Part 12 : Adit & Humaira

24 2 10
                                    

Rasa yang telah lama terkubur secara dalam, apakah akan hadir kembali menyapaku melalui indahnya sebuah pertemuan?

***

Pria tersebut terus menerus menatap diriku. Tatapannya yang begitu dalam, membuat perasaanku semakin tak karuan. Dadaku berdegup sangat kencang, air mata berlinang tiada henti. Astagfirullahaladzim, astagfirullahaladzim ... aku terus menerus menyerukan kalimat istigfar di dalam hati. Ya Allah ... apakah ini sebuah mimpi atau khayalan diriku semata? Jika ini adalah sebuah khayalan, tolong sadarkan hamba ....

Pak Kyai tampak asyik mengobrol dengan Zahro, sehingga mereka tidak menyadari kehadiran pria yang tetiba berdiri di samping Pak Kyai. Aku yang menyadari kehadirannya terus menerus meneteskan air mata dan sesekali menyekanya agar linangan air mata tersebut tidak terlihat oleh Pak Kyai ataupun Zahro.

"Hai, Bro! Apa kabar?" tanpa mengetuk pintu ataupun mengucap salam, Firza memasuki rumah Pak Kyai dan tampak begitu antusias melihat pria berpeci itu. Firza pun langsung menyapanya dan menghampirinya sambil mengulurkan tangan.

"Alhamdulillah baik, dirimu sendiri apa kabar?" ucap pria berpeci tersebut seraya membalas uluran tangan Firza.

"Aku juga sama, baik selalu."

"Khem, Firza, yang duduk di sini apakah tidak akan disapa?" ujar Pak Kyai dengan nada bercanda.

Firza lantas menepuk jidatnya dan bergegas menghampiri Pak Kyai, lalu ia pun langsung mencium tangan Pak Kyai sembari meminta maaf karena tidak mengetuk pintu saat memasuki rumah dan lupa menyapa Pak Kyai.

"Kau ini, mentang-mentang dari kejauhan melihat partnermu saat lomba beberapa tahun yang lalu, jadi kau melupakan sesepuhmu ya?" canda Pak Kyai kepada Firza.

Firza tersenyum malu dan ia kemudian duduk di samping Pak Kyai.

"Adit, jangan berdiri mulu dong, seperti patung saja dirimu ini. Sini duduk, kita nostalgia lagi ketika dulu bareng-bareng berjuang ikut lomba tahfidz," ucap Firza seraya memberikan tempat pada pria tersebut agar duduk di sebelahnya.

"Adit? Namanya Adit?" tanyaku dengan penuh rasa heran.

"Iya Acha, dia namanya Adit. Di pondok pesantren ini ia dikenal dengan sebutan Adit, sebab dari awal dia berada di sini, tidak ada yang mengetahui nama aslinya kecuali saya dan Firza," jawab Pak Kyai.

"Loh kenapa?" tanyaku lagi.

"Sudahlah Acha tidak usah memikirkan itu, sebut saja dia Adit. Sebab, kalau orang-orang tahu nama aslinya terlebih lagi jika santriwati tahu itu bahaya loh, pasti mereka bakal selalu menyebut nama Adit di sepertiga malam, aku pun jika waktu itu tidak ikut lomba dengannya pasti sampai sekarang tidak akan tahu nama asli Adit si idaman para santriwati ini," ledek Firza.

Aku lantas menundukkan kepala setelah Firza berkata demikian. Setiap orang memiliki privasi dan mungkin itu adalah salah satu cara pria tersebut menjaga privasinya agar tidak terjadi hal yang tidak diharapkan olehnya. Huft, aku menghela nafas dan bersyukur sebab di antara mereka tidak ada yang melihat jatuhnya air mataku kecuali Adit.

***

Setelah berbincang lama dengan Pak Kyai, Acha dan Zahro diantarkan ke kamar oleh anak Pak Kyai sedangkan Firza tampak diantar oleh Adit menuju kamar di area santri putra. Ketika Acha dan Zahro sudah sampai di teras depan kamar, lalu hendak memasuki kamar, tiba-tiba anak Pak Kyai memanggil nama Acha dan seketika Acha pun menoleh.

"Ada apa ya, Mbak?" tanyaku.

"Eh buset hampir lupa dah, kita belum kenalan sama putrinya Pak Kyai, mohon maaf, Mbak," Zahro tiba-tiba menyeletuk.

"Astagfirullah! Iya ya kenapa kita bisa lupa? Hmm ada-ada saja," sahutku seraya menepuk jidat.

"Maafkan kita ya, Mbak. Eum kalo gitu kita kenalan, ya, nama Mbak siapa?"

Wanita tersebut tersenyum lebar dan langsung menyahut pertanyaanku, "Panggil saja saya Humaira," jawabnya.

Humaira memang parasnya begitu cantik layaknya bidadari yang turun ke bumi, kulitnya pun begitu putih, bahkan pakaiannya sangat syar'i, ia pantas jika dijuluki sebagai perawan yang menawan.

"Oh iya, tadi kamu panggil namaku kenapa ya?" tanyaku penasaran.

"Eum gini Acha, sepertinya kita pernah bertemu deh sebelumnya, kamu ingat tidak kejadian di resto ketika kamu nabrak aku?"

Aku mencoba mengingat-ingat peristiwa itu, sebab aku merasa lupa dengan kejadian tersebut. Ya, biasalah terlalu banyak beban pikiran hingga membuatku tak kunjung ingat dengan hal-hal kecil yang pernah terjadi sebelumnya. Setelah berpikir cukup lama, akhirnya aku ingat bahwa aku pernah bertemu Humaira setelah makan-makan bersama Om Renaldi dan Tante Lilis. Saat itu, aku menabrak Humaira hingga barangnya terjatuh ketika hendak pergi ke mushola.

"Iya, aku ingat Humaira, kita pernah bertemu saat itu. Gak nyangka kita bakal bertemu lagi di sini. Eum pantas saja dari awal aku lihat kamu di sini seperti tidak asing dengan mukamu," ucapku seraya memberi candaan kepada Humaira.

Humaira tersenyum mendengar perkataanku. Lantas, Zahro pun mendahului masuk ke dalam kamar dan tampak bergegas membereskan barang-barang.

"Oh iya, makasih, ya, Humaira, kamu sudah antar kami ke kamar ini, untuk barang-barang biar kami berdua saja yang membereskan, barangkali kamu ada kegiatan lain," kata Zahro sembari membuka resleting koper yang berada di dekat pintu.

"Oh begitu, ya. Kalau gitu aku pamit duluan, ya, kebetulan 5 menit lagi ada jadwal mengajar anak-anak santri yang masih kecil-kecil, hehehe."

"Iya Humaira, sekali lagi terima kasih ya, nanti setelah beres-beres barang insyaallah kami nyusul juga deh ke sana, pengen lihat juga gimana proses pembelajaran para santri," ujarku.

Humaira lantas tersenyum dan mengucap salam seraya mengulurkan tangannya padaku dan juga Zahro. Ia kemudian berjalan meninggalkan teras depan kamar, akan tetapi ketika aku masuk ke dalam kamar dan hendak menutup pintu, terlihat jelas Humaira menghentikan langkahnya dan berbincang dengan seorang santri putri yang sudah berusia remaja. Dari obrolan mereka terdengar jelas nama Adit disebut oleh santri tersebut. Aku pun lantas penasaran dengan obrolan mereka, hingga akhirnya aku menguping pembicaraan keduanya dari balik pintu kamar.

"Ustadzah Humaira ini kenapa sih suka salting kalo diajak ngobrol tentang Ustadz Adit?" tanya seorang santri itu.

"Hey, salting apanya sayang? Biasa saja kok, lagi pula Ustadzah dengan Ustadz Adit itu hanya sebatas rekan saja," tutur Humaira.

"Hmm tapi kan kalian itu cocok loh, Mbak. Kenapa sih Ustadz Adit gak langsung lamar Ustadzah Humaira aja? Kalo Ustadzah Humaira keburu diambil orang gimana?"

Humaira hanya tertawa mendengar celetukan santri itu, ia lantas mengajak santri itu turun menuju lantai bawah dan dari percakapan mereka entah mengapa rasa cemas menghampiri diriku. Seolah tak terima dengan apa yang mereka bahas, akan tetapi ... argh sungguh hari pertama di pesantren ini benar-benar penuh dengan misteri dan kejutan.

***

Haiiii guys, apa kabar? Lama juga nih yaa Dear F tidak menyapa kalian. Mohon maaf juga nih, dikarenakan authornya punya berbagai kesibukan lain, jadi Dear F jarang up huhuu. Tapi, tenang aja. Walaupun demikian, Dear F akan tetap menyajikan hal-hal yang menarik untuk kalian🤗 Sampai jumpa di episode selanjutnya yaaaaa


Dear F : Cinta & Ikhlas Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang