15. The Over Protective Young Daddy

240 38 8
                                    

Ruang ganti baju khusus untuk wanita, hari itu tampak dipenuhi siswi-siswi dari kelas Sakura. Kegiatan olahraga yang akan segera dilaksanakan adalah alasan di baliknya, sekaligus menjadi alasan kenapa Sakura membenci terkurung dalam keadaan harus membuka baju bersama para siswi. Bisa lebih dispesifikkan lagi, siswi yang dimaksud adalah dia. Yang selalu mengganggu Sakura setiap kali ada kesempatan, terlebih dengan kondisi mendukung bagi siswi tersebut untuk memperkuat ejekannya. Siapa lagi kalau bukan ...

"Rata."

... Ami.

Alis gadis itu mengkerut sebal hanya dengan mendengar ejekan pertamanya. Padalah, jalan Sakura untuk melalui cobaan ini masihlah panjang. Namun, coba ia abaikan eksistensi sosok Ami yang kini menyender pada loker sembari melipat tangan di dada.

"Bukankah baju renang itu kelemahanmu? Kau pasti sangat membencinya, ya?"

Sakura pikir, kenapa bisa ada orang seperti Ami yang saat melontarkan ejekan, wajahnya lurus-lurus saja seakan tanpa emosi. "Yang aku benci itu kau," jawab Sakura asal. Ia tak sungguh-sungguh tentu saja. Walau Ami menyebalkan, tapi dia adalah teman masa kecil sekaligus tetangga yang baik pada masanya. Ya, itu sudah sangat lama terjadi.

"Aku juga membencimu," timpal Ami.

Tak dapat Sakura terka keseriusan atau candaan dalam pernyataan tersebut. Sulit sekali membaca emosi dari raut wajah seseorang bila itu adalah wajah milik Ami. "Sungguh?" tanya Sakura pelan, penuh kehati-hatian.

"Ya." Namun Ami menjawabnya dengan sangat lugas, tanpa berpikir dahulu.

Sakura tertegun. Ia bertanya-tanya dalam hati kebenaran di balik ucapan Ami. Tetapi, ketika ia hendak merealisasikan pertanyaan tersebut, ucapan Ami selanjutnya menutup kembali bibir Sakura yang hendak terbuka.

"Dadamu jadi keliatan rata sekali. Nanti bayimu mau kau beri apa? Payah."

Entah kenapa ejekannya kali ini sedikit lebih beremosi. Apa Ami mulai menemukan gairah untuk membuat tindak perundungannya pada Sakura lebih hidup dan dramatis? Tetapi dibanding memikirkan hal tersebut, Sakura lebih tertarik pada arti dari kalimat itu karena mengingatkan ia pada kehamilannya.

"Apa hubungannya dadaku dengan makanan bayi?" tanya Sakura. Kebingungan tercetak jelas di wajah seputih pualamnya.

"Bodoh. Kau pikir apa yang akan kau berikan pada bayimu, ha?"

"Tentu saja nasi."

Dan untuk pertama kali dalam seminggu ini, Sakura menjumpai wajah Ami dengan emosi yang jelas. Ia tidak mengerti kenapa Ami bisa sampai seperti itu hanya karena mendengar jawabannya.

Menganga tak percaya, Ami sampai melepaskan lipatan lengannya dari atas perut. "Kembalilah ke rahim ibumu dengan membawa catatan dan ulangi semuanya dari awal. Payah," tandas Ami.

Sakura mengerucutkan bibirnya sebal. Apa ia salah? "Aku tidak ingat kalau aku pernah diberi susu dari payudara ibuku," balas Sakura.

"Tentu saja kau tak ingat. Tapi setidaknya ibumu pasti menceritakan bagaimana dia menyodorkan putingnya ke mulutmu saat kau cuma bisa merengek kelaparan." Ami mengakhiri penjelasannya dengan terengah. Bukan lelah fisik, tapi mental.

Siapa yang membully, siapa yang frustasi. Begitulah Ami.

Namun, entah kenapa diamnya Sakura membuat Ami ikut terdiam serius. Raut gadis itu berubah. Ami penasaran kemana perginya wajah polos yang selalu kesulitan membalas ejekannya itu. "Oi!"

"Aku tidak tahu. Ibuku tidak seluang itu untuk berbagi cerita dengan putrinya." Tiba-tiba Sakura berkata, bahkan nada tinggi yang terdengar nyaris serupa bentakan, walau ucapan Sakura tidak dituduhkan pada Ami. Sulit sekali mengendalikan perasaan jika ia sudah teringat kondisi keluarganya.

Microspore to Ovule (NaruSaku)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang