1. Tantrum.

1.4K 61 5
                                    

Vante.

Diberikan nama yang begitu indah darinya adalah anugerah. Pertama kali sepasang kelabu itu memandangku saat pandangan kami tak sengaja bersirobok di bawah jembatan itu. Aku yang berlari ketakutan dengan tubuh menggigil. Aroma anyir menyelimuti setiap jengkal diri. Nyeri di setiap tungkai. Juga rasa panas membara dalam dada dan kepala. Nyaris membutakan diriku dan sekalian menghiraukannya.

Namun, entah tangan takdir melakukan apa lagi padaku. Tepat ketika aku pasrah menyerah, sosoknya muncul menghalangi rembulan di atas sana dan seketika memberiku kehangatan. Begitu saja.

Dalam dekap erat penuh kenyamanan itu, dia membisikkan alunan ketenangan padaku.

Tenanglah. Kamu aman bersamaku, nak.

Suaranya begitu dalam menggema. Merasuk sampai menyesaki dinginnya dadaku yang kosong. Saat itu, yang kutahu, aku balas merengkuhnya. Erat dan takkan kulepas lagi.

Dan, entah kenapa ingatan itu muncul lagi kini. Sama sekali tidak membantu saat diriku tengah dipenuhi emosi.

"Tuan, makanannya—"

Tanganku melayang menampar hidangan mengepul yang disodorkan. Menumpahkannya ke lantai untuk kembali mengotori. Pelayan wanita tadi teekesiap lalu menunduk beberapa kali padaku sebelum buru-buru pergi bersama nampan dipelukan.

Dadaku sedang panas. Kepalaku juga. Apa pun yang tampak di mata ingin segera kuhancurkan. Itu sudah lebih baik dari pada mematahkan leher mereka yang dari tadi berdiri di sana silih berganti, bukan?

Aku kehilangan akal menghitung sudah seberapa lama di dalam sini.

"Tuan muda."

Kakiku seketika berlari menghampirinya dan menjulurkan lengan sejauh yang kubisa untuk mencakar wajah di sana yang datar tenang. Dia, Beauer, masih kukuh menolak melepasku pergi. Bahkan, setelah kulempari dia dengan susu sebotol-botolnya tadi.

"BUKA, JAHANAM! BUKA!"

"Tidak, tuan. Maaf. Anda belum tenang," jawabnya tanpa sedikit pun mengubah intonasi. Itu hanya semakin membuatku naik pitam.

"AKU BILANG, BUKA!! KAU TULI?!" Keinginanku hanya itu. Kenapa dia tidak mengerti?

"Maaf, tuan Muda. Tenangkan diri Anda dahulu."

Sumpah serapah paling kotor kuludahkan ke depannya sambil berusaha kucengkeram lepas jeruji mengilat yang menghalangiku mematahkan leher juga mencongkel matanya keluar. Pria tegap itu masih saja berwajah rileks dari beberapa jam lalu. Sama sekali tidak terusik karenaku.

Itu sungguhan membuatku frustasi.

Aku mundur dan mencari apa lagi yang bisa kugunakan untuk protes. Lantai tempatku berpijak kotor makanan. Lapisan busa di bawahnya tidak membantu. Begitupun dengan sekelilingku. Semua dilapisi bahan lunak. Bahkan, alat makan yang berceceran di bawah kakiku sama amannya untuk bayi. Dan, dengan marah kusadari tidak ada apa-apa untuk melampiaskan kemarahan yang merongrong terus-terusan.

Ruangan itu memang tanpa isi apa pun. Sengaja di buat demikian untuk diriku, katanya.

Saat keinginanku tidak dipenuhi. Seperti sekarang.

Aku hanya ingin keluar dan bertemu dengan priaku. Dia berkata akan pulang, tetapi dari kemarin batang hidungnya belum nampak.

Kemarin? Atau, minggu lalu? Entahlah.

Aku dan janji adalah kombinasi buruk. Bukankah dia tahu itu? Harusnya iya.

"Aku ingin daddy!" pintaku masih sama keras.

Cwtch. | Vottom √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang