Part 7 : Bayang-Bayang Masa Lalu

164 63 110
                                    

"Selamat pagi, panda gemas yang bawel dan usil. Bagaimana dengan hari-harimu?"

"Kamu? Mengapa tiba-tiba muncul di hadapanku?"

"Iya, ini aku. Kamu senang kan melihat aku kembali? Mulai saat ini aku akan memberimu kebahagiaan."

"Tidak mungkin! Cukup, tolong pergi dari hadapanku. Pergi!"

Kring ... kring ... kring ....

Astagfirullah!

Aku terbangun dari tidur dengan jantung yang berdebar dahsyat disertai perasaan cemas. Mataku terbelalak dan pikiran mendadak kosong.

"Ya Allah, mimpi itu .... " desisku seraya mematikan alarm yang terus menerus berdering di sampingku.

Mengapa aku tiba-tiba memimpikan sosoknya? Baru kali ini ia muncul kembali dalam mimpiku. Pertanda apakah ini?

Lantas aku memperbanyak beristigfar dan berusaha melupakan bayang-bayang mimpi tersebut. Hadirnya ia dalam mimpi seolah membuka kembali lembaran ingatan berisi luka yang pernah aku rasakan.

Perjalanan panjang kita memang telah usai. Hari-hari indah yang dahulu pernah dilewati, kini hanya menjadi catatan masa lalu belaka. Melupa dan seolah menjadi sosok yang asing adalah caraku untuk kembali bahagia. Walaupun segala tentangnya tak sepenuhnya sirna dari memori ingatanku, namun setidaknya segenap perasaan yang dahulu pernah tercipta, perlahan telah hilang terkikis oleh beribu penyesalan.

Aku menatap jarum jam yang telah menunjukkan pukul 05:00.

"Allahu Akbar! Sudah jam 5, aku belum bersiap-siap sholat subuh dan belum menyiapkan pakaian untuk rapat beserta karyawan butik," ucapku dengan panik.

Tak membutuhkan waktu lama, aku langsung beranjak dari kasur dan pergi menuju kamar kecil yang letaknya di samping dapur secara tergesa-gesa.

"Acha, kamu ini kenapa buru-buru seperti itu? Awas terjatuh loh," ujar Bunda sembari memotong bawang di dapur.

"Waktu adalah uang, Bun. Acha pagi ini ada rapat di butik, baju belum sempat disetrika, mana belum sholat subuh pula," timpalku sambil menutup pintu kamar mandi.

"Dasar anak gadisnya bunda kelihatannya tuh rempong melulu," ledek bunda.

Setiap pagi, bunda selalu bangun awal untuk menyiapkan sarapan. Bunda tak pernah membeli sarapan ke luar, ia selalu membuatnya sendiri sebab baginya makanan dari luar tidak terjamin kesehatannya, kini banyak sekali makanan yang dicampur bahan pengawet. Lagi pula, masakan bunda benar-benar tidak ada duanya. Oleh karenanya, aku beserta kedua adikku lebih suka masakan rumah ketimbang masakan dari luar.

Selepas melaksanakan sholat subuh dan telah berpakaian rapi, aku bergabung bersama bunda, Ezra, dan Fadhil di ruang makan. Tampak nasi goreng disertai telur mata sapi, sandwich, dan teh hangat menghiasi meja makan. Semuanya merupakan makanan favoritku. Hm, kelihatannya lezat sekali.

"Ezra itu punya kakak!" teriakku pada Ezra yang hendak mengambil nasi goreng bagianku.

Ezra benar-benar tidak mendengarkan ucapanku. Ia mengambil nasi goreng itu lalu memakannya dengan santai.

"Kak Acha, makan sandwich aja ya, Ezra masih lapar," ucapnya sambil mengunyah makanan.

"Ezra, lain kali enggak boleh begitu ya, bunda kan sudah kasih jatah masing-masing," tutur bunda.

"Tidak apa-apa, Bun. Lagi pula Ezra sudah tidak aneh kok seperti itu, dia kan super hero jadi makannya harus banyak, iya kan Ezra?"

Ezra hanya mengangguk dan mengacungkan jempol sembari menikmati makanan.

"Bunda, semalam Acha mimpi aneh sekali," sambungku.

"Mimpi apa, Cha?"

Perlahan aku menceritakan perihal mimpi yang terjadi semalam. Aku menjelaskan pada bunda secara rinci sesuai apa yang ada di benak pikiranku.

Bunda memang sangat tahu seluk beluk perjalananku dengan dia di masa lalu. Bahkan, bunda sangat dekat sekali dengannya, begitu pula dengan Ezra, dahulu ia sering kali bermain bersama sosok itu, malah hingga sekarang Ezra kerap bertanya keberadaannya padaku.

Namun, sekali lagi ini berbicara tentang takdir. Memiliki kedekatan dengan keluarga tidak menjamin lamanya suatu hubungan. Sebab, manusia hanya sekedar bisa berencana, yang berkehendak tetaplah Allah semata.

"Sudahlah Acha, kamu jangan terlalu memikirkan mimpi itu. Semalam kamu lupa kali ya enggak baca doa sebelum tidur atau mungkin kamu merindukan sosok itu?"

"Astagfirullah, enggak begitu juga bunda. Jangankan merindu, mengingatnya saja Acha enggan. Menurut bunda apakah ini merupakan pertanda sesuatu?"

"Ya, mungkin ini pertanda kalau Acha rindu dia," ledek bunda.

"Bunda mah gitu, kebiasaan deh," kesalku.

Bunda malah tertawa terpingkal-pingkal, sebab berhasil membuatku cemberut kesal. Lantas, aku melanjutkan sarapan, mengingat pagi ini aku harus pergi ke butik dan waktu pun terus berjalan dengan cepat. Saat menikmati sarapan, karyawan butik banyak yang menghubungiku, sehingga aku harus segera berangkat dan berpamitan pada bunda serta kedua adikku.

***

Para karyawan butik sudah berkumpul di ruangan. Mereka berpakaian rapi, lengkap dengan kartu identitas diri. Sebenarnya, rapat dimulai 30 menit lagi, namun mereka sangat disiplin untuk hadir di ruangan lebih awal sejak beberapa menit yang lalu.

Di ruangan yang berkapasitas 20 orang, suasana kini tampak mulai hening. Moderator mulai membuka rapat, kemudian mempersilakan aku untuk memaparkan pembahasan. Semua orang dalam ruangan memfokuskan pandangan padaku, aku mulai mengangkat suara dan menyampaikan pembahasan dengan lugas.

Akan tetapi, tiba-tiba ponselku berdering. Aku lupa mengaktifkan mode silent pada ponsel. Aku berusaha mengabaikan panggilan tersebut, namun ponsel terus menerus berdering dan membuat fokusku buyar saat rapat.

"Baik, rapat saya tunda terlebih dahulu 5 menit," ujarku seraya bergegas keluar dari ruangan untuk mengangkat telepon.

Loh? Bunda? Kenapa bunda tiba-tiba meneleponku? Padahal tadi baru saja mengobrol di rumah, ucapku dalam hati sambil menatap ponsel.

Tak berpikir lama, aku mengangkat panggilan dari bunda.

"Acha, kamu sekarang cepat pulang ke rumah ya!" pinta bunda.

"Pulang ke rumah? Acha baru saja sampai butik, Bun. Lagi pula, rapat belum selesai," tuturku dengan penuh rasa penasaran karena bunda tiba-tiba menyuruhku pulang.

"Pokoknya pulang sekarang ya, Cha! Ada yang ingin bertemu denganmu di rumah."

"Bertemu denganku? Siapa, Bun?
Halo? Ha—"

Tampaknya bunda malah mematikan sambungan teleponnya. Kini pikiranku berkecamuk dengan penuh teka-teki. Siapakah orang yang ingin bertemu denganku hingga bunda bersikukuh menyuruhku pulang? Padahal, bunda sudah tahu jika hari ini aku memiliki jadwal rapat penting di butik.

Oh, apakah orang yang ingin bertemu denganku adalah sosok yang hadir dalam mimpi?

Deg.


***

Assalamu'alaikum, hallo teman-teman👋🏻

Sebelumnya mohon maaf ya, author telat up nih😢

Btw, daging kurban hari raya sudah habis atau belum nih?🤭

Tetap setia sama "Dear F" ya, tunggu kejutan-kejutan lain di part selanjutnya😉

Jangan lupa tinggalkan jejak komentar dan vote nya juga yaa🤗

Dear F : Cinta & Ikhlas Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang