34. Choose

17 4 4
                                    

And even if your heart beats next to mine
I feel like it's beating half the time
This could be the end of you and I
I'm running out of reasons why

_Torine_

===============

"Jangan macam-macam kalian!"

Peringatan itu Luigi layangkan sebelum dia keluar ruangan bersama Shaka dan Kirana.

Kini tinggalah mereka berdua penghuni di kamar rawat pada salah satu bilik VIP itu.

Amar berdiri di ujung ranjang. Sejak kedatangannya ke kamar ini, belum sekalipun Sabilla mendengar pemuda itu membuka suara. Ditambah tadi dia juga sibuk menenangkan tangis Kirana.

"Bantu gue benerin sandaran, Kak," Sabilla memiringkan tubuh- menunjuk pada bantalan di belakang punggung. Juga sedikit mendramatisir keadaan dengan ringis kesakitan.

Gerakkan kecil yang mengundang kepanikan Amar.

Sebenarnya bisa sih, dia mengerjakan sendiri. Cuman ... sayang kan, kalau Amar hanya nganggur? Mana berdirinya jauh-jauhan. Berasa kayak lagi main peran, antara peserta ujian sama pengawas. Tegangan.

"Sampe kapan mau melototin gue? Nggak pengen meluk?"

Rahang Amar mengetat, kedua tangannya mengepal di sisi tubuh.

"Males ya, meluk gue sekarang? Penampilan pucat ditambah bau orang pesakit-"

Kalimat Sabilla batal tuntas. Kepalanya menubruk bidang keras. Kehangatan lain terasa sewaktu kedua tangan melingkupi bahunya erat.

"Maaf."

Degup jantung yang begitu cepat tertangkap jelas di telinga Sabilla. Belum lagi suara parau menggumamkan permintaan maaf, mau tak mau justru menyeru tanya di hatinya.

Sabilla melepas pelukan. Menarik Amar duduk dan memaksa pemuda itu menatapnya. Sepasang netra almond yang biasa jadi tempat ia menikmati pantulan diri, kini tengah berkaca-kaca.

"Gue bisa paham kalau elo khawatir. Tapi maaf untuk apa?"

"Gue nggak becus jagain elo."

Kelopak mata Sabilla mengerjap pelan. Otaknya mulai menghubungkan tatapan sedih, penuh sesal Amar dengan penyebab kondisinya sekarang. Hingga satu kesimpulan di otaknya, menyebarkan perasaan hangat ke seluruh rongga dada.

Gadis itu bergerak mendekat, mendaratkan satu kecupan ringan di bibir Amar.

"Gue baik-baik aja, Kak. Dan gue juga nggak butuh perasaan yang lo rasain sekarang," ibu jari Sabilla bergerak lembut di atas permukaan pipi Amar. "Tapi sepertinya itu akan sangat berguna kalau dialih pada tindakan lain."

"Lo nggak suka gue khawatirin?"

Dahi Amar mengkerut, gelombang kecil muncul diantara alisnya mendapati gelengan kepala Sabilla.

"Penyesalan lo, gue nggak butuh itu."

"Gue n-"

Jemari Sabilla menghentikan kalimat Amar.

"Bukan salah elo. Dan kalau elo bener-bener nyesel, lo harus mulai ikutin les 'cara bertarung dengan bener', sesuai kata Ayah Shaka."

Sabilla ingat beberapa kali mengeluhkan perkara ini padanya, dan sepertinya kesempatan untuk membuat Amar menurut datang di waktu ini.

"Lo perlu belajar bela diri bukan cuman untuk ngelindingi gue- tapi diri elo, Kirana juga Papa."

Amar bergeming. Tatapannya begitu polos mengarah pada Sabilla. Mirip seorang anak kecil yang mendengarkan ibunya berkata bahwa, sakit suntikan jarum imunisasi itu hanya seperti gigitan semut.

Tied UpTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang