What we eat

122 23 2
                                    

WHAT WE EAT

Part 2

- another day-

Sepanjang hari ini, yang berhasil Changkyun lakukan adalah duduk di depan komputernya, di dalam ruang kerja yang dia penuhi dengan rak-rak tinggi dan single sofa di pojok ruangan.

Speaker di samping mejanya melantunkan musik lembut yang dia maksudkan untuk membantunya berkonsentrasi, tapi dia malah tenggelam dalam rasa kesepian. 

Menjadi seorang penulis memang tidak mudah, bahkan ketika kamu membawa pekerjaan itu sebagai lelucon yang mengisahkan kehidupan orang lain. Kadang kala Changkyun menemukan dirinya tenggelam pada kisah-kisahnya, sepotong demi sepotong tanpa bisa dia rangkai menjadi satu kesatuan. Harapannya kian menumpuk semakin hari tapi tangannya tidak bergerak sebagaimana yang Changkyun inginkan, sehingga lagi-lagi tulisannya sepanjang hari ini tidak lebih dari catatan acak.

Changkyun merasa lelah.

Dia mengalihkan pandangannya dari layar komputer, mengamati jendela di depannya yang menghadap ke halaman belakang. Dia bisa melihat jejeran tanaman pakis, anggrek dalam pot tanah liat dan patung dewi yunani di sana. Dia tidak menikmati pemandangan itu, nyatanya yang dia lakukan adalah meredakan rasa perih di kedua matanya.

Kemudian dia kembali teringat isi email yang dia terima pagi tadi. Bukan candaan, tapi Changkyun tertawa ketika membacanya. Menertawakan betapa buruknya dia dalam bekerja belakangan ini.

Deadline benar-benar membuatnya sekarat, dan editornya yang cerewet tidak pernah lupa mengubunginya dua jam sekali. Hal itu tidak membuat Changkyun terdorong untuk bekerja keras, dia malah merasa semakin tertekan dan belakang kepalanya mulai terasa nyeri.

Belum reda rasa perih di matanya, Changkyun dikagetkan oleh suara gemuruh hujan. Dia mendekat ke jendela, mendongkak ke atas. Langit terlihat gelap karena mendung, Changkyun juga bisa melihat tetesan air yang mulai jatuh. Dia yakin sebentar lagi akan segera turun hujan lebat.

Seketika ingatan tentang pakaian yang dia jemur pagi tadi menyentaknya. Dia berjalan tergesa keluar dari ruang kerja, berbelok menuju dapur dan melesat keluar dari pintu samping. Changkyun bahkan tidak sadar jika dirinya bertelanjang kaki. Rumput yang baru saja dipotong menusuk-nusuk kakinya. Lengannya dengan segera penuh oleh pakaian. Betapa bodohnya, dia tidak mengambil keranjang di ruang laundry.

Ketika sedang sibuk dengan cuciannya, Changkyun tentu tidak bermaksud untuk melirik ke gerbang depan. Dia hanya tanpa sadar menyadari sesuatu tertangkap oleh sudut matanya. Dari tempatnya berdiri, dia bisa melihat ke halaman depan, ke arah mobil hitam yang berhenti. Changkyun bergeser, memperjelas pandangannya. Dia melihat seorang pria keluar dengan terburu-buru untuk menghindari hujan, melambai pada seseorang yang masih berada di dalam mobil lalu sosok itu hilang dari pandangan.

Mungkinkah Jooheon baru saja pulang?

Changkyun menarik baju terakhir yang masih tergantung dan segera masuk lewat pintu samping yang bersebelahan dengan dapur. Dia memasukkan cuciannya ke dalam keranjang, lalu melangkah ke pintu depan.

"Joo," panggilnya.

"Oh, hai. Aku baru saja kembali."

Changkyun melirik jam yang tergantung di dinding. Hanya memastikan saja "Kukira kau akan langsung bekerja hari ini."

Jooheon tersenyum samar, dia menggantung mantelnya di dekat rak sepatu sebelum mendekat. Menyentuh leher Changkyun dan mengusap permukaan kulit halusnya sebagai ucapan salam, tapi sesaat kemudian dia berujar. "Aku sudah bekerja ekstra kemarin, tentu hari ini aku ingin pulang."

Changkyun bergeser ke samping memberikan akses pada pria itu melangkah lebih dulu. Mereka berjalan beriringan melewati ruang tamu, ruang tengah, dan berbelok ke kiri, ke arah dapur. Changkyun memilih duduk di kursi makan, sedangkan Jooheon masih mengambil handuk di ruang laundry.

Excruciating [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang