What we eat

114 19 4
                                    

Part 8

-broken-

"Hyung!"

Lama sekali sampai akhirnya Jooheon menjawab dari seberang telpon. Changkyun lumayan terlatih untuk sabar. Jooheon menjawab dengan 'ya' yang begitu pelan. Changkyun lebih senang membayangkan sekarang ini Jooheon tengah tersenyum.

"Aku akan masak makan malam, kau mau apa?"

Terdengar krasak-krusuk yang begitu menjengkelkan. Suara kertas dibolak-balik, seseorang berseru memerintahkan seseorang menyalakan lampu, lalu suara derit kursi yang diseret. "Kau pulang 'kan?" Changkyun harap-harap cemas.

"Maaf Kyun," Jooheon menjeda sejenak. "Aku sibuk sekali di kantor hari ini. Kamu makan duluan saja. Tidak perlu memasak untukku—"

"Kau akan makan di mana? Jangan terlalu sering makan di luar, kau punya sakit lambung. Jangan minum kopi selarut ini, kau paham?"

"Kenapa kau menjadi secerewet ini, hm?" Jooheon terdengar mengeluarkan kekehan geli, tapi di telinga Changkyun itu terdengar sumbang. Dia mungkin berpikir, mencibir lebih tepatnya, apa yang Changkyun lakukan ini tidak lebih dari omong-kosong.

Lagi. Ada keheningan yang panjang antara Jooheon dan Changkyun. Di sekeliling Jooheon, masih terdengar orang-orang sibuk dengan pekerjaan mereka. Di sekeliling Changkyun juga sama, dia tengah berdiri di dalam supermarket yang ramai.

"Minta Dior memasak untukmu!" Changkyun tidak mengerti mengapa dia mengatakan kalimat itu. Dia baru saja melempar pisau ke atas, kemudian dia dengan sukarela menadah di bawahnya. Dasar tolol.

"Changkyun, maafkan aku."

"Tidak perlu." Tidak perlu meminta maaf. Setidaknya kini mereka imbas. Changkyun bermain, Jooheon juga bermain.

Dua bedebah ini memang bodoh. Jooheon mengakhiri panggilan setelah mengucapkan selamat malam. Dasar, bahkan ini masih sore. Sedangkan Changkyun, dia mengambil dompetnya kemudian meninggalakn troli yang berisi belanjaan begitu saja. Biarlah orang mencibir, karena Changkyun memerlukan alasan untuk menangis sore ini.

Dia bertemu dengan dua sahabat -teman buluknya- Yoo Kihyun dan Chae Hyungwon. Dua manusia itu, ketika Changkyun datang ke bar di mana mereka biasa bertemu, keduanya tengah sibuk berdebat. Tentang mengapa selai blueberry lebih asam dari selai strawberry. Selain mereka, adakah yang peduli? Itu hanya masalah dirasakan oleh lidah siapa.

Chae Hyungwon yang pertama sadar wajah keruh Changkyun. "Wow," bisiknya mengejek. "Apa kini dewi fortuna meninggalkanmu?"

Kihyun menuang minuman di gelasnya sembari menyeringai. "Atau karma sudah memakanmu."

"Aku tidak percaya hal bullshit seperti itu."

Kihyun sejenak menikmati sekacau apa wajah Changkyun saat itu. Dia tersenyum seperti pendeta tua yang tahu masalah seluruh jemaahnya. "Setidaknya itu masuk akal untuk kondisimu sekarang."

Changkyun memandang wajah pria yang sedikit lebih besar darinya. Mengamati wajahnya yang tidak ingin menggurui tapi sudah seperti pendeta di gereja. Changkyun kira dia bisa melarikan diri dari rasa sakit yang dia rasakan. Tapi sepertinya kali ini juga gagal. Dua temannya ini tidak sepenuhnya bisa diandalkan.

"Jika ini tentang suamimu lagi." Hyungwon menatapnya sendu. "Kali ini, mengalahlah lagi."

"Mulutmu," seseorang mencibir, dan itu adalah Kihyun. Tidak perlu waktu lama, dua orang itu kembali berdebat. "Mudah sekali kau bilang mengalah. Memangnya Changkyun tidak punya hati."

"Lalu kau mau pernikahannya hancur? Pikir!" cibir Hyungwon.

"Dia tidak akan bernasib naas sepertimu jika dia nanti bercerai dengan suaminya."

Excruciating [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang