Kalau ada typo, tolong kasih tahu ya. Soalnya suka rabun mendadak kalau sama kesalahan sendiri tuh 😅
Monggo, silakan dibaca ceritanya.
※※※※※※※※※※
"Orang bijak mengatakan, memaafkan dan mengikhlaskan adalah obat manjur berbagai sakit hati serta luka akibat kekecewaan.
Tapi bagaimana jika diri ini tak mengerti bagaimana cara menghasilkan maaf dan ikhlas itu?
Apa hati ini telah rusak?
Atau amarah ini terlalu kuat membelenggu
Hingga mengebaskan hati dari segala percik rasa?"_si Aku_
※※※※※※※※※※
"Lo yakin?"
Deri menarik bibirnya simetris. Gemas sekaligus sebal terus ditanyai perihal sama sejak mereka membelokkan mobil ke luar dari iring-iringan mobil keluarga, hingga kini keduanya telah berdiri di sebuah gerbang pemakaman.
"Lo tanyain itu terus takut gue tinggal apa gimana?"
Sabilla menggeleng, "Gue takut lo pingsan. Repot. Badan lo gede."
Deri terdiam, matanya tak lepas menatapi gadis yang kini menyembunyikan kepalanya di balik hoody putih. Pemuda itu lalu mengulurkan tangan kanannya.
"Apa?"
"Genggam tangan gue. Katanya lo takut gue pingsan 'kan?" tanya Deri dengan smirk menyebalkan, yang sialnya malah menaikkan kadar ketampanan pemuda itu.
"Ayo genggam, Sa. Nanti gue pingsan loh."
Kampret!
Mendengus kasar. Sabilla menghentak kaki melangkah lebih dahulu. Membiarkan pemuda di belakang sana puas menertawakannya.
Beberapa meter mendekati pusaran yang di tuju, mendadak kehangatan menyelimuti tangan kiri Sabilla.
"Gue butuh, dan gue rasa dia juga bakal senang melihat putra putrinya gandengan tangan akur saat datang menjenguk," kata Deri ketika sepasang netra mereka bertemu.
Sabilla tersenyum, turut mengeratkan tautan tangan mereka sebelum kembali mengayun langkah. Dibanding mengingat betapa tidak sukanya Gritte terhadap Deri semasa hidupnya, Sabilla lebih menyukai dan setuju dengan pemikiran yang pemuda ini cetuskan.
"Hai, Ma," sapa Sabilla berjongkok, mengelus nisan bertuliskan nama Gritte Pamela. Wanita yang amat dia hormati sekaligus sayangi. Sosok wanita tangguh yang rela menukar nyawanya sendiri demi ia.
"Maaf, Sa, baru nemuin Mama lagi. Gimana di sana? Mama pastinya bahagia kan? Soalnya gak perlu ngalamin yang sakit-sakit lagi."
Sabilla membasahi tenggorokkannya yang terasa kering. Susah payah mempertahankan suaranya agar tidak bergetar.
"Oh iya, aku ke sini sama Deri, putra Mama yang hebat. Deri bilang dia rindu Mama, tapi gak berani ke sini sendirian-- agak pengecut emang."
Sabilla tertawa pelan ketika Deri menyikutnya.
"Nanti kalau Mama berkunjung ke mimpi dia, bilangin dia harus lebih berani ya, Ma. Malu gitu sama badan."
Sabilla diam memandang dalam setiap aksara yang tertera di nisan itu, mengelusnya bagai tengah mengelus wajah Gritte.
Sasa kangen dan sayang Mama. Selalu.
Setelahnya Sabilla berdiri, menepuk bahu Deri lalu menjauh dari sana. Bukan karena dia takut merasa iri. Hanya ingin membiarkan Deri menghabiskan waktu lebih leluasa bersama sang Mama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tied Up
AcakKisah kita itu bagai jaring. Saling bertautan, menyimpul salur dalam gurat takdir yang tak terbaca. Dipublikasikan @ Juni 2021 ∆∆∆∆∆∆ > Dilarang keras memplagiat, meng-copy paste sebagian atau keseluruhan cerita. > Dilarang dan mohon untuk tidak men...