🤍 D A I S Y 🤍
_____
Mendengarkan suara detak jantung sang bayi di dalam perutnya, menjadi momen paling emosional bagi seorang Daisy. Apalagi, ketika bayi yang ada di monitor bergerak perlahan.
Daisy tidak dapat membendung tangisnya lagi karena teringat Alden--jagoan kecilnya yang harus pergi sebelum melihat indahnya dunia.
Setiap kali melakukan pemeriksaan rutin untuk bayinya, selalu ada debar aneh pada perasaan Daisy. Berharap kejadian bayi yang terlilit tali pusar tidak akan terulang lagi, berharap sampai nanti mendekati proses kelahirannya, detak jantung sang bayi masih berdetak normal.
"Lihat, dia sedang mengisap jempol." Arthur menunjuk monitor, setelah berhasil mengusap air mata Daisy yang baru saja lolos.
Daisy mendongak--melihat layar monitor. "Apa mungkin dia sedang lapar?"
Arthur terkekeh pelan. "Mungkin, atau justru tidak sabar ingin segera mengisap asi ibunya."
Kali ini, Daisy menatap mata hijau Arthur dengan sisa tangisnya. "Dia baik-baik saja, kan?" tanya Daisy begitu lirih.
"Dia sehat. Benar, kan, Dokter Freya?"
Dokter Freya tersenyum ramah, mengusap gel di perut Daisy dan membantu wanita itu untuk memperbaiki pakaiannya yang tersingkap. Setelahnya, Dokter Freya berjalan menuju meja kerjanya diikuti oleh Arthur dan Daisy.
"Daisy, dia sangat sehat," ucap Freya, ia memang sudah sangat akrab dengan Daisy dan juga Arthur. Karena sejak kehamilan Daisy menginjak tiga bulan, ia sudah menjadi Dokter tetap yang memeriksa kondisi Daisy.
Meski sebenarnya Arthur bisa, tapi lelaki itu tetap ingin sang istri nyaman berkonsultasi dengan sesama wanita.
"Kau pasti merawatnya dengan baik, tidak melupakan susumu, dan makan dengan yang bergizi," puji Freya.
Daisy tersenyum. "Berkat Arthur juga," jawabnya lugu.
Freya menuliskan sesuatu di kertas kecil, mungkin vitamin tambahan atau rekomendasi susu untuk Daisy.
"Hm, Frey?" panggil Daisy ragu. "Bisakah aku melahirkan normal?"
Sedetik kemudian, pandangan Arthur dan Freya saling bertemu. Mereka berdua terdiam beberapa detik, sebelum akhirnya suara Daisy kembali terdengar meminta kejelasan.
"Bisa?"
Tanpa memudarkan sedikit senyumnya, Freya menangkup jemari Daisy. "Daisy, untuk kehamilanmu saat ini, lebih baik kau melahirkan cesar. Aku takut lukamu dulu kembali robek ketika aku menyarankan melahirkan normal."
"Kata Arthur, aku bisa melahirkan normal."
"Sayang." Arthur bersuara. "Itu jika kondisimu memungkinkan, tapi mengingat kau pernah operasi dua kali, melahirkan normal terlalu berisiko."
Seketika, Daisy menghela napas. Matanya sudah berkaca-kaca, namun ia menahan tangisnya. Senyum kecil terukir meski terlihat dipaksakan, ia menatap Freya. "Terima kasih sudah memeriksa kandunganku hari, Frey."
Arthur tahu, perasaan Daisy sedang kalut. Wanita itu terlihat sekali tergesa-gesa meminta izin untuk pergi ke toilet. Dan Arthur hanya bisa mengangguk pasrah, nanti saja ia akan bicara lagi pada Daisy.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Freya.
"Hm." Arthur mengedikkan bahu.
"Kau bicara saja perlahan, nanti dia juga akan mengerti."
__________
Daisy menyeka air matanya yang mulai turun dengan air dingin wastafel. Ia menatap pantulan dirinya sendiri di cermin, sambil berusaha tersenyum dan menerima. Tidak masalah jika tidak bisa melahirkan normal, ini demi kebaikannya dan bayi di perutnya saat ini. Ia terus menekankan kata itu pada dirinya sendiri.
"Kau baik-baik di dalam sana ya, Sayang." Daisy mengusapkan tangannya di perut bagian bawah.
Bayi itu merespon sentuhan Daisy dengan menendang di sisi atas perutnya. Senyum Daisy jadi terkembang lebih lebar dari sebelumnya.
Ketika Daisy keluar dari toilet, ia sempat bertegur sapa dengan salah satu suster partner kerja Arthur. Lalu ia tidak sengaja mendengar percakapan antara dokter dan perawat laki-laki. "Kondisi pasien di ruangan mawar semakin menurun, kita harus segera menyiapkan CPR."
Daisy membulatkan matanya, ia mengikuti langkah sang dokter yang tergesa menuju ruangan mawar.
"Ruangan mawar? Mama."
__________
"Mama!"
Arthur berlari sekuat tenaga menuju ruangan rawat inap sang Mama. Ia bahkan sampai menabrak beberapa perawat hingga barang yang mereka bawa terjatuh. Tidak peduli, Arthur tetap berlari.
Terlambat.
Tubuh Mama sudah ditutup dengan kain putih, dengan suara tangis Daisy yang meraung-raung. Entah sejak kapan wanita itu sudah ada di sini, Arthur bahkan tidak ingat jika tadi Daisy bersamanya. Ia terlalu kalut.
Arthur berjalan perlahan, mendekat. Ia tidak menyangka hal ini akan terjadi di hidupnya. "Mama." Hanya kata itu yang ia keluarkan, berharap ketika Arthur memanggil Mama, beliau akan menimpali.
"Mama," panggil Arthur sekali lagi, kali ini dengan membuka penutup kain di wajah sang Mama.
Arthur dapat melihat, wajah Mama yang begitu pucat dengan bibir yang membiru. Sakit sekali, sesak sekali. Arthur tidak dapat menggambarkan bagaimana hancurnya perasaan lelaki itu saat ini. Ia memegang kedua bahu sang Mama, mengguncangnya pelan. "Bangun, Ma."
Daisy mundur, membiarkan Arthur memiliki waktu berdua dengan Mamanya yang sudah tiada. Air matanya juga tak berhenti mengalir dari matanya, ia juga merasa begitu hancur, sama seperti Arthur.
"MAMA?!" Teriak Arthur lantang. Mengguncang lebih kuat lagi dan berakhir memeluk tubuh tak beryawa sang Mama.
"Jangan pergi, Ma. Jangan!"
Percuma.
Mama sudah tidak bernyawa.
Tubuh Mama sudah dingin.
Mama tidak akan membuka matanya lagi.
Mama sudah pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Daisy || ON GOING
RomanceFollow sebelum membaca 📍Warning 📍 Cerita ini banyak mengandung bawang. Cerita dewasa, bijaklah dalam memilih bacaan! 📍Warning 📍 Blurb : Semenjak kedua orang tuanya pergi, Daisy hidup seorang diri untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Ia tidak dapa...