What we see

137 31 0
                                    


Part 4

-Prolog 4-

Seseorang pernah bertanya kepada Changkyun, jika dia merasa muak pada pernikahannya, mengapa dia masih mau bertahan?

Jawaban Changkyun terdengar konyol bagi sebagaian orang. Changkyun hanya tidak mau menjadi gila. Dulu, ketika ayah dan ibunya memutuskan untuk bercerai, dia melihat sendiri bagaiman perpisahan itu membuat keduanya gila, tapi bodohnya mereka sama-sama kukuh untuk pergi.

Hak asuh Changkyun jatuh ke tangan ibunya. Setiap hari yang dia lihat adalah bayangan seorang perempuan kurus kering yang menderita bersama seorang anak remaja naif. Setiap kali Changkyun membawa nama ayahnya, ibu menjadi sangat marah. Tapi Changkyun tahu ibunya yang paling menderita terbukti dari betapa buruknya dia terlihat sejak saat itu.

Selama beberapa tahun, tidak sekalipun Changkyun paham kenapa mereka memutuskan untuk berpisah jika mereka sama-sama tahu bukan itulah yang mereka inginkan. Seolah tidak ada pilihan lain yang lebih baik. Para tetangga terus berbisik-bisik dan rasa malu dari hal itu juga dirasakan oleh Changkyun.

Ketika ayahnya muncul lagi, itu adalah hari pemakanan ibunya. Pria yang dia pikir hidup dengan baik justru terlihat seperti mayat hidup. Dia menangisi kematian ibunya dan membawa Changkyun pergi.

Ayahnya gila oleh rasa malu dari perceraian. Dan demi apapun Changkyun tidak ingin dicap sebagai orang gagal sama seperti orang tuanya. Kedua orang tuanya sudah cukup menjadi ilustrasi bagi Changkyun dalam menyikapi pernikahan.

Dalam dunia pernikahannya sendiri, dia memang ingin tahu apa yang Jooheon pikirkan. Entah sejak kapan, dia memiliki keinginan untuk mengenal suaminya lebih dekat. Bicara dengannya, lalu melakukan hal menyenangkan dengan sukarela.

Lalu keberanian Changkyun tumbuh begitu besar sehingga dia berani bicara lebih dulu.

"Ayo kita sepakati beberapa hal."

Pada kehidupan biasanya. Changkyun dan Jooheon hidup dalam batasan-batasan. Ada sesuatu yang harus mereka lakukan bersama, entah dengan kepura-puraan atau tulus dan ada bagian yang tidak mereka campuri. Changkyun bisa mengatakan makan adalah salah satunya.

Mereka jarang menggunakan meja makan bersama. Entah itu karena Changkyun yang bangun dan makan lebih awal, atau Jooheon yang memutuskan untuk makan di kantor agensi.

Tapi ini akan menarik, pikir Changkyun. Jooheon kelihatannya juga memiliki beberapa ide yang sama. Rasanya memang aneh hidup bersama tapi apa-apa selalu sendiri.

"Ayo memasak dan makan bersama mulai hari ini."

"Tidur di kamar yang sama?" Jooheon mengajukan pertanyaan yang juga sempat Changkyun pikirkan, maka dia menjawab dengan yakin. "Bukan masalah."

Itu bukan perbincangan yang memerlukan waktu lama. Mengalir begitu saja seolah keduanya sudah lama saling mengenal dan merencanakannya jauh-jauh hari. Langkah awal yang mereka ambil adalah pergi ke dapur. Jooheon dan dirinya memiliki keterampilan memasak yang cukup baik dan syukurnya memiliki selera masakan yang mirib. Tidak sulit bekerja sama di sana. Selain itu, Jooheon terlihat lebih berani dari biasanya. Dia mengangkat sebuah topik dan keduanya mulai hanyut dalam perbincangan.

Bagaimanapun, ini masih permulaan. Jadi sedikit pura-pura bukan masalah besar. Seharusnya mereka memulai langkah seperti ini sejak awal.

Ketika Changkyun memberanikan diri untuk menatap wajah suaminya, dan pria itu membalas tatapannya, Changkyun rasa bukan ide yang buruk jika mereka sama-sama membuka diri. Dia pikir, dia dan Jooheon bisa bersama merajut doa dan harapan untuk masa depan mereka.

Setidaknya, mereka belum terlambat untuk memulai sebuah perubahan.

Changkyun akui, hari-hari setelah perbincangan itu, semuanya menjadi lebih ringan. Dia mulai menikmati paginya bersama Jooheon di dapur. Meski pada awalnya dia hanya bisa mengambil langkah-langkah kecil, seiring berjalannya waktu dia dan Jooheon mengenali tugas masing-masing. Bercanda seolah tidak ada hal lain yang mereka miliki.

Jooheon terlihat lebih santai. Lebih mudah mengekpresikan diri setelahnya. Dia tanpa ragu mengingatkan, juga membiarkan Changkyun menyelesaikan bagiannya.

Sekilas, mereka terlihat sebagai sebuah keluarga yang harmonis. Pertemuan mereka bukan lagi seperti bayangan di cermin. Changkyun berharap, drama ini berjalan selamanya. Dia bukannya bodoh, setidaknya dia sadar usaha keras macam apa yang dia keluarkan untuk sekedar menerima apa yang Jooheon lakukan, dan dia tahu Jooheon juga melakukan hal yang sama.

Mereka berdua sadar akan hal itu. Sebisa mungkin Changkyun tidak terlalu menekan Jooheon, dia berharap Jooheon juga melakukan hal yang sama.

Ada bagian dimana mereka masih sama-sama meraba dengan hati-hati. Takut jika salah langkah maka babak awal yang mereka bangun runtuh begitu saja. Hubungan seks menjadi salah satunya. Changkyun tahu setiap kali dia membahas hal itu, Jooheon terlihat tidak yakin. Penolakan halus yang dia lakukan masih saja menyakiti Changkyun. Tapi tidak apa-apa.

Jooheon dan dirinya tengah berusaha mengisi peran masing-masing.

Selama beberapa waktu. Mereka akan terbiasa.

Changkun mulai mengenali kebiasaan Jooheon. Salah satunya adalah kopi yang bisa menjungkir-balikkan mood pria itu. Jooheon memang lebih terbuka sekarang. Jika dia merasa marah, maka dia akan menunjukkannya secara gamblang. 

Changkyun menjadi yang bertanggung jawab dengan kopi di pagi hari. Ketika dia sudah di dapur, biasanya Jooheon baru saja bangun dan 'terbiasa' mendapati Changkyun telah menyiapkan kopi. Sampai pagi itu Changkyun sedikit keliru.

Dia melupakan kopi itu di atas meja dapur dan mengira dirinya telah menyajikannya untuk Jooheon. Changkyun mengira paginya berjalan seperti biasa sampai Jooheon tidak menanggapi apa yang dia katakan. Menyadari ada yang salah, bertanya justru mengundang pria itu untuk marah-marah.

Jooheon mulai menemukan banyak hal yang salah. Potongan sayur yang terlalu tebal, nasi yang keras, dan telur yang kekurangan garam.

Sampai dia berangkat bekerja, dia mengabaikan Changkyun. Sebenarnya Changkyun tidak terlalu mengharapkan terima kasih, tapi dia 'terbiasa' mendengar Jooheon mengucapkan terima kasih untuk sarapan yang Changkyun buat meski dengan rasa yang lebih mengerikan dan juga kecupan di dahinya.

Baik. Kopi menjadi hal wajib untuk Jooheon di pagi hari dan Changkyun tidak akan melupakannya lagi. Dia tidak mau paginya yang dia rencakanan dengan bahagia justru menjadi mimpi buruk seperti ini.

Di hari lain, Changkyun memang tidak terlalu memperdulikan dirinya sendiri ketika kepalanya sibuk dengan pekerjaan. Jooheon jarang makan siang di rumah dan karena Changkyun merasa terlalu malas untuk makan sendiri, dia meraih apapun yang setidaknya membantunya hingga makan malam. Dia menemukan keju di dalam kulkas. Tanpa pikir panjang dia memakannya denga dua lembar roti tawar. Tidak ada yang salah dengan itu, sampai dua jam kemudian Changkyun tidak bisa bernapas.

Dia tidak bisa memikirkan apa kiranya yang salah. Jooheon datang beberapa menit kemudian dengan panik. Jika saja Changkyun tidak sekarat, dia akan tersentuh dengan cara Jooheon membantunya. Wajah pria itu pucat karena ketakutan. Dia menyentuh Changkyun dengan hati-hati, mengajaknya terus bicara sampai mereka tiba di rumah sakit.

Samar-samar Changkyun mendengar Jooheon menyalahkan dirinya sendiri. "Harusnya aku tidak menyimpan keju di rumah."

Akhirnya dengan itu Changkyun sadar tindakan ceroboh apa yang dia lakukan. Dia sendiri lupa jika dirinya alergi keju dan Jooheon bahkan menyalahkan dirinya sendiri untuk itu. Changkyun merasa, dia harus menjaga dirinya sendiri mulai sekarang. Melihat Jooheon panik bukan hal menyenangkan. Jika seandainya Changkyun benar-benar mati, apa yang akan Jooheon lakukan?

Dia akan menjadi pria bodoh kesepian. Lalu, mungkin menjadi gila karena rasa bersalah. Mungkin saja.

Changkyun tersenyum sekilas. Memiliki Jooheon ternyata bukan hal buruk. 

-

-

-

-

-

tbc

Excruciating [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang