Chapter 18

1.2K 40 3
                                    

Daisy tidak tahu, mengapa ia tidak bisa menangis lagi. Apa mungkin air matanya telah habis untuk mereka yang meninggalkannya? Atau mungkin, Tuhan sudah tidak mengizinkan dia untuk menangis lagi.

Peti yang ditimbun tanah oleh beberapa orang membuat Daisy menghela napas. Ia semakin mengeratkan genggamannya pada lengan Arthur, sementara suaminya menarik pinggang Daisy agar lebih dekat.

"Mau menaburkan bunganya?" tanya Arthur, sesaat setelah peti Mama sudah ditimbun tanah sepenuhnya.

Tanpa bicara, Daisy menaburkan bunga di atas gundukan tanah. Ia tidak bisa leluasa berjongkok, mengingat kandungannya sudah hampir sembilan bulan.

Arthur yang memakai kacamata hitam untuk menutupi matanya yang bengkak karena menangis, berjongkok. Mengusap nisan Mama dengan senyum kecil yang terukir.

"Tenang di sana, Ma." Arthur mencium nisan itu.

Lelaki itu memberi ruang untuk Papanya yang juga menghadiri acara hari ini. Mungkin Papa ingin menyampaikan sesuatu di depan makam Mama. Jadi, Arthur mengajak Daisy untuk meninggalkan pemakaman.

"Minum dulu, sayang." Daisy menyodorkan air mineral pada Arthur.

Arthur tersenyum kecil, mengusap pipi Daisy sekilas. "Kita pulang?" tanya Arthur.

"Hm."

Sekali lagi Arthur menatap area pemakaman Mama dan melihat sang Papa sedang menangis memeluk gundukan tanah itu. Arthur harus merelakan, Mama sudah tenang di sana. Jika nanti waktunya telah tiba, ia berharap akan bertemu dengan Mama lagi.

__________

Hampa.

Terasa sekali ada yang hilang di rumah ini. Daisy sangat kesepian. Biasanya, ketika dia terbangun tengah malam, Mama menemaninya bercerita atau sekadar membuatkan susu. Kini, sosok itu sudah tidak ada.

Daisy menarik napas dalam, sebelum menuangkan air panas pada gelas susunya. Ia terduduk di kursi meja makan, mengaduk susunya tak bersemangat.

Sebelum tiba-tiba, air matanya meluruh dan dia terisak. Baru kali ini dia bisa menangis.

Harus berapa orang lagi yang Tuhan ambil dari sisinya, kehilangan seperti menjadi teman Daisy sejak Mama dan Papanya pergi. Semua orang yang dia sayangi, satu per satu pergi meninggalkannya.

"Sayang, kau?"

Daisy tidak bisa menghentikan tangisnya lagi. "Aku ... aku teringat Mama," katanya, terbata.

Arthur mengusap bahu istrinya. "Sudah, sudah. Jangan menangis lagi."

"Tidak bisa."

"Mari minum susumu di kamar," ajak Arthur. Menuntun sang istri menuju kamar.

Lelaki dengan balutan kaus putih itu mendudukkan istrinya di tepi ranjang. Merapikan rambut panjang Daisy dan mencoba tersenyum. Meski dia juga merasa sedih serta kehilangan, setidaknya dia harus bisa lebih tegar.

Tidak baik juga terlalu menampakkan kesedihan di depan Daisy yang sedang hamil tua. Itu bisa mempengaruhi bayi di kandungannya.

"Sudah, ya. Anak kita akan ikut menangis jika kau seperti ini terus." Arthur mengecup punggung tangan Daisy sayang.

"Aku rindu Mama."

"Aku juga. Kita sama-sama merindukannya, tapi ini sudah takdir Tuhan, sayang. Semua manusia pasti pernah dalam keadaan kehilangan."

Daisy bersadar pada dada Arthur. "Apakah kita akan baik-baik saja tanpa Mama?"

"Ya, tentu saja."

"Aku takut melahirkan sendirian, aku takut aku tidak bisa bertahan lagi."

"Ssstttt ... kau pasti bisa. Aku akan menemanimu melewati prosesnya. Oke."

Daisy perlahan mengangguk.

Malam ini mereka habisnya dengan berbincang ringan, bahkan meneteskan air mata bersama karena mengingat Mama.

_________

Seminggu kemudian ....

Daisy sedang membuat susunya di dapur, kebetulan Arthur sudah pergi ke rumah sakit pagi-pagi sekali, jadi dia hanya sendirian di rumah.

"Ugh ...," rintih Daisy. Ia merasakan tendangan pada perut kirinya.

"Akhir-akhir ini kau aktif sekali, sudah mencari jalan keluar, ya?" Daisy tersenyum, mengusap perutnya yang sudah membesar sempurna, bahkan sedikit turun ke bawah.

"Kita minum susu dulu agar kau sehat, ya."

Daisy mendudukkan tubuhnya di sofa, ia meneguk susunya hingga sisa setengah. Matanya tidak berpaling pada sebuah film yang terputar di televisi.

Sampai suara pintu yang diketuk membuat Daisy menoleh. Jam dinding menunjukkan pukul dua belas siang, sudah waktunya makan siang.

Arthur bilang akan pulang secepatnya sebelum makan siang. Daisy berpikir, jika itu Arthur, kenapa tidak langsung masuk saja. Jarang sekali ada tamu yang datang ke rumah peninggalan Mama ini.

Daisy berjalan pelan menuju pintu setelah mengatakan, "Sebentar."

Senyum manisnya terkembang, ia membuka kunci dan memutar knop pintu. Sampai wajah seseorang muncul di depan matanya.

Seseorang yang sudah lama tidak ia temui.

"Kau?" Daisy tertegun. Refleks, dia memundurkan tubuhnya, hendak menutup pintu, tetapi kaki seseorang itu dengan mudah menahan pintunya.

"Kau mau apa? Pergi! Aku tidak mau bertemu denganmu lagi!" ucap Daisy tergagap.

"Daisy, dengarkan aku dulu," pinta seseorang itu.

"Tidak, tidak ada yang perlu didengarkan lagi."

Pintu itu didorong dengan mudah, hingga Daisy benar-benar masuk ke dalam rumah. Dia mengusap perutnya sendiri, berharap tidak ada guncangan yang membuat bayinya kenapa-napa.

"Kau mau apa?"

Seseorang itu menatap perut Daisy.

"Ini bukan bayimu, ini bukan anakmu!" ucap Daisy cepat.

Seseorang yang berdiri di hadapan Daisy saat ini adalah Layton. Lima tahun berada di penjara, membuat lelaki ini banyak mengalami perubahan. Rambutnya yang memanjang dan kumis di antara hidung dan bibirnya muncul.

"Dengarkan aku Daisy, aku tidak akan meminta bayimu."

Daisy menggeleng. "Pergi Layton, pergi!" katanya.

"Daisy."

Layton maju, membuat Daisy mundur hingga punggungnya menabrak meja telepon di belakang. Layton menarik tangan Daisy perlahan, menggenggamnya. Namun, Daisy justru gemetaran karena itu.

Dia takut sekali, apa yang terjadi di masa lalu terulang lagi. Dia takut, bayinya akan disakiti Layton, dia takut akan dibunuh lagi oleh lelaki ini.

____________

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 30, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Daisy || ON GOINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang