What we lost

79 20 4
                                    

Part 13

-vivid dream-

Jooheon akhirnya menuruti permintaan ayahnya. Sebesar apapun rasa marahnya pada pria paruh baya itu, Jooheon tidak bisa memungkiri jika pria itu tetaplah ayahnya. Menghela napas dengan berat, akhirnya dia membuka pintu. Jooheon tentu mempunyai kunci rumahnya, rumah ini juga miliknya.

Jika saja dia masih baik-baik saja, Jooheon tidak akan ragu untuk pulang. Tempat ini adalah tempat yang nyaman. Dia senang duduk di halaman belakang, berteman secangkir kopi dan memandangi patung dewa yunani. Jooheon senang berkutat di dapur dengan Changkyun meski dia terlihat sekali canggung.

Dan dia sekarang berpikir untuk menghentikan kebiasaan buruknya menyalahkan Changkyun untuk semua hal yang terjadi. Jika saja dia bisa bertahan, menunggu lebih sabar, pastinya hasil dari semua ini sangatlah berbeda.

Tapi setiap kali Jooheon mengingat apa yang sudah Changkyun lakukan padanya, dia merasa marah. Kemarahan yang tidak bisa ditahannya lagi.

Dia seolah bisa melihat bagaimana dua orang yang dia kenal bermain di belakangnya, hanya karena mereka belum siap untuk saling terbuka. Jooheon merasa sangat dipermainkan, tapi dia juga sadar jika caranya membalas Changkyun tidak pantas.

Rumah itu terlihat jauh lebih berantakan. Bungkus bekas makanan berserakan di ruang tengah. Dia bisa melihat gelas wine yang penuh puntung rokok, puluhan botol alkohol kosong yang dijejalkan begitu saja di sudut ruangan, dan pakaian kotor di lengan sofa yang berbau apak.

Jooheon meringis prihatin, tidak bisa membayangkan sehancur apa Changkyun ketika surat perceraian itu sampai di rumah ini.

Memberanikan diri, Jooheon mengintip ke ruang kerja milik Changkyun. Dan entah mengapa ruangan itu terlihat sepi dan berdebu, seolah tidak pernah disinggahi untuk waktu yang lumayan lama. Apa mungkin sejak sebulan mereka berpisah, selama itu pula Changkyun mengabaikan kenyamanan hidupnya sendiri.

Dia kemudian dikagetkan oleh suara benda jatuh dari arah dapur. Jooheon kira Changkyun akhirnya sadar dia datang, tapi dapur terlihat kosong. Wastafel penuh oleh piring dan peralatan makan yang kotor, Jooheon memastikan jika dia memang melihat lalat mengerubungi wastafel dan bak sampah.

Lalu dia mendengar langkah kaki yang tidak stabil dari arah tangga. Tidak membutuhkan waktu lama, Changkyun mulai terlihat. Dia mengenakan baju kaos hitam kebesaran yang Jooheon kenali sebagai miliknya. Changkyun ternyata mengenakan pakaian Jooheon, juga -pastinya- menyemprotkan parfum miliknya.

Pandangan Changkyun tidak fokus, wajahnya pucat dan bibirnya membiru.

Jooheon kelu di anak tangga terbawah. Mengamati setiap langkah yang Changkyun buat dan tanpa sadar menahan napas. Bohong jika Jooheon tidak merindukan Changkyun. Bahkan hanya sehari, Jooheon tidak bisa menyingkirkan bayangan Changkyun, kelebat langkahnya yang buru-buru, senyum kecilnya, dan caranya berdiri di ujung ruangan mengintimidasi agar Jooheon segera beranjak dari kursi kerjanya untuk makan malam.

Sungguh, Jooheon merindukan semua itu. Tapi apa mereka ini? Tidak lebih dari orang asing yang memutuskan untuk -sekali lagi- lari dari kenyataan yang harus mereka bereskan.

Jooheon tahu apa pun yang dia lakukan tidak menyenangkan Changkyun. Kebiasananya sering kali bertolak belakang dengan Changkyun sehingga dia selalu merengut jengkel pada akhirnya.

Keputusannya adalah membiarkan Changkyun pergi. Begitu pada awalnya.

Dia membutuhkan waktu yang lebih lama, atau barangkali Changkyun terlalu mabuk -sakit- sehingga tidak menyadari jika Jooheon memang ada di sana. Changkyun melewatinya begitu saja sambil bergumam tidak jelas.

Excruciating [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang