What we lost

83 19 0
                                    

Part 14

-brave-

Changkyun merasa dirinya sudah tidak waras.

Ketika dia bangun, tanpa Jooheon di sampingnya. Dunia sekali lagi menggelap. Bahkan jika sebelumnya Changkyun masih meyakinkan diri pantas bernapas. Kini, semuanya terasa percuma.

Hari berlalu seperti lava panas.

Dia tidak lagi mengenali siapa yang dia lihat ketika bercermin.

Changkyun tidak ingin pernikahannya hancur. Sama sekali tidak ingin. Ketika dia memutuskan untuk mempertahankan pernikahannya, dia akan melakukan apapun termasuk membuka hatinya untuk Jooheon. Memaafkan kesalahannya dan belajar mencintainya.

Dia sampai pada satu keputusan. Dia akan melakukan hal terakhir yang mampu dia pikirkan dengan sisa-sisa kewarasannya.

Hari itu, dia tidak boleh terlihat putus asa. Dia adalah pejudi dengan modal berlimpah, maka dia memastikan wajah dan penampilannya layak diacungi jempol. Tidak sulit menemukan Jooheon ketika ayah mertuamu adalah jendral perang di sisimu.

Jooheon ada di apartemennya. Tempat yang baru kali ini Changkyun kenal. Bagusnya, Jooheon tidak tinggal bersama Dior.

Suaminya pasti sudah tahu kedatanganya Changkyun. Dia sendiri yang membuka pintu dan sama sekali tidak terlihat kaget. Dia membiarkan Changkyun masuk, membiarkan dia duduk dan menunggu sampai Changkyun yang lebih dulu bicara.

"Sudah kuputuskan," ujar Changkyun. Dia mengeluarkan amplop coklat yang tiba di rumah hampir lima minggu yang lalu. "Aku menolak." Changkyun yakin dia punya hak untuk menolak perceraian ini.

"Changkyun."

"Jangan memberiku omong kosong," tukas Changkyun. Dia menarik napas. Merasa buruk karena lagi-lagi gagal menahan diri. Dilihatnya Jooheon yang masih menunggu. Dia memiliki kontrol diri yang bagus, dia bersabar mengahadapi Changkyun. Dan kemana saja Changkyun selama ini sampai tidak sadar jika Jooheon tidak hanya pria berotak kecil?

"Aku tidak bisa melihatmu menikah dengan orang lain. Aku tidak bisa melihat pernikahanku hancur."

"Changkyun."

"Kau tetap bersamaku, atau kau biarkan aku mati." Changkyun menggigit lidahnya. "Maafkan aku, tapi aku ... aku menyukaimu. Kau pasti berpikir aku berbohong, tapi aku tidak bisa melihatmu dengan orang lain."

Jooheon terlihat frustasi. "Changkyun, dengar. Kau salah paham."

Apa lagi? tanya Changkyun. "Aku mengerti apa yang kau maksud. Kau mencintai Dior 'kan? Kau ingin dia menjadi istrimu, dan aku tidak akan membiarkan itu terjadi."

"Changkyun."

"Jooheon, tidak bisakah kita memulai dari awal lagi? kali ini aku akan mengalah, aku akan belajar."

Jooheon memandangnya. Dia sepertinya tengah berpikir, menerima atau menolak tawaran yang Changkyun berikan. Bukankah dia juga menyukai Changkyun? Dia menyukai hal-hal kecil tentang pria itu, tapi dia tidak tahu harus menyebutnya dengan apa.

Mereka hanya perlu sedikit waktu. Polesan perbaikan. Bukankah semudah itu?

"Changkyun. Ini bukan hanya tentang pernikahan. Sumpah di depan Tuhan memang tidak sepele, tapi siapa yang mau hidup seperti ini? ini tentang komitmen panjang. Aku tidak bisa menjamin bisa mengubah kebiasaan yang tidak kau sukai. Ada waktu dimana aku perlu kamu di tempat-tempat tertentu dan aku tahu kamu tidak suka di sana."

"Jadi ini bukan karena aku dan Minhyuk atau kamu dan Dior?"

Jooheon menggeleng. "Sebelum aku kembali dengan Dior, sebelum aku tahu kamu dengan Minhyuk, aku memang ingin melepasmu."

Harapan kecil tumbuh dalam hati Changkyun. "Ini yang terbaik untukmu?"

"Ini yang terbaik untukmu," sahut Jooheon. "Kamu bisa pergi dariku. Memulai kehidupanmu yang baru. Tidak perlu memaksa memperbaiki, biarkan saja seperti ini."

"Kamu egois," sungut Changkyun. "Tidak perlu berbelit-belit. Katakan saja kau tidak menginginkan aku lagi. Intinya begitu 'kan? Kau mengungkit perasaan belakangan ini. Aku mencintaimu atau tidak. Sudah aku katakan jika aku mencintaimu, tidakkah itu cukup?"

"Jangan berbohong."

"Aku tidak berbohong. Jika aku senang kau pergi untuk apa aku mengemis padamu seperti ini?"

Jooheon tidak percaya Changkyun berubah. Mereka menikah untuk waktu yang cukup lama, saling menusuk dari belakang. Mencoba menangkap ekor masing-masing dan bersorak menang. Tidak mungkin waktu beberapa bulan bisa merubahnya sejauh ini.

Bukan salah Jooheon jika dia berpikir Changkyun hanya memainkan kartu lain dari koleksinya agar berhasil mempertahankan pernikahannya. Pernikahan yang menurutnya pantas diselamatkan.

Jooheon tidak mau kembali ke pernikahan itu, dimana yang dia temui setiap hari adalah wajah nelangsa Changkyun ketika berhadapan dengannya. Changkyun yang mengeluh kenapa harus ada kopi di rumah, kenapa harus suara decakan itu dan masih banyak lagi.

Apa dia tidak mengerti jika Jooheon tengah berusaha menyelamatkannya dari sifat buruk Jooheon?

"Apa arti pernikahan bagimu, Changkyun?"

"Ak..." lidah Changkyun tergigit. Dia tidak memikirkan sejauh ini. Dia tidak tahu. Baginya, pernikahan adalah tempat yang bahagia. Sama seperti ayah dan ibunya ketika mereka masih bersama. Changkyun juga ingin mengecap rasanya.

"Siapa aku bagimu?"

"Suamiku," lirih Changkyun. Dan kemudian dia berpikir, apa hanya karena dia suami maka Changkyun harus mempertahankan dia? Apa bedanya jika Changkyun bercerai dan kemudian menikah lagi.

Melihat Changkyun tidak bisa menjawab, Jooheon merasa iba padanya. Changkyun pasti tidak memiliki ide apa yang tengah terjadi. Apa yang tengah dia perjuangkan. Dia meraih bahu Changkyun, kembali merasakan simpati untuknya. Dia memeluk tumbuh kecil itu, mengusap punggungnya dengan lembut. Sama seperti yang dia lakukan ketika dia pulang ke rumah beberapa hari yang lalu. Dia memeluk Changkyun karena merasa simpati. Dia tidak seharusnya mengikat pria ini dan membuatnya tersesat sejak awal.

"Ayo akhiri saja semua ini Changkyun."

Akhiri rasa sakit ini. Ayo menyembuhkan diri dan berhenti bermain peran.

"Kita masih punya hari esok."

-

-

-

-

-

TBC

Excruciating [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang