[1] The Genius Doctor, My Wife, is Valiant

112. Mencoba memukulku?

Inilah mengapa Jing Jie tidak pernah punya waktu untuk bersantai. Satu hal yang selalu mereka katakan kepadanya adalah ini: "Burung bodoh itu terbang lebih dulu."

Namun, mereka tidak tahu bahwa pendidikan dan pengasuhan mereka akan menghancurkan seorang anak yang sangat berbakat dalam bermain game dan mendesain.

“Apa yang kamu lakukan di kamar Xiao Jie? Jangan ganggu dia saat dia sedang belajar!”

Pintu tiba-tiba didorong terbuka oleh Ibu Jing. Jing Jie berbalik kaget, lalu dengan cepat menoleh ke Jing Qian, yang sedang duduk di dekat komputernya.

Sementara Jing Jie masih shock, layar komputer yang masih dipenuhi dengan desain gaun pengantin langsung berubah menjadi lembar kerja matematikanya.

Ketika Jing Qian melihat Ibu Jing, yang menginjak ke dalam ruangan, dia menatapnya dengan tatapan samar di matanya.

Ibu Jing masuk ke kamar dan melihat Jing Qian sedang duduk tepat di depan komputer Jing Jie. Pertanyaan di layar sudah dijawab. Karena itu, dia bergegas ke arahnya, meraih Jing Qian, dan mencoba menariknya menjauh dari kursi.

Namun, Jing Qian sangat sensitif tentang orang lain yang menyentuhnya, itulah sebabnya saat Ibu Jing meraihnya, dia dengan cepat memegang pergelangan tangan Ibu Jing, dengan lembut mendorongnya. Ibu Jing tertangkap basah dan jatuh ke belakang, seolah-olah dia tidak memiliki kekuatan lagi untuk berdiri sendiri.

Untungnya, Jing Jie ada tepat di sampingnya. Dia dengan cepat menangkap Ibu Jing, mencegahnya jatuh ke tanah.

"Jing Qian, apa yang kamu lakukan ?! Bagaimana kamu bisa mendorongku? Aku ibumu!”

Setelah menstabilkan dirinya, ketakutan di hatinya surut dan kemarahan mengambil alih. Kemudian, dia mulai berteriak pada Jing Qian.

Ketika mereka mendengar keributan di lantai atas, Ayah Jing dan Jing Lu, yang baru saja kembali, dengan cepat berlari ke atas.

"Apa yang salah? Apa yang terjadi? Aku bilang untuk mendapatkan anak-anak untuk makan malam. Kenapa kamu memarahi mereka lagi?”

Ayah Jing bergegas ke kamar. Ketika dia melihat bahwa Ibu Jing ingin melawan Jing Qian, dia segera mendorongnya ke samping dan berdiri di depan Jing Qian.

“Mengapa kamu tidak bertanya padanya mengapa aku mulai memarahinya? Jing Qian, apakah kamu benar-benar berpikir bahwa sejak kamu menikah dengan keluarga kaya sekarang, kamu dapat melupakan bahwa aku adalah ibumu? Sebagai seorang anak, kamu memiliki keberanian untuk memukul ibumu sendiri?! Kamu akan disambar petir karena melakukan ini!”

“Bu, apa yang terjadi? Apakah ada kesalahpahaman? Mengapa kakak memukulmu? Dia adalah orang yang baik dan lembut, mengapa dia memukulmu?”

Ketika dia melihat ayahnya melindungi Jing Qian, Jing Lu segera memeluk ibunya, memberi isyarat agar Ibu Jing tenang.

Mereka masih membutuhkan bantuan Jing Qian untuk mendapatkan kembali perannya.

“Aku masuk ke kamar dan melihat bahwa dia membantu Jing Jie dengan latihan matematikanya! Aku hanya ingin menariknya menjauh dari komputer, tetapi dia malah mendorongku! Aku hampir jatuh! Apakah dia bahkan menganggapku sebagai ibunya?!”

"Dia tidak... membantu!" Jing Jie mencoba menjelaskan dirinya sendiri.

“Lalu, mengapa dia duduk di depan komputermu jika dia tidak membantumu mengerjakan tugas sekolahmu? Jing Jie, aku sudah memberitahumu berkali-kali bahwa burung bodoh harus terbang lebih dulu. Tidak ada salahnya membuat kesalahan dan melakukannya, bahkan jika kamu tidak terbiasa dengannya. Jika kamu menolak untuk belajar bahkan ketika studimu sudah dalam keadaan ini dan kamu mulai mencari jalan pintas untuk melakukannya, itu bukan cara yang tepat untuk melakukan sesuatu. Apakah kamu tidak tahu itu?”

Jing Jie tidak tahu bagaimana dia bisa menjelaskan situasi saat ini.

Ayah Jing berbalik dan mulai menghibur Jing Qian.

“Qianqian, aku mengerti bahwa kamu mencintai saudaramu, dan kami sangat senang tentang itu. Namun, saudaramu akan menjadi orang yang mewarisi bisnis keluarga. Jika dia tidak melakukannya dengan baik sekarang, bagaimana aku bisa menyerahkan perusahaan kepadanya?”

Wajah Jing Lu berubah ketika dia mendengar ayahnya mengatakan itu.

Dia tidak bisa mengerti mengapa orang tuanya, yang sangat mencintainya, selalu memikirkan adiknya yang terbelakang mental terlebih dahulu ketika menyangkut hal-hal penting seperti itu?

Apakah itu kecerdasan atau taktik, dia lebih cocok daripada Jing Jie untuk mewarisi bisnis keluarga. Mengapa orang tuanya tidak pernah menganggapnya?

Ketika Jing Lu melihat ekspresi bodoh dan konyol di wajah Jing Jie, dia mencibir pada dirinya sendiri dan bahkan lebih bertekad tentang masa depannya.