9. Cara Melatih Otot Dada Versi Ami

402 39 7
                                    

Hanya saja 2 menit berlalu tanpa suara Sakura yang Naruto tunggu. Ia bingung mengapa gadis itu tak kunjung menimpali atau menanggapi walau tidak dengan perkataan? Naruto hampir mencapai kesimpulan jikalau Sakura tidak merasakan perasaan yang sama sepertinya, bahwa apa yang mereka lakukan tidaklah seistimewa itu bagi Sakura, sampai ketika ia merasakan sesuatu menjatuhi bahunya, lalu mendapati kepala Sakura yang terkulai di sana. Tertidur.

Entah kenapa, rasa tidak percaya diri itu segera sirna. Tergantikan kekehan kecil yang tak ia sadari keluar begitu saja dari celah bibirnya.

.
.
.

"Tadaima!"

"Okaeri!"

Naruto memasuki rumahnya dengan langkah lesu. Setelah mengantarkan Sakura pulang, ia berdiam diri sebentar. Sekedar menatapi wajah pulas sahabatnya yang masih belum terbangun sejak dari gendongannya.

Ah ... tunggu, sahabat? Apa mereka masih bisa dikatakan sebagai sahabat? Setelah apa yang terjadi, Naruto kira sepertinya sepasang sahabat tidak melakukan itu. Memikirkannya membuat pemuda itu menghela nafas keras.

Semudah itu rasa bahagianya tertumpuki perasaan risau lagi. Ia tau kerisauan itu tidak akan berlama-lama bercokol di dadanya. Mereka akan segera sirna, membuat cahaya kebahagiaan kembali menguar dalam hatinya.

Safir Naruto mengedar ke setiap penjuru rumah. Tidak menemukan sang Ibunda yang ia yakini sebagai penyahut salamnya barusan. Karena biasanya, wanita dewasa berambut merah itu akan menyambutnya seraya mengomel jika ia pulang terlalu larut.

"Okaa-san?!" Naruto berseru.

"Di sini!"

Suara itu seperti berasal dari ruang keluarga. Naruto pun meninggalkan dapur, mengira ibunya ada di sana sedang fokus memasak, sampai tidak sempat menyambutnya. Ia berjalan menuju ruang keluarga. Tempat di mana mereka, ia, ayah dan ibunya menghabiskan waktu jika sedang luang.

Dan benar saja, ibunya ada di sana. Duduk di sofa panjang menghadap ke arah TV. Naruto pun bergegas menghampiri. Dapat dilihat jika sang Ibunda tidak sedang menonton televisi yang menyala itu, ia malah fokus pada sesuatu di tangannya.

"Kaa-san sedang apa?"

"Makanlah dulu. Pasti belum makan, kan?" Atensi wanita itu belum teralihkan sama sekali. Bahkan mengabaikan raut puteranya yang cemberut sebab pertanyaannya tidak digubris.

"Nanti saja," balas Naruto sembari mendudukan diri di samping wanita dewasa itu.

"Kenapa? Tidak lapar?" Ia masih belum mengalihkan pandangan.

"Tidak," jawabnya lugas. "Kaa-san ... biarkan aku berbaring," tambahnya.

Kushina mengerti maksud permintaan puteranya. Ia pun memindahkan benang-benang rajut itu ke atas sofa di samping tubuhnya. Lalu menepuk-nepuk pangkuan, mempersilahkan Naruto membaringkan kepalanya di sana. "Sini," serunya.

Tanpa berucap lagi, Naruto segera menjatuhkan kepala berhelai pirang itu ke atas paha sang Ibunda, dengan posisi ke samping. Membuatnya menatap televisi yang menampilkan acara kartun yang baru saja menggantikan acara talkshow yang sudah berakhir.

Perasaan nyaman segera melingkupi Naruto. Kehangatan pangkuan ibunya memang selalu bisa menenangkan ia dari ketegangan pikiran serta permasalahan hati yang sedang dirasakan. Naruto bersyukur akan hal itu.

"Putra kaa-san kenapa? Bertengkar dengan Sakura-chan?" tanya Kushina lembut. Meski begitu, fokusnya masih belum teralihkan dari rajutannya.

Microspore to Ovule (NaruSaku)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang