🤍 D A I S Y 🤍
_____
Erisya mengusap pipi Daisy dengan lembut. Hari ini adalah pertemuan perdana mereka dengan status yang berbeda, Daisy kini telah menjadi calon istri dari Arthur dan Erisya sebentar lagi akan menjadi ibu mertuanya.
Sejak kedatangannya, Daisy tidak berhenti meneteskan air mata karena ia merasa tidak pernah pantas untuk menjadi pendamping seorang Arthur. Tapi, Erisya meyakinkan Daisy bahwa dia akan menerima wanita itu jika memang sudah dipilih Arthur sebagai wanita yang dicintainya. Erisya juga tidak terlalu peduli dengan masa lalu Daisy, karena semua hanyalah kecelakaan dan tanpa unsur kesengajaan.
Wanita paruh baya itu juga mengerti, bahwa sejatinya Daisy adalah wanita yang baik dan polos. Tidak ada alasan lain untuk tidak menerima Daisy yang sekarang hidup hanya sebatang kara.
"Minum dulu," Arthur menyodorkan segelas air.
Mama baru saja pergi setelah ia mendapatkan pesan jika bisnis kue keringnya sedang banyak pesanan. Ia berpesan pada Arthur untuk menjaga Daisy dan memastikan wanitanya baik-baik saja.
Arthur berjongkok di depan kursi roda Daisy. "Sudah mendingan?"
Daisy mengangguk, ia sudah merasa lebih baik meski isakkan tangisnya masih belum hilang.
"Kau harus banyak istirahat jika besok ingin datang ke pesta pernikahan Eve dan Austin," bisik Arthur.
Ia mendorong kursi roda Daisy menuju salah satu kamar di lantai bawah. Lelaki bertubuh tegap itu membawa tubuh Daisy ke ranjang dan menyelimutinya. Daisy sudah keluar dari rumah sakit sejak dua hari yang lalu, ia diharuskan memakai kursi roda karena belum cukup kuat untuk berdiri terlalu lama.
"Arthur."
"Hm..."
"Jangan pergi dulu," Daisy menarik lengan Arthur.
"Aku di sini, kau tenang saja."
__________
Pesta pernikahan Eve dan Austin begitu mewah, mereka menyewa hotel bintang lima untuk pesta sehari semalam itu. Jika saja Daisy kuat untuk berdiri, ia mungkin sudah berlari dan berhambur kepelukan Eve, memberi wanita itu selamat dan turut berbahagia. Tapi, sayangnya ia harus duduk di kursi roda dan menunggu Arthur mendorong kursi rodanya agar sampai di tempat Eve dan Austin yang sedang berdiri menerima tamu.
"Daisy!!" Pekik Eve.
Wanita itu langsung tersenyum lebar, menghampiri Daisy sambil memegang gaun bagian bawahnya yang terlihat memanjang hingga ke lantai.
"Selamat atas pernikahanmu, Eve."
Mereka berdua saling berpelukan.
"Aku kira kau tidak akan datang, aku sedih sekali jika kau tidak datang."
Daisy tersenyum. "Jika bisa pasti ku usahakan."
Eve berpindah ke Arthur yang tampak lebih tampan dengan rambut barunya. "Arthur, kapan kau akan menyusul aku dan Austin?"
Arthur terkekeh. "Tunggu hingga Daisy pulih," ucap Arthur, mengusap lembut bahu telanjang Daisy.
Daisy sendiri hanya tersenyum, mereka sudah sepakat untuk tidak terburu-buru. Sebaiknya tunggu jahitan Daisy benar-benar sembuh.
Malam itu, Daisy dan Arthur menikmati pesta pernikahan Eve dan Austin. Sayang, mereka tidak bisa ikut memeriahkan acara dansa karena kondisi Daisy.
"Sudah lelah?" tanya Arthur.
"Belum, pulang nanti saja tidak apa-apa 'kan?"
"Tidak apa-apa."
__________
Daisy berjalan perlahan dengan berpegangan pada tembok. Ia baru saja selesai membersihkan diri setelah pulang dari pesta pernikahan Eve. Di sisi ranjang, terlihat Arthur yang masih menunggunya. Lelaki itu sedang sibuk mengetikkan sesuatu pada ponsel pintarnya.
"Arthur."
"Sudah selesai? Mari ku periksa."
Seperti biasa, Arthur selalu memeriksa keadaan Daisy setiap malam. Selain menjaga luka bekas operasinya agar steril, Arthur juga harus memastikan tubuh Daisy tetap stabil setelah menerima tiga kantong darah kemarin.
Daisy menidurkan tubuhnya di bantu Arthur, ia membiarkan Arthur sedikit menyingkap piyama miliknya. "Masih nyeri?"
"Terkadang. Tapi tidak seperti saat aku terbangun dari kritis kemarin," jawab Daisy, ia menutup mata saat Arthur mulai mengoleskan alkohol pada luka operasinya.
"Jangan mengangkat barang yang berat-berat jika ingin cepat pulih," ucap Arthur. "Kau sudah terhitung melakukan 2 kali operasi karena robekan itu."
"Apakah aku masih bisa melahirkan dengan normal untuk ke depannya?" cicit Daisy.
Arthur terdiam. Ia menatap dalam mata hazel milik Daisy yang terlihat begitu berharap jawaban Arthur adalah iya. Tapi, mengingat kemarin Daisy mengalami robekan dan pendarahan hebat, Arthur tidak bisa memprediksi itu bisa atau tidak. Terlalu berisiko.
"Bisa, jika diperbolehkan oleh dokter."
"Pasti bisa, kau akan membantu 'kan?"
"Daisy, itu tergantung pada kondisi tubuh dan rahimmu nanti. Aku tidak bisa langsung mengatakan iya," Arthur membereskan peralatan medisnya.
Daisy menarik napas. "Aku ingin merasakan itu, sekali saja."
"Berdoa saja ya, semoga tubuhmu kuat dan bisa melahirkan normal."
Daisy mengangguk.
Arthur kemudian membenarkan selimut Daisy, ia mencium pipi Daisy lembut dan menyuruhnya tidur karena sudah larut malam.
__________
🤍 D A I S Y 🤍
__________
KAMU SEDANG MEMBACA
Daisy || ON GOING
RomantizmFollow sebelum membaca 📍Warning 📍 Cerita ini banyak mengandung bawang. Cerita dewasa, bijaklah dalam memilih bacaan! 📍Warning 📍 Blurb : Semenjak kedua orang tuanya pergi, Daisy hidup seorang diri untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Ia tidak dapa...