07. Jedag Jedug

43 10 40
                                    

"Tuduhan, debat dan pertikaian menjadi salam perkenalan mereka. Tanpa bisa keduanya membedakan benang permusuhan atau justru benang ketertarikan kah yang menjerat mereka?"



※※※※※※※※※※※


"Pak, Pak, tunggu bentar! Jangan ditutup dulu!"

Sabilla melompat turun dari motor dan berlari ke arah gerbang. Serudukan langkahnya mengadu cepat dengan gerakan satpam penjaga gerbang yang menatap galak.

"Selamat pagi, Bapak! Semoga harinya menyenangkan!" Tubuh Sabilla yang memang ramping berhasil menyelinap di sela gerbang. Sebelum kemudian bunyi "trang!" menandakan gerbang itu tertutup sepenuhnya.

"Sa, helm!"

Teriakan Deri membuat Sabilla yang sudah berlari jauh melakukan U-turn dadakan seraya mencoba melepaskan helm di kepala. Dia melihat tak ada tanda-tanda Pak satpam akan memberi jalan, jadi tanpa pikir panjang dia melemparkan helm melewati gerbang tinggi itu.

Cengiran lucu Sabilla lemparkan pada Pak satpam yang berkecak pinggang mengomelinya. Ia memberi hormat sekilas sebelum kembali lari.

"Sial!" Sabilla melempar asal tasnya pada pintu kelas terdekat. Dia sudah tidak ada waktu. Para siswa sudah mulai berbaris di lapangan, pertanda upacara siap di mulai.

Terima kasih pada Deri sudah memperingatinya sejak semalam untuk menjejalkan atribut sekolah paling penting saat hari Senin. Topi. Hingga ia bisa selamat meski sempat diteriaki kakak senior karena menerobos barisan.

Waktu berjalan lambat, bendera baru selesai dikibarkan ketika gerimis mengguyur deras sampai akhirnya upacara terpaksa dibubarkan. Walaupun berjalan dalam keheningan, Sabilla tahu pasti seluruh siswa ini tengah bersorak gembira karena tidak perlu lama berdiri.

"Ngapain di kelas gue?"

Sabilla baru saja berhasil mengambil tas dan hendak keluar, namun sosok pemuda yang diberi gelar ujung tombak Gandari ada di hadapannya. Avery Danadyaksa.

Gadis itu menggigit ujung lidahnya, berpikir keras mencari alasan. Sayang konsentrasinya langsung buyar saat wajah tampan yang biasanya terlihat mulus, hari ini terhias memar dan luka sobek di bibir.

"Muka lo--Ah, maksudnya itu, tadi saya titip tas di kelas ini, hehe." Sabilla tertawa garing, "Kalau begitu saya permisi, Kak!"

Avery hanya menatap datar gadis yang berlari keluar kelasnya itu. Berselang kemudian suara gaduh bersama sumbernya muncul di muka pintu.

"Demi apa, gue di seruduk dedek cantik sampe mental tembok?"

"Tanda buruk, Tan. Buru-buru ruwatan sana!"

"Nggak perlu. Gue minta nomornya aja. Siapa tahu pip pip pip calon mantu Mama gue." Ethan cengengesan.

"Susah emang kalo jelmaan siluman buaya." Windu menyahut malas, "Nggak bisa li--Eh, Bapak Avery! Dari mana lo nggak ikut upacara?"

"Motor mogok." Usai menjawab singkat, Avery berjalan menuju meja paling belakang. Tak lagi ada yang mengajukan tanya, mereka tidak menuntut jawaban atas luka-luka itu. Mereka tahu tabiat sahabatnya yang tak akan mengumbar masalah pribadi pada mereka. Selagi pemuda itu masih tetap hadir di hadapan mereka artinya dia masih baik-baik saja.

Beberapa saat kemudian, Amar berjalan memasuki kelas. Melemparkan minuman botol pada Windu dan Ethan. Berkah tahun ajaran baru, mereka disatukan dengan Amar. Meski kadang mulut pemuda itu sepedas sambal lado, tapi dia juga lah yang paling gampang dimintai gratisan juga pertolongan.

"Gue baru inget," Windu mengamati Amar lalu beralih pada Ethan. "Lo, Tan. Kalau mau dapetin cewek tadi, saingannya berat. Itu cewek kan udah di tandain Amar."

Tied UpTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang