Part 8 : Prasangka

77 31 57
                                    

"Bisa jadi dia hanya sekedar mampir saja di kota ini layaknya dahulu ia singgah sebentar di hatiku."

🌷🌷🌷

Suasana jalanan sangat ramai, kendaraan silih berlalu lalang tak ada hentinya. Aku cukup kesulitan menyeberangi jalan itu. Padahal, aku ingin cepat sampai ke rumah untuk mengetahui siapa orang yang  ingin sekali bertemu denganku.

Rapat yang sedang aku laksanakan bersama para karyawan butik terpaksa ditunda hingga lusa, sebab aku harus menuruti perintah bunda, lagi pula hal-hal penting dalam rapat sudah aku sampaikan, hanya saja belum sempat berdiskusi.

Saat aku berjalan di trotoar untuk menuju halte, tiba-tiba suara klakson motor perlahan menghampiriku. Sepertinya motor itu mengikutiku sedari tadi, namun aku tetap meluruskan pandanganku ke depan dan tidak menoleh sedikit pun ke arah motor itu.

“Hai,” suara seorang laki-laki tampak terdengar di telingaku. Ya, itu adalah suara dari si pengendara motor tersebut.

Aku tetap berjalan dan mengabaikan orang tersebut. Mungkin itu hanya lelaki usil yang sering menggoda wanita di jalan, pikirku.

“Heh, Acha ini Arga. Kenapa diam saja hey, takut diculik ya?” ujar laki-laki tersebut sambil tertawa.

“Arga?” ucapku seraya menoleh ke arah motor yang kini sejajar denganku.

“Hah? Arga? Serius ini Arga?” tanyaku dengan raut wajah penasaran.

Laki-laki itu hanya mengangguk dan tersenyum, kemudian ia membuka helmnya.

“Masyaallah Arga, apa kabar? Sejak kapan kamu ada di sini?” ucapku dengan semringah.

“Alhamdulillah kabar baik, sudah satu minggu aku berada di sini, biasa lah sedang liburan. Btw, enggak nyangka euy bisa ketemu dengan seorang bintang di sini.”

Aku lantas tertawa mendengar Arga yang menyebut diriku seorang bintang. Arga merupakan teman baikku selama berada di bangku SLTA. Dia memang sangat akrab denganku, apalagi saat itu kita satu organisasi dan kita sering bertukar cerita pula kala itu. Aku tak menyangka bisa bertemu kembali dengan Arga setelah hampir 5 tahun ia hilang kabar.

Di pinggir jalan dekat persimpangan kami berbincang satu sama lain. Bertemu dengan kawan lama, banyak sekali hal yang aku ceritakan, bahkan saking asyiknya berbincang, aku hampir lupa jika harus segera pulang ke rumah.

“Arga, maaf nih aku harus segera pulang, soalnya sudah ditunggu bunda, ngobrolnya dilanjut nanti saja, ya.”

“Orang sibuk sih begini ya haha, kalau begitu yuk aku antar pulang,” ucap Arga sambil memakai helm.

Aku terdiam dan menunjukkan gelagat bingung, sebab di sisi lain aku ingin menolak tawaran Arga karena tidak mau berboncengan dengan yang bukan mahram. Akan tetapi, di sisi lain aku sedang butuh tumpangan kendaraan mengingat jalanan yang ramai membuatku susah menyeberang menuju halte dan angkutan umum pun terkadang lama datangnya.

“Hayuk cepat naik ke motor, nih pakai helmnya,” bujuk Arga lalu memberikan helm padaku.

“Eum Arga, t-tapi aku—”

Belum juga selesai berbicara, Arga memotong ucapanku, “Acha tenang saja, aku tahu kamu itu sedang buru-buru, lagi pula lihat tuh aku pakai tas ransel juga kan, aku juga enggak bakal rem mendadak, tenang aman kok."

Sepertinya Arga paham dengan apa yang sedang aku pikirkan. Dia dari dahulu pun seperti cenayang, selalu tahu hal yang melintas di pikiranku dan mengerti hal yang sedang aku rasakan.

“Baik, Arga. Kalau begitu Acha ikut denganmu.” 

Akhirnya, aku menerima tawaran Arga untuk diantarkan pulang ke rumah. Arga melewati jalan tikus guna menghindar dari kemacetan. Selama di perjalanan, banyak sekali hal yang diceritakan oleh Arga padaku, begitu pun sebaliknya.

“Acha, kamu rindu dia gak?” celetuk Arga.

“Dia? Siapa?” tanyaku bingung.

“Itu loh dia yang dahulu pernah menjalin asmara denganmu di sekolah, jangan pura-pura lupa deh, haha. Beberapa hari yang lalu aku ketemu dia di Stasiun Bandung, kita juga sempat berbincang sebentar kok.”

Allahu Akbar!

Aku sangat tercengang mendengar ucapan Arga. Mengapa sosok itu berada di Stasiun Bandung? Berarti saat ini kita berada dalam satu kota? Atau jangan-jangan sebenarnya dia sudah lama menetap di kota ini? Seketika perasaanku menjadi resah, apalagi sekarang bunda tiba-tiba menyuruhku pulang karena ada yang ingin bertemu denganku. Ya Allah, apakah Engkau akan mempertemukan kami kembali?

“Arga, kalau boleh tahu sekarang dia tinggal di mana?”

“Cie, Acha penasaran nih sama masa lalu,” Arga malah meledekku.

“Aku enggak tahu sih dia sekarang tinggal di mana, aku juga lupa tidak bertanya maksud dan tujuan dia berada di Stasiun Bandung itu untuk apa, awas loh Cha jangan sampai kamu mengira bahwa dia sekarang tinggal di sini hahaha,” lanjut Arga sambil kembali menertawakanku.

Benar juga apa kata Arga, aku jangan berpikir seperti itu dulu. Lagi pula, dia berada di Stasiun Bandung bukan berarti dia kini menetap di sini kan? Bisa jadi dia hanya sekedar mampir saja di kota ini layaknya dahulu ia singgah sebentar di hatiku.

Motor Arga kini berhenti tepat di depan rumahku. Perjalanan yang ditempuh memang tidak lama sebab selain melewati jalan tikus, Arga juga memacu kecepatan berkendara yang cukup tinggi.

“Terima kasih banyak ya, sudah mengantarkanku ke rumah, Arga sekalian mau mampir ke rumah atau tidak?”

“Cukup, Cha. Lain kali saja ya, aku ada keperluan lain. Salam saja buat bundamu, kapan-kapan kita adakan reuni lah di rumahmu,” pungkas Arga sambil memarkirkan motornya.

“Kalau begitu aku pamit ya, assalamu’alaikum,” sambungnya diiringi dengan bunyi klakson.

“Wa’alaikumsalam,” sahutku.

Ketika membuka gerbang rumah, aku melihat sebuah mobil yang terparkir di pekarangan. Namun itu bukanlah mobil ayah atau pun bunda, sepertinya itu adalah mobil tamu yang ingin bertemu denganku. Akan tetapi, rasanya aku tidak asing lagi dengan mobil tersebut. Ah, daripada terus menerka-nerka lebih baik aku segera masuk ke dalam rumah.

Aku pun mulai melangkahkan kaki secara perlahan. Entah mengapa tiba-tiba kaki ini berat untuk masuk ke dalam rumah. Ya, mungkin ini karena rasa cemas dalam diriku yang terlalu berlebihan dalam memikirkan terkait siapa sosok yang ingin berjumpa denganku.

“Alhamdulillah akhirnya yang ditunggu datang juga,” ucap bunda dengan semringah di kala aku membuka pintu rumah.

Ucapan bunda kemudian diikuti senyuman ketiga orang yang duduk di sofa ruang tamu.

“Firza? Om Renaldi? Tante Lilis?”

Aku lantas bergeming menatap ke arah mereka. Ternyata, orang yang bersikukuh ingin bertemu denganku adalah Firza dan kedua orang tuanya. Hatiku cukup lega sebab kedatangan mereka menepis prasangka yang membuatku resah. Akan tetapi, ada kepentingan apakah mereka hingga ingin sekali menjumpai diriku?

***

Assalamu'alaikum, hallo sobat semuanya apa kabar?😃

Sebelumnya aku ucapin terima kasih buat kalian yang hingga sekarang setia dengan Dear F, semoga kesetiaan kalian tetap berlanjut ya, jangan kayak si dia yang ujung-ujungnya ninggalin, upss.

Anyways, sampai berjumpa di part selanjutnya 👋🏻

Jangan lupa komen + vote yaa dan tentunya tetap jaga kesehatan juga buat kalian🤗


 

Dear F : Cinta & Ikhlas Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang