabilla mengingatkan dirinya untuk selalu mengendalikan emosi saat berada di keadaan yang menekan. Terlebih kasus ini bukan murni urusannya, melainkan Kirana. Gadis yang pagi tadi mengegerkan mereka karena kasus pembulian yang terjadi padanya.
Sabilla benar-benar tak habis pikir, di jaman seperti ini remaja yang baru menetas saja sudah sok-sokan menggunakan taktik keroyokan saat merasa terancam. Apa mereka pikir dengan begitu mereka bisa mendapatkan yang mereka mau? Heh, mimpi saja!
"Jadi lo pelakunya?"
Sabilla yang sedari tadi fokus menapaki tanjakan jalan yang licin akibat gerimis mengangkat kepalanya. Dia seharusnya mengabaikan pemilik suara itu. Tapi apa daya, jalur ini setapak dan satu-satunya jalan yang bisa ditempuh harus melewati sosok pemuda menyebalkan yang sampai saat ini saja Sabilla tak tahu siapa namanya.
"Gue tahu elo bar-bar. Tapi gue tetep nggak nyangka kalau lo juga hilang nurani. Kepuasan apa yang lo dapat dari nindas orang yang sama sekali nggak bersalah?"
Kontan dahi Sabilla mengernyit dalam. Pemuda di hadapanya ini tidak sedang sakau 'kan? Kenapa di setiap pertemuan mereka, dia selalu menjadi yang tertuduh? Jika pemuda yang katanya seniornya ini mau menuntut akibat kenang-kenangan di rahang dan tulang keringnya maka Sabilla bisa mengerti. Tapi ini?
"Jauhi Kirana!"
Pemuda itu berkata seraya mengambil paksa moonie--boneka lumba-lumba milik Kirana dari tangan Sabilla.
"Apa urusan lo?"
"Karena gue berhak. Dan orang asing pengganggu seperti lo nggak pantas untuk berada di dekat Kirana. Jauhi dia selagi gue masih memperingati elo dengan cara sopan."
Pemuda itu berkata pelan, sarat akan kebencian. Bahkan tatapannya pun mengungkapkan hal yang sama. Seolah-olah Sabilla adalah hama tikus yang membahayakan ladangnya dan patut disingkirkan.
Cukup. Ini memuakkan.
"Jika lo memang memiliki kemampuan itu, do it. I dare you," tantang Sabilla. Dia sangat membenci sikap semena-mena. Jika seniornya ini pikir ia adalah GPS yang bisa diatur seenak udel untuk mencapai keinginannya, maka salah besar.
"Lo akan nyesel."
"Gue nggak berbicara tentang karma. Tapi matahari akan selalu terbit dari timur selagi waktu kiamat belum tiba. So let see."
Pemuda itu tak lagi menjawab. Namun tatapan keduanya sama-sama mengibarkan bendera permusuhan. Baik Sabilla atau Amar tidak ingin mengaku kalah apalagi disalahkan.
Sedari awal Sabilla hanya ingin melewati masa SMA layaknya remaja pada umumnya. Membentuk pertemanan serta lingkungan pergaulan yang aman dan nyaman. Hanya saja bukan berarti Sabilla akan membiarkan kesalah pahaman dan suka rela dijadikan bulan-bulanan orang. Tidak. Sabilla tidak akan diam.
People will get what they deserved. Dan Sabila tidak merasa dirinya pantas mendapatkan semua ini.
Dengan langkah pelan Sabilla tiba di perkemahan. Dia langsung disambut teman-teman regunya yang menanyakan kepergiannya tadi, yang dibalas Sabilla dengan senyum tipis.
"Btw, lo di panggil Kak Rama." Zeta memberi informasi seraya mengasongkan akua gelas pada Sabilla. "Ditunggu di tenda panitia katanya."
Sabilla tersenyum berterima kasih. Setidaknya diantara todongan pertanyaan, masih ada yang perduli dan sadar akan tenggorokkannya yang dahaga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tied Up
RandomKisah kita itu bagai jaring. Saling bertautan, menyimpul salur dalam gurat takdir yang tak terbaca. Dipublikasikan @ Juni 2021 ∆∆∆∆∆∆ > Dilarang keras memplagiat, meng-copy paste sebagian atau keseluruhan cerita. > Dilarang dan mohon untuk tidak men...