What we eat

89 18 6
                                    

Part 11

-why him?-

Changkyun melempar barang-barang. Pikirannya berkabut. Semua hal tidak terletak pada tempatnya. Semua hal adalah kesalahan.

Jantung Changkyun berdetak dengan gila. Kedua tangannya gemetar oleh sensasi tidak dikenal. Dia menatap sekeliling dengan cemas. Memikirkan sesuatu, merencanakan sesuatu. Dia bisa gila jika tetap diam. Persetan dengan aturan main, dia tidak peduli peraturan ketika sudah terdesak.

Dalam sekejap, Changkyun telah menyibukkan diri dengan layar komputer dan internet. Berjam-jam dia mengamati dan mempelajari. Setelah yakin, Changkyun beranjak pergi. Dia menyambar dompet dan kunci mobil, bahkan tidak repot melirik pantulan dirinya yang tidak dia pedulikan beberapa hari terakhir.

Jika dipikir, dia memang terlihat seperti tokoh dalam film aksi yang biasa dia tonton dan tertawakan. Tapi sekarang sensasi mendebarkan yang dihasilkan tindakan bar-bar ini membuat Changkyun penuh gairah. Tapi dia tidak bisa memikirkan gairah apa yang dia rasakan. Apakah itu benar? Apakah itu salah? Dia tidak peduli lagi. Yang memenuhi pikiran Changkyun bukan lagi benar atau salah, tapi seberapa banyak. Seberapa banyak yang akan hilang dan seberapa banyak yang akan dia dapatkan.

Dia muncul dari persembunyiannya. Melangkah dengan pasti ke arah mobil Jaguar hitam yang terparkir. Membuka kap depan, mengambil gunting di dalam saku celananya dan memutus tali rem.

Itu hal mudah. Changkyun sudah mempelajarinya. Dia bisa melakukannya dengan baik dan benar.

Setelah yakin pekerjaannya beres dan aman, dia kembali ke sisi lain gedung untuk bersembunyi.

45 menit yang Changkyun habiskan untuk menunggu tidak pernah terasa setegang ini. Dia melihat Dior muncul dengan tas jinjing merah jambu, heels setinggi lima senti dan dress abu-abu gelap. Dia cantik, dan perempuan cantik tidak tahu diri itu pantas mati.

Changkyun menyeringai lebar. Ambisi melihat Dior masuk ke mobil, menyalakan mesin, pergi dan kemudian menghantam sesuatu  membuat darah Changkyun bergolak.

Tapi, dia melihat Jooheon tergesa menyusul. Changkyun mengerang frustasi. Dia seakan melihat kekalahannya yang untuk kesekian kali. Dia tidak berpikir jika Jooheon akan ikut bersama Dior, dia tidak berpikir jika mereka akan masuk ke mobil yang sama dan pergi kesuatu tempat.

Sial.

Changkyun tidak tahan lagi. Pikirkannya berkabut sehingga tidak bisa memikirkan alasan yang bisa menahan Jooheon. Tidak mungkin jika Changkyun dengan suka rela menyerahkan suaminya kepada dewa kematian.

Dia tidak bisa menahan diri untuk menyusul. Dia muncul dari suatu tempat dan menarik tangan Jooheon. Menahannya. Lalu pikirannya mulai kembali bekerja.

"Jangan pergi!"

"Changkyun? Darimana kamu datang?" Changkyun tidak peduli pertanyaan Jooheon dan tatapan heran sekaligus mencemooh dari Dior. Dia gemetar oleh rasa cemas. "Jangan pergi bersamanya!"

"Oh, ada yang terlalu cemburu rupanya. Apa kamu tidak memiliki pekerjaan lain sehingga memata-matai kami, hum, Changkyun-ssi?"

Changkyun menahan diri untuk membalas dengan ketus, tapi ada hal lain yang lebih penting. Cengkramannya mengerat. "Kubilang, jangan pergi."

"Jangan khawatir. Kami hanya membahas pekerjaan. Ayo, Jooheon."

"Kubilang tidak," teriak Changkyun dengan marah. Sekaligus putus asa. Dia menelan ludah, menatap Jooheon dengan memohon, tapi pria berotak kecil itu tidak akan menuruti Changkyun.

"Aku merusak remnya."

Ada banyak hal terjadi setelahnya. Jooheon membuka kap mobil dan memeriksa beberapa bagian, sebelum Dior kaget dengan dramatis dan Jooheon menatap nyalang ke arah Changkyun.

Excruciating [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang