31. Meet

723 96 24
                                    

Panji menekuk jemarinya gugup, sorot matanya terus mengarah pada pintu berpelitur mewah yang daritadi belum terbuka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Panji menekuk jemarinya gugup, sorot matanya terus mengarah pada pintu berpelitur mewah yang daritadi belum terbuka. Reksa tak bisa berbuat banyak. Ingin menepuk pundak Panji untuk sekedar menenangkan, tapi gengsi. Akhirnya sama-sama mengudarakan keheningan di lobi bangunan berlantai sepuluh ini.

"Sa.. kalau pada gak percaya gimana ya?"

"Gak gimana-gimana. Pulang. Kita kalah."

"Ah belegug sia!" Semprot Panji kesal. Reksa hanya tertawa, senang karna berhasil mencairkan suasana.

"Muka gue mirip bunda kok bang. Pasti dipercaya!" Celetuk Hema yang duduk di sebelah Reksa, "elo tuh yang perlu dikhawatirin."

"Muka gue mirip ayah!"

"Iyasih.. tapi kucel, kayak gembel belum mandi."

"Gue belom mandi kan karna jagain lo juga bibir. Mana semalem ngigau mulu lo, nendangin muka gue, perut gue, masa depan gue. Lo mimpi apa sih? Lomba pencak silat?"

Hema masih nyengir, mengabaikan dakwaan kakaknya yang memasang raut sebal. Semalam ia bermimpi mengalahkan cecunguk Anggarjaya, membebaskan Pandu dan Gama dengan percaya diri. Lantas membawa mereka pulang bersama. Yang begitu bangun, semua harapan yang ia susun ternyata berakhir sia-sia. Hanya menemukan wajah Panji yang terkulai nyenyak di pinggir kasurnya.

Panji yang hendak mengomel lagi, urung ketika pintu kecoklatan itu terbuka. Seorang wanita bertubuh ramping menghampiri. Cantik, tapi entah kenapa senyum sumringah dua Areswara itu luntur. Bukan dia yang mereka tunggu.

"Maaf nak. Pak Bram tidak bisa ditemui tanpa janji resmi. Sekretaris beliau tak mau menerima alasan kalian."

"Tapi ini penting, mbak! Ini—ah percuma." Panji berdecak kesal. Mencoba mengendalikan amarah sebelum lepas kendali dan berakhir diusir darisini. Akhirnya menarik Hema dan Reksa menjauh.

"Kita datengin langsung aja rumahnya." Bisik Hema setelah berterimakasih pada resepsionis cantik itu.

"Anda tidak akan menemuinya. Pak Bram dan istrinya sedang berada di kantor cabang New Zealand sekarang." Perempuan berkonde itu ternyata mendengar bisikan Panji.

"Kita pulang dulu aja ya bang? Kesininya pas mereka udah pulang." Reksa memberi solusi.

Hei siapa sih yang gak rindu orangtuanya yang telah terpisah sekian lama? Tapi Panji juga harus berpikir realistis. Pebisnis internasional Areswara tentunya bukan orang sembarangan yang bisa ditemui seenak jidat—walaupun oleh anak mereka yang hilang sekalipun.

Helaan napas berat keluar dari si sulung. Mau minta nomor telepon, tapi tentu saja pihak perusahaan tak akan percaya pada tiga anak remaja yang mendadak datang diantara orang berjas perusahaan. Sekali lagi, mereka mungkin akan dikata gila karna sok kenal dengan petinggi mereka.

Ini akan sulit. Akan sulit sekali.

"Bukti kita belum terlalu kuat. Tanpa kesaksian om Juna—"

"SIAPA TADI YANG BILANG JUNA?! MANA JUNA!"

Alur KamiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang