PROLOG

1K 84 2
                                    

Naruto melihat itu. Darah yang mengalir, rintihan kesakitan dari sisa kesadaran, dan Sakura yang terduduk lemah menatap dirnya dengan putus asa. Emeraldnya bahkan tak sampai setengah  terbuka. Sementara kedua telapak tangan kecil itu mencoba menutupi perut yang terlindung seragam penuh darahnya, berusaha menghalau rasa sakit meski percuma jika dilakukan.

Ia melihat dengan jelas, bagaimana darah itu menggenang dari balik rok sekolah Sakura. Menggiring Naruto pada kenyataan bahwa ia terlambat. Terlambat untuk menghentikan Sakura, terlambat untuk membuat Sakura mengubah pikirannya, serta ia yang terlambat menjaga mereka berdua dalam keadaan baik-baik saja.

"Sa ... sakit." Rintihan terakhir Sakura, sebelum emerald itu menutup sempurna.

"SAKURAAAA!"

Brukh!

Naruto jatuhkan kedua lututnya di samping tubuh lemah gadis itu. Berusaha membalikan kesadaran Sakura dari usaha telapak tangan besarnya yang menepuk-nepuk pelan pipi pucat kekasihnya. Lantas merengkuh sosok itu untuk membuat  ia tetap berada di posisi yang sama. Mencegahnya terjatuh.

"Sakura-chan, kau harus kuat," Naruto sugar helaian rambut yang menutupi wajah Sakura dengan gemetar. Ketakutan itu jelas kentara mengalir dari suaranya. "Bertahanlah! Ku mohon bertahan. Kau gadis kuat, tak boleh menyerah begitu saja. Kita akan segera pergi, tolong bertahan," ujarnya parau. Ia berusaha menenangkan hatinya lewat perkataannya sendiri. Meski pun dengan segenah hati, ia berharap gadis yang berada di dalam rengkuhannya ini benar-benar mendengar ucapannya. Dan melakukannya.

Sementara ia mulai mengangkat tubuh Sakura untuk ia benahi di punggungnya. Meski dengan tangan gemetar, Naruto ambil kedua lengah gadis itu agar melingkari lehernya, memastikan Sakura aman dalam posisi ini.

Naruto pun bangkit. Walau getaran di lututnya belum juga berhenti, ia berusaha keras untuk melangkah. Membawa gadis bersimbah darah itu dalam gendongannya. Keluar dari rumah pohon kesayang mereka, dan segera menuruni tangga tergesa-gesa. Ia bahkan melupakan kalau mereka tengah berada di ketinggian, meski pun tak terlalu jauh dari permukaan tanah.

Ia terus berlari, sembari merapalkan berbagai kalimat yang ditujukan untuk Sakura. Hanya agar gadis itu tetap mempertahankan kesadaran, meski Naruto tak begitu yakin jikalau emerald itu masih terbuka.

Seperti deja vu, 50 hari lalu ia pun mengalami hal persis seperti ini. Membawa Sakura yang menutup mata dalam gendongannya, dari rumah pohon mereka. Kala itu ia tidak tergesa-gesa, tidak pula merasakan perasaan yang kacau dengan ketakutan layaknya sekarang.

Saat itu, yang ia sadari hanyalah rasa senang memadati hati. Tidak seperti ini. Kala itu perasaannya menghangat, meski tidak sepenuhnya mengerti, namun ia bahagia telah melakukannya dengan Sakura. Kala itu, kala itu dan hanya kala itu... ia tak berpikir bahwa akhirnya akan seperti ini.

1 bulan 20 hari lalu ...

"Ne, Sakura-chan?" Naruto menatap ke depan, sementara tubuh Sakura masih ia tahan di punggungnya.

"Hm?" Sakura membalas. Gumamannya membuat Naruto mengerti jika gadis itu sudah habis tenaga dan ingin segera beristirahat. Namun ia harus menanyakan ini.

"A-apa masih sakit?" ia bertanya hati-hati.

"Hm ..."

Naruto menangkap jawaban Sakura sebegai 'ya'. Hal itu membuat ia meringis, sementara hatinya diliputi perasaan bersalah. "Maafkan aku Sakura-chan," ujar Naruto lirih.

"Baka." Sakura mendengus setelahnya, tapi Naruto masih bisa manangkap kekehan kecil yang terselip dalam nada gadis di gendongannya itu.

Ia mengerti. Sakura mungkin berpikir ia bodoh karena memganggap dirinya sendiri yang melakukan kesalahan sehingga membuat perempuan itu jadi begini. Meski pun memang pada dasarnya benar, penyebab rasa sakit Sakura adalah ia, dalam arti sebenarnya, akan tetapi Naruto mengabaikan fakta bahwa tak ada satu pun pihak yang terpaksa atau dipaksa. Maka tidak berlaku status 'pelaku' dan 'korban' di antara mereka. Sebab sepesang remaja itu bertindak atas dasar keingingan satu sama lain.

Senyum tipis pun timbul dari bibir yang memerah alami itu. Ia tengadahkan wajah untuk melihat cahaya keemasan memenuhi pandangannya. Entah mengapa, senja saat ini terasa begitu hangat dan nyaman, begitu juga perasaan pemuda 16 tahun itu. Mereka selalu bisa menyusup setiap kali kilasan beberapa jam lalu terlintas, mengantarkan rasa senang walau sedikit abstrak untuk tau dengan pasti alasannya.

Ia tidak mengerti, sepenuhnya tak mengerti mengapa hatinya  bisa sesenang ini. Karena entah kenapa rasa hangat yang menyenangkan tiba-tiba mengembang begitu saja setelah ia sadar, mereka telah melakukannya.

Kemudian Naruto tundukan kembali pandangan, membiarkan safirnya mengikuti setiap gerakan langkah kaki berbalut sepatu berwarna hitam itu Dan satu senyuman sekali lagi terlukis.

"Sakura-chan ..." bersama semburat merah di kedua pipinya, Naruto melanjutkan ucapan, "... aku bahagia."

Ia segera diserang oleh rasa gugup menantikan apa yang akan Sakura katakan untuk membalas ucapannya. Tapi di luar itu, ia merasa lega dan seakan kebahagiaannya menjadi sangat jelas setelah diungkapkan.

Hanya saja 1 menit berlalu tanpa suara Sakura yang Naruto tunggu. Ia bingung mengapa gadis itu tak kunjung menimpali atau menanggapi walau tidak dengan perkataan? Naruto hampir mencapai kesimpulan jikalau Sakura tidak merasakan perasaan yang sama sepertinya, bahwa apa yang mereka lakukan tidaklah seistimewa itu bagi Sakura, sampai ketika ia merasakan sesuatu menjatuhi bahunya, lalu mendapati kepala Sakura yang terkulai di sana. Tertidur.

Entah kenapa, rasa tidak percaya diri itu segera sirna. Tergantikan kekehan kecil yang tak ia sadari keluar begitu saja dari celah bibirnya.

Namun kini, ia tak sedikit pun merasa bahagia. Pikirannya dipenuhi kekalutan dan kecemasan yang tak berujung. Ini menyakitkan saat harus mendapati Sakura bersimbah darah dengan rintihan kesakitan yang memilukan.

Dan ia semakin kalut ketika bayangan-bayangan buruk akan kondisi Sakura tak berhenti menghantui isi kepalanya. Membuat langkahnya kian cepat, bersamaan semakin eratnya ia menahan tubuh perempuan itu di punggungnya.

"Bertahanlah!" Nada yang terdengar terasa begitu putus asa. Nafas yang terengah pun tak bisa menutupi kekhawatiran dan ketakutan akan kehilangan. "Sakura-chan , kumohon bertahanlah, kita akan segera sampai. Kalian ... harus baik-baik saja." Ia tidak peduli lagi jika suaranya tercekat oleh rasa sesak. Juga tak menghiraukan seragamnya yang mulai memerah ternodai darah Sakura. Karena hal itu, membuat langkahnya semakin menggila.

Naruto berlari, membawa mereka menjauhi rumah pohon, tempat di mana semua ini bermula. Namun ia tidak berharap bahwa di sana jugalah akhir dari mimpi mereka. Ia meyakinkan dalam hati tentang kesempatan yang mungkin saja masih bisa mereka dapatkan.

Ya, mungkin saja.

.
.
.

PROLOG SELESAI



Microspore to Ovule (NaruSaku)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang